-->

Kumpulan Makalah, Artikel dan Share Informasi

ISLAMISASI PERBANKAN (Studi Kasus di Indonesia)

BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang.
Islam merupakan agama yang bersifat paripurna dan universal, juga merupakan agama yang lengkap dalam memberikan tuntunan dan panduan bagi kehidupan dan aktifitas manusia. Islam merupakan suatu sistem kehidupan yang seharusnya dijalankan oleh manusia sebagai khalifah di muka bumi. Menurut Syafi’I Antonio, “Syariah Islam merupakan syariah yang bersifat komprehensif dan juga universal”.  Ajaran Islam mengatur segala urusan manusia baik dalam hal ibadah maupun sosial, politik, ekonomi. Ibadah sangat dibutuhkan manusia sebagai bentuk ketakwaan dan komunikasi kepada Allah SWT.  Adapun syariah dalam hal muamalah berfungsi sebagai aturan bagi umat manusia dalam menjalankan peran sosialnya yang berkaitan dengan harta dan masyarakat.
Menurut Dawam Rahardjo, menerangkan bahwa Islam di abad pertengahan adalah satu-satunya agama yang menempatkan etos kerja pada martabat yang tinggi.  Pada konsepnya Islam memberlakukan bahwa kerja merupakan bentuk ibadah kepada Allah dengan mengambil sumber rezeki yang ada di langit dan bumi. Praktek yang sering terjadi pada suatu masyarakat dalam aktifitas ekonomi merupakan profit oriented (keuntungan), padahal Islam mengajarkan bentuk aktivitas ekonomi merupakan ibadah. Sedangkan Asifudin menjelaskan bahwa dalam ajaran akidah  menjadi sumber potensi pada motivasi etos kerja yang tinggi sehingga menjadi motivasi intristik yang menggairahkan pada aktivitas ekonomi.  Jadi tidak hanya memperoleh profit saja, tetapi manusia juga melakukan aspek etika dalam aktivitas ekonominya.
Dalam Islam etika  adalah akhlak  yang merupakan watak, kesopanan, perangai kebiasaan, dan sebagainya. Sedangkan menurut istilah merupakan nilai-nilai dan sifat yang tertanam dalam jiwa yang menjadi sorotan dan timbangan seseorang dalam menilai perbuatan baik ataupun buruk, untuk kemudian memilih  melakukan atau meninggalkan.  Etos kerja adalah sebuah respon yang unik dari seseorang atau kelompok terhadap kehidupan pada tindakan yang muncul dari keyakinan yang diterima menjadi kebiasaan pada diri seseorang atau kelompok.  Menurut Jansen Sinamo etos kerja profesional adalah kerja merupakan rahmat, amanah, panggilan, aktualisasi, ibadah, seni, kehormatan, dan pelayanan disamping untuk mendapatkan keuntungan. Sedangkan etika menurut al-Qur’an adalah hubungan antara cara kerja dan hasil. Jika cara kerja yang dilakukan baik maka hasilnya akan baik sehingga mencapai tingkatan halalan toyyiban. Begitu pula dengan konsep bisnis yang dilakukan oleh Nabi Muhammad SAW ialah yang disebut dengan “Value Driven” yang artinya menjaga, mempertahankan, menarik nilai-nilai pelanggan.  Konsep yang digunakan oleh Nabi Muhammad memberikan pelayanan dan etika yang baik, yang berdampak pada pelanggan awal menjadi pelanggan tetap serta mengakibatkan promosi yang diberikan oleh pelanggan kepada calon pelanggan.  Pada pelaksanaan operasional lembaga keuangan bank ataupun nonbank jika menerapkan sunah Nabi tersebut, maka dapat kemudahan dalam praktek ekonominya.

B.    Rumusan Masalah.
1.    Bagaimana sejarah singkat kelahiran bank syariah di Indonesia, latar belakang dan perkembangannya?
2.    Apa saja faktor-faktor yang menghambat, memperlancar gagasan dan operasionalisasi bank syariah?
3.    Bagaimana masa depan perbankan syariah Indonesia?

C.    Metodologi.
Makalah ini disusun dengan menggunakan metode penelitian kualitatif sebagai prosedur penelitian yang memaparkan data deskriptif dalam bentuk kata-kata dan bahasa. Bersifat penelitian kepustakaan yakni penelitian yang menggunakan literatur buku, catatan, maupun hasil laporan penelitian dari penelitian terdahulu.  Metode deskriptif bertujuan untuk memaparkan gambaran secara sistematis.  Deskripsi ini membahas tentang sejarah dan perkembangan bank syariah di Indonesia.

PEMBAHASAN

A.    Sejarah Kelahiran Bank Syariah di Indonesia, Latar Belakang dan Perkembangannya.
Perwujudan kegiatan  perekonomian Islam telah memberikan perluasan terhadap upaya peningkatan kehidupan perekonomian masyarakat, serta memberikan pemahaman Islam bagi para pelaku ekonomi untuk berupaya secara itensif mendirikan lembaga keuangan bank atau non-bank yang berbasis non-ribawi, dengan perwujudan kegiatan transaksi keuangan tersebut, telah menunjukkan secara konseptual bahwa kelembagaan dan kegiatan usaha yang berbasis syariah dapat memenuhi tuntutan kebutuhan dikehidupan masyarakat yang sesuai dengan fitrah kehidupan manusia.

1.    Sejarah Kelahiran BUS (Bank Umum Syariah) di Indonesia
Sebelum hadirnya bank syariah di Indonesia, praktek perbankkan telah ada sejak zaman Rasulullah dan sahabatnya. Seperti penghimpunan dana (zakat, ushr, kharaj, fay, dan ghanimah) yang dilakukan di Baitul Maal, serta praktek perbankkan di zaman Khulafaursidin, Dinasti Abbas, di Eropa, dan berbagai Negara. Sedangkan praktek awal bank syariah  di Indonesia, ide pendiriannya sudah ada sejak tahun 1970.  Dimulai dari membicarakan mengenai bank syariah yang muncul pada seminar hubungan Indonesia Timur Tengah pada Tahun 1974 dan 1976.
Seperti yang diketahui bahwa sebelum tahun 1988 bank Islam belum dapat berdiri karena masa itu pemerintah masih menentukan tingkat suku bunga yang berlaku dalam perbankan, serta kebijakan dari pemerintah ini pada akhirnya tidak efisien karena terjadi beberapa perbedaan tingkat suku bunga, yakni antara tingkat bunga dipasaran dan tingkat bunga resmi, dimana pemerintah memberikan subsidi terhadap selisih kedua tingkat bunga tersebut.  Kebijakan yang telah dilakukan oleh pemerintah ini justru membuat dunia perbankan tidak efisien. Untuk menangani hal tersebut  agar tidak terjadi berkepanjangan, maka pemerintah mengeluarkan kebijakan PAKTO. Pada kebijakan tersebut pemerintah menegaskan bahwa bank-bank milik pemerintah diberikan kebebasan untuk menentukan tingkat bunganya sendiri. Serta Karnaen Perwaadmadja  melihat peluang untuk mendirikan bank Islam dengan menyatakan bahwa bank tersebut adalah dengan bunga 0%. 
Setelah dikeluarkannya kebijakan PAKTO 1988 yang berisi tentang liberalisasi perbankan yang memungkinkan pendirian  bank-bank perkreditan rakyat dengan basis sistem Islam dibeberapa di Indonesia. Pada tahun 1990 berdirilah Bank Pembiayaan Rakyat Syariah (BPRS) Dana Mardhatillah, BPRS Amal Sejahtera, dan BPRS Amanah Rabbani di Kabupaten Bandung. Kemudian MUI mengadakan lokakarya Alim Ulama mengenai Bunga Bank dan Perbankan di Cisarua Bogor pada tanggal 19-22 Agustus 1990, Loka Karya tersebut merekomendasikan berdirinya bank berdasarkan prinsip syariah. Selanjutnya Departemen Keuangan RI untuk menerbitkan izin untuk ketiga BPRS, sedangkan izin usaha untuk BPRS Amal Sejahtera diterbitkan pada tanggal 25 Juli 1991 dengan nomor Kep No.201/KM-13/1991 dan BPRS Dana Mardhatillah dengan nomor 2001/Tahun 1991 serta mulai tanggal 19 Agustus 1991 kedua BPRS tersebut beroperasi secara resmi.
Pada tanggal 1 Nopember 1991 Bank Muamalat Indonesia didirikan berdasarkan Akte Notaris Yudo Paripurno, SH dan mulai beroperasi secara komersial tanggal 1 Mei 1992. Berdirinya Bank Muamalat Indonesia merupakan awal berdirinya Bank Umum Syariah (BUS) di Indonesia, sehingga menjadi pendorong dan memberikan inspirasi bagi berdirinya lembaga keuangan syariah lainnya, seperti BPRS, BMT (Baitul Maal Wa Tamwil), dan sebagainya. Kemudian pada tahun yang sama juga dikeluarkan Undang-Undang No.7 Tahun 1992 tentang Perbankan yang membolehkan bank melakukan kegiatan usaha dengan prinsip bagi hasil. 
Pada tahun 1998, meskipun sudah mendapatkan legalitas dari pemerintah pada UU No.7 Tahun 1992 tentang Perbankan dalam beroperasi di masyarakat, tetapi perkembangan bank syariah di Indonesia masih perkembangannya diam ditempat. Berasamaan dengan itu, Indonesia negara yang sebelumnya dikategorikan sebagai calon negara industri baru tertimpa krisis moneter yang berkepanjangan. Sebagai akibatnya, perbankan konvensional juga mengalami imbas yang sama parahnya akibat dari krisis tersebut. Kerusakan dunia perbankan mulai terlihat ketika pemerintah memutuskan untuk menutup enam belas bank secara bersamaan karena dianggap tidak layak lagi untuk memungkinkan untuk beroperasi.  Pada penutupan bank konvensional ini berdampak pada kepercayaan pada masyarakat terhadap dunia perbankan. Untuk menanggulangi lunturnya kepercayaan dari masyarakat tentang dunia perbankan ini, maka pemerintah menerbitkan Kepres 26 Tahun 1998 tentang Penjaminan Dana Pihak Ketiga, serta membentuk Badan Penyehatan Perbankan Nasional. 
Dari berbagai penutupan yang dilakukan oleh pemerintah ternyata hanya bank konvensional yang ditutup, karena perbankan konvensional saat itu banyak mengalami kerugian akibat negative spread. Sedangkan perbankan Islam justru tidak mengalami krisis tersebut, tetapi hanya berdampak pada kerugian operasional  perusahaan. Dalam hal tersebut perbankan Islam telah menunjukkan ketangguhannya, dan ketangguhan perbankan tidak lepas dari tingginya kepercayaan masyarakat khususnya nasabah bank Muamalat Indonesia, yang merupakan satu-satunya perbankan Islam di Indonesia saat itu.
Peristiwa tersebut lalu memunculkan Undang-Undang No.10 Tahun 1998 sebagai amandemen dari  Undang-Undang No.7 Tahun 1992, yang menerangkan secara eksplisit konsep operasional perbankan. Lahirnya Undang-Undang tersebut merupakan landasan bagi keberadaan perbankan melaui sistem ganda (dual system), yaitu sistem perbankan konvesional dan sistem perbankan syariah yang berlaku di Negara Indonesia. Sehingga dengan Undang-Undang tersebut juga dimungkinkan beroperasinya sistem perbankan ganda, yang mana bank umum konvensional membuka kantor cabang dengan prinsip syariah, seperti pada tahun 1999 didirikan Bank Umum Syariah kedua yakni Bank Syariah Mandiri (BSM), anak cabang dari Bank Mandiri  yang merupakan salah satu bank umum konvensional di Indonesia. Pada tahun yang sama pula keluar Undang-Undang No.23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia (BI) yang memberikan kewenangan kepada BI untuk melakukan tugasnya berdasarkan prinsip syariah, serta MUI membentuk Dewan Syariah Nasional (DSN) melalui SK MUI No.Kep-754/MUI/11/1999, sebagai dewan yang mengeluarkan dan mengawasi penerapan fatwa dalam kegiatan perekonomian pada umumnya dan khususnya keuangan. 
Pada tahun 2000 dikeluarkan sejumlah ketetapan operasional tentang penyusunan peraturan perbankan syariah oleh BI dan Pengenalan Instrumen Pasar Uang Syariah. Ketentuan-ketentuan operasional tersebut termuat dalam PBI No.2/4/PBI/2000 tanggal 11 Februari 2000 tentang perubahan atas PBI No.1/3/PBI/1999 tentang Penyelenggaraan Kliring Lokal; PBI No.2/7/PBI/2000 tanggal 23 Februari 2000 tentang Giro Wajib Minimum dalam Rupiah dan Valuta Asing Bagi Bank Umum yang Melakukan Kegiatan Usaha Berdasarkan Prinsip Syariah; PBI NO.2/8/PBI/2000 tanggal 23 Februari 2000 tentang Pasar Uang Antar Bank Berdasarkan Prinsip Syariah; PBI No.2/9/PBI/2000 tanggal 23 Februari 2000 tentang Sertifikat Wadiah Bank Indonesia. 
Pada tahun 2002, BI mengeluarkan beberapa aturan antara lain PBI No. 4/1/2002 yang memuat pedoman mengenai konversi Bank Umum Konvensional (BUK) menjadi Bank Umum Syariah (BUS); konversi Kantor Cabang Konvensional (KCK) menjadi Kantor Cabang Syariah (KCS); pembukaan Kantor Cabang Pembantu Syariah (KCPS); dan Unit Usaha Syariah (UUS) di Kantor  Cabang Konvensional (KCK).
Pada tanggal 16 Desember 2003 Majelis Ulama Indonesia (MUI) mengadakan ijma’ alim ulama se-Indonesia, serta menghasilkan fatwa bahwa bunga adalah riba dan riba adalah haram. Hasil tersebut menjadi energi tambahan bagi perkembangan perbankan syariah. Pada tahun 2007 keluar keputusan BI tentang penilaian kesehatan bagi bank umum berdasarkan prinsip syariah, tentang pelaksanaan prinsip syariah dalam penghimpunan dana dan penyaluran serta pelayanan jasa bank syariah, penilaian kualitas aktiva bank umum yang melaksanakan kegiatan usaha berdasarkan prinsip syariah, tentang pedoman pengawas syariah dan tata cara pelaporan hasil pengawasan syariah bagi dewan pengawas syariah.
 Kemudian pada tanggal 16 Juli 2008 lahir UU No.21 Tahun  2008 tentang perbankan syariah, berisi antara lain; asas, tujuan, dan fungsi perbankan syariah, perizinan, bentuk badan hukum, anggaran dasar, dan kepemilikan perbankan syariah; jenis dan kegiatan usaha, kelayakan penyaluran dana, dan larangan bagi bank syariah dan UUS; pengawas dan penyelesaian sengketa, sehingga dengan adanya UU tersebut memberikan landasan hukum yang kuat bagi pembangunan dan pengembangan perbankan syariah di Indonesia.
 
2.    Latar Belakang dan Perkembangan berdirinya BUS (Bank Umum Syariah) di Indonesia
Pengharapan masyarakat untuk melakukan transaksi keuangan pada lembaga-lembaga keuangan yang berbasis non-ribawi pada tahun 1970-an  telah didukung oleh keputusan masyarakat Islam perihal penerapan kaidah Islam dalam kegiatan perbankan. Kehadiran lembaga keuangan dalam menjalankan kegiatan usaha menurut Yusuf Qardhawi  adalah tidak berdasarkan bunga, karena bunga merupakan aktualisasi riba yang diharamkan berdasarkan hukum nash-nash yang jelas dalam al-Qur’an.  Seperti dalam surah al-Baqarah 275-276 yang Artinya: Orang-orang yang mengambil (memakan) riba, tidak dapat berdiri, melainkan berdirinya orang orang yang kemasukan setan, lantaran tekanan penyakit gila. Keadaan mereka yang demikian itu, disebabkan mereka yang berpendapat bahwa jual beli itu sama dengan riba. Padahal Allah SWT. telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba. Orang-orang yang sampai kepadanya larangan dari Rabbnya, lalu spontan berhenti (dari mengambil riba), maka baginya apa yang telah diambilnya dahulu sebelum larangan, dan perkaranya terserah kepada Allah. Orang yang mengulangi riba, itu adalah penghuni-penghuni neraka. Mereka kekal di dalamnya. Allah memusnahkan riba dan menyuburkan sedekah. Allah tidak menyukai orang-orang yang bertahan dalam kekafiran dan selalu berbuat dosa. 

Riba menurut Abdullah Saed dalam  tulisan Muhammad Syafi’i Antonio , berarti tumbuh dan membesar. Riba dalam bahasa merupakan ziyadah atau tambahan, yang secara teknis dapat diartikan sebagai pengambilan tambahan dari harta pokok yang bersifat bathil.  selain itu menurut Muhammad Firdaus riba dianggap membahayakan dalam kehidupan masyarakat antara lain; terjadinya eksploitasi dan pengingkaran terhadap hak-hak manusia, terjadinya pengikisan harta antara kreditur dengan debitur, menghilangnya sifat tolong menolong, dan terciptanya mental malas bekerja dan sifat boros. 
Pendapat tersebut dapat diketahui bahwa dampak dari riba tidak efisien pada sistem keuangan yang adil dan menimbulkan berbagai macam keburukan pada sifat manusia yakni serakah, boros, dan batil. Selain itu pada konsep perbankan yang berdasarkan bunga merupakan upaya untuk mendapatkan keuntungan dari selisih antara pendapatan bunga pinjaman dengan bunga simpanan dari deposan. Konsep perbankan yang berbasis bunga yaitu, time value of money, yang berbeda dengan konsep Islam. Dalam transaksi Islam kegiatan ekonominya berdasarkan pada konsep economic value of time, yakni adanya penghargaan terhadap waktu. 
Transaksi kegiatan ekonomi yang berbasis non-ribawi  tidak hanya memastikan keuntungan, melainkan juga menanggung risiko kerugian yang tidak melanggar teori keuangan, yakni return selalu beriringan dengan risk (return goes along with risk).  Kesesuaian konsepsi non-ribawi dengan teori keuangan menentukan bahwa hal tersebut menjadi salah satu karakteristik dalam kegiatan operasional perbankan syariah. Sebagaimana yang dikemukakan oleh Sutan Remy Sjahdeini, “didasarkan pada pembagian keuntungan dan kerugian (profit and loss sharing), sehingga ini menjadi perbedaan yang mendasar antara transaksi kegiatan ekonomi yang berbasis bunga dengan yang tidak berbasis bunga.  Hal ini juga dipertegas oleh pendapat Al-Tamimi dalam bukunya Angelo M Venardos; “profit and loss sharing (PLS) financing is a form of partnership. Where partners share profits and losses on the basic of their capital share and effort”.  Konsep PLS ini merupakan bagian dari aktivitas bisnis yang sehat, yang telah ditentukan oleh syariah yang memberikan dampak positif pada berbagai pihak yang berbisnis.
    Dalam hal ini membuat para ahli ekonomi syariah bersifat pragmatis dalam mewujudkan gagasan atau wacana ekonomi yang berbasis syariah kedalam bentuk pendirian lembaga keuangan dan perbankan yang didasarkan pada syariah Islam. Perwujudan kegiatan perekonomian Islam memberi pengaruh luas terhadap upaya peningkatan kehidupan perekonomian masyarakat, serta memberikan pemahaman Islami bagi para pelaku ekonomi untuk berupaya secara intensif mendirikan lembaga keuangan berbasis non bunga. Dengan perwujudan pelaksanaan tersebut telah menunjukkan secara konseptual bahwa kelembagaan dan kegiatan usaha yang berbasis syariah dapat memenuhi tuntutan kehidupan masyarakat yang sesuai dengan fitrah kehidupan manusia.

B.    Faktor-Faktor yang Menghambat, Memperlancar Gagasan dan Operasionalisasi Bank Syari’ah.
Ide pendirian Bank syariah telah ada sejak tahun 1970, tetapi ada berbagai alasan yang menghambat terealisasinya ide pendirian tersebut, antara lain:
1.    Operasi bank syariah yang menerapkan prinsip bagi hasil belum diatur, oleh karena itu tidak sejalan dengan Undang-Undang Pokok Perbankan yang berlaku saat itu, yakni UU No.14 Tahun 1967.
2.    Konsep bank syariah dari segi politik berkonotasi ideologi, merupakan bagian dari suatu konsep negara Islam dan karena itu, tidak dikehendaki oleh pemerintah.
3.    Masih dipertanyakannya siapa yang menaruh modal dalam ventura semacam itu, sementara pendirian baru di Timur Tengah masih dicegah, antara lain pembatasan bank asing yang ingin membukanya kantor di Indonesia.
Dari beberapa pendapat yang menghambat terwujudnya perbankan syariah di Indonesia, adapun perdebatan dan perbedaan di kalangan cendekiawan dan para ulama’ yang sangat luar biasa. Sehingga memunculkan beberapa kelompok, yakni kelompok yang mengatakan haram, kelompok yang mengatakan subhat, dan kelompok yang mengatakan haram.   Hal yang diperdebatkan pada hal ini adalah hukum bunga bank yang dapat disamakan atau tidak dengan riba, sehingga para cendekiawan dan ulama’ berhati-hati dalam menentukan hukum bunga bank tersebut, serta bentuk perbankan syariah yang bebas riba dan sesuai dengan ketentuan syariat Islam.
Pada organisasi Nahdlatul Ulama yang memutuskan masalah bunga ada tiga pendapat, yaitu halal, haram, dan syubhat. Sedangkan pada Batshul Masail ada perbedaan pendapat didalamnya, serta memutuskan bahwa yang lebih berhati-hati adalah hukumnya haram. Sedangkan dalam majelis tarjih Muhammadiyah menyatakan bahwa bunga bank termasuk perkara syubhat, tetapi pada hal ini yang disinggung adalah faktor bunga yang diberikan negara, dengan menyatakan bunga bank yang diperbolehkan, karena bunga bank yang diberikan oleh pemerintah tergolong lebih rendah dari pada dari swasta.
Menurut Ismail  Nawawi membahas persoalan bank syariah, pada dasarnya bersumber pada konsep uang dalam Islam. Sebab bisnis perbankan tidak dapat dilepas dari persoalan uang. Pada pandangan Islam uang digunakan sebagai alat tukar, bukan suatu komoditi. Diterimanya peranan uang ini secara luas dengan maksud untuk melenyapkan ketidakadilan, ketidakjujuran, dan penghisapan dalam ekonomi tukar menukar.  Sebagai alat tukar menukar maka peranan uang dapat dibenarkan, tetapi apabila dikaitkan dengan persoalan ketidakadilan, dalam ekonomi tukar menukar uang digolongkan sebagai riba fadl.   Oleh karena itu dalam Islam, uang sendiri tidak menghasilkan suatu apapun. Dengan demikian bunga pada uang yang dipinjam dan dipinjamkan dilarang. Menurut Ismail Nawawi hal tersebut dilarang jika memberatkan atau mengeksploitasi.  Sedangkan menurut Adiwarman A. Karim konsep uang sebagai alat tukar dan bukan suatu komoditas. Dengan demikian untuk mendapatkan keuntungan dalam konsep Islam diperlukan adanya transaksi kerja/kegiatan perekonomian riil. 
Tahun 1937 pada hasil Muktamar Nahdatul Ulama (NU) ke-12, ditetapkannya bahwa hukum menempatkan uang di bank demi keamanan saja dan tidak yakin bahwa uang tersebut digunakan untuk larangan agama adalah makruh. Adapun hukum bank dan bunga bank disamakan dengan hukum gadai.  Hukum memanfaatkan barang gadai; Pertama, sebagian ulama mengatakan bahwa memanfaatkan barang gadai adalah haram, sebab termasuk hutang yang diambil manfaatnya. Kedua, sebagian lagi mengatakan bahwa memanfaatkan barang gadai adalah halal (mubah) karena tidak disyaratkan pada waktu akad dan adat yang berlaku. Ketiga, sebagian lagi mengatakan bahwa memanfaatkan barang gadai adalah subhat (tidak jelas halal-haram nya).
Pengaturan syariah Islam merupakan pedoman yang bersifat universal, yang berarti dapat digunakan oleh siapapun tidak terbatas pada umat saja, dalam bidang apapun serta tidak dibatasi oleh waktu sehingga dapat diterapkan dalam kondisi apapun asalkan masih berpegang pada acuan norma-norma Islami dengan demikian sistem perekonomian berbasis syariah Islam ditujukan bukan hanya untuk umat Islam, tetapi bagi seluruh umat manusia (rahmatan lil ‘alamin).  Menurut Ahmad M. Saefuddin, bahwa konsep sistem ekonomi Islam yang dikembangkan dalam pembangunan masyarakat didasarkan pada Islam suprasistemnya, yakni pada konsep segitiga (triangle arrangement), Allah sebagai sudut puncaknya sedangkan manusia dan sumber daya alam dan lingkungan terletak pada dua sudut dibawahnya.
Pada pelaksanaan kegiatan operasional perbankan yang didasarkan pada konsep syariah akan menampakkan nilai-nilai Islam yang secara umum dapat dikelompokkan dalam dua perspektif, yakni mikro dan makro. Pada perspektif mikro nilai syariah lebih ditekankan pada aspek profesionalisme dan sikap amanah. Sedangkan pada perspektif makro nilai-nilai syariah lebih ditekankan pada aspek distribusi, pelarangan riba, dan kegiatan ekonomi yang tidak memberikan manfaat secara nyata pada sistem perekonomian. 
Nilai-nilai Islam yang diterapkan dalam kegiatan perekonomian di Indonesia, menurut Warkum Sumitro telah didukung dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 yang telah membuka pintu bagi terselenggaranya perbankan dengan konsep Islam di Indonesia.  Penjelasan pada UU No.21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah dikemukakan bahwa salah satu bentuk penggalian potensi dan wujud kontribusi masyarakat dalam perekonomian nasional tersebut adalah pengembangan sistem ekonomi berdasarkan syariah Islam, dengan mengangkat sistem hukum nasional.
Prinsip syariah adalah aturan pada sistem operasional bank syariah. Aturan perjanjian berdasarkan hukum Islam antara bank dan pihak lain/nasabah, seperti akad mudharabah dan wadiah (pada sistem, funding, deposito dan giro), musyarakah, murabahah, salam dan istisna’  (pada sistem financing), serta wakalah, kafalah, hiwalah (pada sistem service),
Perbankan syariah tidak menggunakan istilah kredit dalam kegiatan  operasionalnya. Dalam menjalankan kegiatan usaha perbankan syariah menggunakan istilah pembiayaan dengan prinsip syariah. Yakni penyediaan uang atau tagihan yang dipersamakan dengan itu berdasarkan persetujuan atau kesepakatan antara bank dan pihak lain yang mewajibkan pihak yang dibiayai untuk mengembalikan uang atau tagihan dalam waktu tertentu dengan sistem bagi hasil atau imbalan.

C.    Masa Depan Perbankan Syari’ah Indonesia.
Sedangkan pada faktor yang mempelancar perkembangan perbankan syariah menurut Mudrajad Kuncoro dan Suharsono dalam bukunya “Manajemen Perbankan Teori dan Aplikasi” mengatakan bahwa deregulasi finansial  yang sedang terjadi di Indonesia saat ini tampak sejalan dengan deregulasi finansial  yang terjadi di Asia. Persamaan yang tampak pada dimensi deregulasi  yang terpisah namun masih berkaitan erat, yakni deregulasi harga  (terutama deregulasi pada suku bunga), deregulasi produk (ragam jasa yang ditawarkan), dan deregulasi spasial (kelonggaran pembukaan cabang atau hambatan memasuki pasar). 
Sehingga dapat dikatakan bahwa tinjauan daripada deregulasi saat ini menunjukkan telah mengubah tatanan sektor keuangan Indonesia lebih baik, serta memunculkan fenomena baru yang mengakibatkan iklim persaingan sehat dan hangat, termasuk didalamnya persaingan dalam perbankan syariah di Indonesia. Menurut Ismail Nawawi, diakui atau tidak, bahwa deregulasi finansial di Indonesia telah memberikan iklim bagi tumbuh dan kembangnya bank syariah.   Hal ini ditunjukkan Pada tahun 1991 hadirnya dua BPR Syariah. Tahun 1992 muncul undang-undang tentang perbankan No.7 Tahun 1992, yang isinya tentang bank bagi hasil, serta berdiri pula Bank Muamalat Indonesia sebagai Bank Umum Syariah.  Reaksi selanjutnya juga memunculkan adanya UU No.10 Tahun 1998 sebagai revisi dari UU No. 7 Tahun 1992, yang memunculkan hikmah tersendiri bagi dunia perbankan nasional, dimana pemerintah membuka jalan lebar kegiatan usaha perbankan dengan prinsip syariah.
Jika dilihat dari sektor makro ekonomi, perkembangan bank syariah di Indonesia memiliki peluang besar karena peluang pasarnya yang luas selaras dengan mayoritas masyarakat Indonesia beragama Islam, sehingga tidak menutup kemungkinan UU No. 10 Tahun 1998 memberikan peluang bagi pemilik bank negara, swasta nasional bahkan asing untuk membuka cabang syariah di Indonesia. Dengan terbukanya kesempatan ini jelas akan memperbesar peluang transaksi keuangan di dunia perbankan. Hal ini juga dapat menampung aspirasi dan kebutuhan yang berkembang di masyarakat, sehingga masyarakat juga diberikan kesempatan yang seluas-luasnya untuk mendirikan bank ataupun lembaga keuangan non-bank berdasarkan prinsip syariah, termasuk juga kesempatan konversi dari bank umum yang usaha kegiatannya berdasarkan pola konvensional menjadi pola syariah. Selain itu juga diperbolehkannya bagi pengelola bank umum konvensional untuk membuka cabang atau kantor cabang pembantu  atau kantor cabang yang sudah ada menjadi kantor cabang khusus dengan operasional aktivitasnya berprinsip syariah dengan syarat melarang adanya percampuran modal kerja dan akuntansinya.
Tampak dengan dirumuskannya UU No. 10 Tahun 1998 ini dapat membawa kesegaran baru bagi dunia perbankan di Indonesia, terutama bagi perbankan syariah serta berdirinya bank-bank baru yang melakukan aktivitasnya dengan prinsip syariah sehingga dapat menambah semarak lembaga keuangan syariah yang telah ada seperti BUS (Bank Umum Syariah), BPR Syariah, dan BMT (Baitul Mal wa Tamwil).  Dari semakin kuatnya struktur kelembagaan syariah di Indonesia akhirnya membuahkan hasil, yaitu muncul dan berkembangnya badan usaha lain non bank yang menerapkan prinsip syariah, seperti asuransi syariah, perdagangan bursa saham syariah, pegadaian syariah, selain itu juga semakin jelas perkembangan lembaga bank dan non bank yang berbasis syariah di Indonesia mampu mendorong peran perbankan dalam menggerakkan sektor riil dan membatasi spekulasi, memenuhi kebutuhan jasa perbankan bagi masyarakat yang tidak menerima adanya konsep bunga sebagai bentuk ketaatan pada Tuhannya serta menjadi solusi dalam melakukan transaksi keuangannya dan terciptanya dual banking system  yang secara sehat diatas nilai-nilai Islam.
Bank Indonesia (BI) sebagai pemegang otoritas perbankan nasional telah mengeluarkan serangkaian kebijakan dalam rangka pembentukan perbankan syariah di Indonesia, setelah UU No.10 Tahun 1998 sebagai perubahan dari UU No.7 Tahun 1992 tentang Perbankan, selain melalui pendirian BUS dan layanan syariah  Bank Umum yang membentuk UUS (Unit Usaha Syariah) terlebih dahulu, muncul pada tahun 2008  pembentukan bank syariah  melalui mekanisme akuisisi  dan konversi  dari bank konvensional menjadi syariah menjadi sebuah trend baru. implementasinya dapat dilakukan melalui tiga pendekatan, yakni: pertama, bank umum konvensional yang telah memiliki UUS mengakuisisi bank yang relatif kecil kemudian mengkonversinya menjadi syariah dan melepaskan serta menggabungkan  UUS-nya dengan bank yang baru dikonversinya. Kedua, bank umum konvensional yang belum memiliki UUS, mengakuisisi bank yang relatif kecil dan mengkonversinya menjadi syariah. Ketiga,  bank umum konvensional melakukan pemisahan (spin off) UUS dan dijadikan Bank Umum Syariah tersendiri.
Pada pertengahan tahun 2008 penerapan bank syariah serta lembaga keuangan bank ataupun non bank, pemerintah lebih mendiskusikan tentang konsep zakat  dan takaful (pada konsep asuransi syariah) yang menjadikan bingkai terpenting pada sistem keuangan Islam di Indonesia, seperti pada penerapannya di BMT dan Asuransi Syariah (takaful).  Peluang pertumbuhan perbankan syariah di Indonesia muncul setelah hadirnya Bank Muamalat Indonesia, hingga pada data akhir januari tahun 2011 ada sebelas Bank Umum Syariah (BUS) yang muncul diikuti 23 Unit Usaha Syariah dan 151 BPRS.  Pada lima tahun terakhir pertumbuhannya 38% per tahun  di tahun 2006. Serta pertumbuhan mencapai 47% di tahun 2010.  Lihat pada tabel yang menunjukkan proyeksi perkembangan bank syariah di Indonesia.

Dari tabel yang bersumber dari data statistik Bank Indonesia ini menunjukkan tingkat perkembangan bank syariah di Indonesia terus maju pada sektor keuangan di Indonesia. Meskipun pada sistem operasionalnya tidak menggunakan tingkat bunga dan menjalankan sistem ekonomi syariah yang lebih adil diberikan pada masyarakat dan nasabah bank pada umumnya, dan dapat menjadi lembaga intermediary yang sesungguhnya sebagai dari fungsi bank itu sendiri.  Serta peran bank Islam dapat meningkatkan stabilitas ekonomi masyarakat dan mengentaskan kemiskinan bangsa.
 
Pada tabel perkembangan perbankan syariah pada beberapa negara:
NO    NEGARA    POPULASI    MUSLIM (%)    GDP ($)    ASET PERBANKAN    PANGSA PASAR BANK SYARIAH (%)
1    Iran     65.875.223    98.0    278.1    162.2    100
2    Sudan    40.218.455    70    49.71    58    90
3    UAE    4.621.399    96    189.6    46.3    13.5
4    Bahrain    718.306    81.2    16.89    16.4    6.5
5    Qatar    928.635    77.5    65.81    14.8    18.2
6    Malaysia    25.274.133    60.4    165    50    12.9
7    Singapore    4.608.167    14.9    153.5    1.8    6.5
8    UK    60.943912    2.7    2756    10    0.05
9    Indonesia     237.512.355    85.0    410.3    3.9    2.1
 
Dari tabel diatas menunjukkan bahwa tingkat populasi muslim di Indonesia sebesar 85% akan tetapi pangsa pasar perbankan syariah hanya 2,1%, hal ini mengungkapkan adanya pemahaman masyarakat yang belum tepat pada kegiatan operasional perbankan syariah  dan kurangnya pengetahuan dan kepercayaan mereka pada perbankan syariah, kemudian adanya peraturan perbankan syariah yang berlaku  belum sepenuhnya dapat mengakomodasi opersional perbankan, sehingga menjadi alasan kurang maksimalnya pertumbuhan perbankan syariah di Indonesia.
Menurut Mutiara Dwi Sari dalam jurnalnya pada perkembangan perbankan syariah dari segi asset, pembiayaan dan jumlah institusi menunjukkan perkembangan yang cukup baik, tetapi pada perkembangan pangsa pasar hanyalah 3,2% daripada pangsa pasar perbankan nasional.  Tentu saja pangsa pasar perbankan syariah  hanyalah bentuk kecil dari potensi mayoritas masyarakat Indonesia yang beragama Islam, situasi inimenunjukkan bahwa perbankan syariah hanyalah sebagai alternatif, bukan sebagai kewajiban umat muslim dalam melakukan transaksi ekonomi pada perbankan syariah. Antara sebab kecilnya pangsa pasar ini kurangnya pengetahuan konsumen terhadap perbankan syariah, kurangnya komitmen pemerintah, sosialisasi yang kurang serta masalah perdebatan konteks halal haram bunga bank.
Untuk meningkatkan kesadaran umat muslim di Indonesia agar kembali kepada ajaran tauhid dan terbebas dengan adanya bunga atau riba, meskipun hal demikian belum bisa dihindari secara totalitas. Jika orang muslim di Indonesia dalam tingkat ketaqwaan masih tergolong lemah atau awam, maka para ulama’ lah yang berperan menggandeng dan membimbing mereka. Hal tersebut dapat dengan berbagai macam cara, seperti kegiatan pendidikan moral dan agama pada lembaga pendidikan formal ataupun non formal, kegiatan meramaikan masjid, peduli fakir miskin, kesadaran berzakat, dan sebagainnya.
 Meskipun pedoman hidup umat manusia adalah al-Qur’an dan as Sunnah, tetapi jika orang awam yang menerapkannya secara mentah-mentah maka tersesatlah mereka, kecuali dengan bantuan dari orang yang berilmu, yakni ulama’. Sesuai dalam QS:al Ankabut:49 yang Artinya: “sebenarnya al Qur’an itu adalah ayat-ayat yang nyata di dalam dada orang-orang yang berilmu.

Oleh karena itu masyarakat muslim di Indonesia dalam melaksanakan segala macam kegiatan ibadah, muamalah, dan sebagainya selalu mendapat bimbingan dari para ulama’, begitu juga dalam melaksanakan kegiatan muamalah pada konteks perbankan syariah. Ulama’ di Indonesia mengerahkan pemikirannya untuk melaksanakan kegiatan muamalah tanpa melanggar aturan syara’, begitu pula pada konsep riba atau bunga yang diterapkan pada perbankan.
Pada perbankan syariah seharusnya dalam pemberian keuntungan dalam bentuk bagi hasil. Tetapi prakteknya bentuk riba terkadang masih belum bisa dilepaskan, mengingat besar keuntungan yang akan diterima oleh nasabah atau bank, daripada bagi hasil. Terkadang pula orang muslim awam menyamakan antara sistem bagi hasil dengan riba. Maka dari itu konsep perbankan syariah yang berdalih menggunakan sistem bagi hasil tetapi kenyataannya belum berani betul melepaskan konsep bunga, akan  tetapi demikian perbankan syariah meminimalisirkan kebatilan bunga. Seperti dalam kaidah Islam, yang artinya “jika kita tidak dapat seluruhnya maka jangan tinggalkan seluruhnya”.
Dalam kaidah tersebut pada konsep pelaksanaan operasional perbankan syariah yang berusaha meninggalkan praktek riba, dan beralih dengan bagi hasil, tetapi bagi hasil masih belum dilaksanakan secara murni, hal tersebut lebih baik dari pada pelaksanaan bank meninggalkan konsep syariah seutuhnya dan menggunakan riba untuk mendapatkan keuntungan yang sebesar-besarnya. 

KESIMPULAN

1.    Ide pendirian bank syariah sudah ada sejak tahun 1970. Yang pertama kali muncul BPRS adalah Bank Pembiayaan Rakyat Syariah (BPRS) Dana Mardhatillah, BPRS Amal Sejahtera, dan BPRS Amanah Rabbani di Kabupaten Bandung. mendirikan perbankan umum syariah  yakni Bank Muamalat Indonesia, serta mendapatkan legalitas, yakni Undang-Undang No. 7 Tahun 1992.
2.    Pada perspektif mikro dan makro nilai syariah. Memunculkan perdebatan dan perbedaan dikalangan cendekiawan dan para ulama tentang bunga bank. ada yang mengatakan haram, syubhat, dan mengatakan haram. pada sistem operasional bank syariah. Aturan perjanjian berdasarkan hukum Islam antara bank dan pihak lain/nasabah untuk penyimpanan dana (mudharabah, wadiah), pembiayaan kegiatan usaha (Musyarakah, murabahah, mudharabah), dan pengelolaan jasa (wakalah, kafalah, hiwalah).
3.    Pangsa pasar perbankan syariah  hanyalah bentuk kecil dari potensi mayoritas masyarakat Indonesia yang beragama Islam, situasi inimenunjukkan bahwa perbankan syariah hanyalah sebagai alternative. Hal ini kurangnya pengetahuan konsumen terhadap perbankan syariah, kurangnya komitmen pemerintah, sosialisasi yang kurang serta masalah perdebatan konteks halal haram bunga bank. Pelaksanaan bagi hasil di bank syariah masih belum dilaksanakan secara murni, hal tersebut lebih baik dari pada pelaksanaan bank meninggalkan konsep syariah seutuhnya dan menggunakan riba untuk mendapatkan keuntungan yang sebesar-besarnya. 

RUJUKAN PUSTAKA

Alma, Buchari et.al. Manajemen Bisnis Syariah: Menanamkan Nilai dan Praktik Syariah dalam Bisnis Kontemporer. Bandung: CV.Alfabeta, 2014.
Al-Qur’an QS: al-Baqarah 275-276.
Antonio, Syafii. Bank Syariah dari Teori ke Praktek. Jakarta: Gema Insani, 2001.
Asifudin, Ahmad Jannan. Etos Kerja Islami. Surakarta: Universitas Muhammadiyah, 2004.
Aziz, Abdul. Etika Bisnis Perspektif Islam: Implementasi Etika Islam,untuk Dunia Usaha. Bandung: CV.Alfabeta, 2013.
Biro Perbankan Syariah Bank Indonesia. Cetak Biru Pengembangan Perbankan Syariah di Indonesia. Jakarta:Biro Perbankan Indonesia, 2001.
Departemen Agama RI, al-Qur’an dan Tafsirnya (Edisi Yang Disempurnakan) vol.1. Jakarta:Departemen RI, 2009.
Firdaus,Muhammad et.al. Konsep dan Implementasi Bank Syariah (Brefcase Book Edukasi Profesional Syariah). Jakarta: Renaisan, 2005.
Hidayat, Rahmat.  Efisiensi Perbankan Syariah:Teori dan Praktik . Bekasi: Gramata Publishing, 2014.
Huda, Nurul dan Mohamad Heykal.  Lembaga Keuangan Islam:Tinjauan Teoretis dan Praktis. Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2013.
Ismal, Rifki. The Indonesian Islamic Banking:Theory and Practices.  Jakarta: Gramata Publishing, 2011.
Karim, Adiwarman. Bank Islam: Analisis Fiqh dan Keuangan . Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2004.
Kuncoro, Mudrajad dan Suharsono. Manajemen Perbankan Teori dan Aplikasi. Yogyakarta:BPFE, 2002.
Machmud, Amir dan Rukmana.  Bank Syariah, Teori, Kebijakan, dan Studi Empiris di Indonesia. Jakarta: Erlangga, 2010.
Muhammad.  Kebijakan Moneter dan Fiskal dalam Ekonomi Islam . Jakarta: Salemba Empat, 2002.
Nawawi, Ismail Perbankan Syari’ah: Issu Issu Manajemen Fiqh Mu’amalah Pengkayaan Teori Menuju Praktek. Surabaya: VIVPress, 2010.
Nazir, Moh. Metodologi Penelitian. Bogor: Ghalia Indonesia, 2013.
Perwaatmadja,Karnaen, et.al. Bank Syariah: Teori, Praktek, dan Peranannya. Jakarta:Calestial Publishing, 2007.
Qardhawi, Yusuf. Bunga Bank Haram, terj. Setiawan Budi Utomo. Jakarta: Akbar Media Eka Sarana, 2001.
Rahardjo, Dawam . Islam dan Transformasi Sosial dan Ekonomi. Jakarta: Lembaga Studi Agama dan Filsafat, 1999.
Saefuddin, Ahmad M.  Nilai-Nilai Sistem Ekonomi Islam. Jakarta: Samudra, 1984.
Sangadji, Etta Mamang dan Sopiah, Metodologi Penelitian Pendekatan Praktis dalam Penelitian. Yogyakarta: CV.Andi Offset, 2010.
Sjahdeini, Sutan Remy. Perbankan Islam dan Kedudukannya dalam Tata Hukum Perbankan Indonesia. Jakarta:Grafiti, 1999.
Sumitro, Warkum . Perkembangan Hukum Islam ditengah Kehidupan Sosial Politik di Indonesia . Malang: Bayu Media Publishing, 2005.
Undang-Undang No. 10 Tahun 1998 Perbankan tentang Perbankan
Venardos, Angelo M.  Islamic Banking and Finance in South-East Asia:It’s Development & Future. 5 Toh Tuck Link Singapore:World Scientific Publishing, 2006.
------.  Current Issues in Islamic Banking and Finance:Resilience and Stability in the present Sytem . 5 Toh Tuck Link Singapore:World Scientific Publishing, 2010.

M.S.R
Labels: Makalah

Thanks for reading ISLAMISASI PERBANKAN (Studi Kasus di Indonesia). Please share...!

0 Komentar untuk "ISLAMISASI PERBANKAN (Studi Kasus di Indonesia)"

Back To Top