EPISTIMOLOGI FILSAFAT ILUMINASI SUHRAWARDI
Oleh : May Shinta R
Pasca Sarjana IAIN Ponorogo
2016
A.
PENDAHULUAN
1.
Latar Belakang
Pada
Filsafat Ilmu yang digunakan oleh sentral pengkajian adalah kebenaran. Banyak
cara dalam menemukan suatu kebenaran. Cara-cara menemukan suatu kebenaran
sebagaimana yang diuraikan oleh Hartono Kasmadi, dkk. Sebagaimana (a) Penemuan
secara kebetulan, (b)penemuan coba dan ralat, (c) penemuan melalui otoritas
atau kewibawaan, (d) penemuan secara spekulatif, (e)penemuan kebenaran melalui
cara berfikir kritis dan rasional, (f) dan kebenaran melalui penelitian ilmiah.[1]
Problematika mengenai kebenaran merupakan masalah-masalah yang mengacu pada
setiap perkembangan filsafat. Pada perkembangan filsafat dalam menemukan suatu
kebenaran memunculkan banyak filsuf Yunani seperti Aristoteles, Plato, dan
sebagainya, sehingga dari filsuf ini juga memunculkan tokoh-tokoh lain pada
Filsafat Islam seperti al-Ghozali, ibn Rusyd, Suhrawardi, ibn Tufail, ibn Sina dan
lainnya.
Proses
sejarah masa lalu, tidak dapat dielakan begitu saja dengan filsafat Yunani,
karena filsafat Islam terpengaruh oleh filsafat Yunani. Para filsof Islam
banyak mengambil pemikiran Aristoteles dan Plato, sehingga banyak teori yang
diambil dari filosuf Yunani. Tetapi pemikiran Islam mempunyai ciri khas sendiri
dibanding dengan filsafat Aristoteles, seperti pemikiran Islam pada ilmu kalam
dan tasawuf, demikian pula pokok-pokok hukum Islam (tasyri') dan Ushl
Fiqh yang terdapat uraian yang logis dan sistematis dan mengandung
kefilsafatan. Dalam menetapkan hubungan syariah dan filsafat, para
pemikir muslim awal mengambil dua model:pertama, sebagian pemikir
menyimpulkan syariah lebih tinggi dari filsafat, seperti al-Ghozali. Kedua, sebagian
menyimpulkan bahwa metode demonstrasi filsafat lebih unggul dari metode syari'ah,
pandangan ini yang dipegang oleh filsuf yang tidak menaruh perhatian pada
persoalan akidah. Sehingga memunculkan kelompok ketiga, yang berupaya mendapaikan syariah
dengan filsafat. Kelompok ini dipelopori oleh filsuf muslim yang menaruh konsep
perhatian pada akidah, seperti al-Kindi, al-Farabi, dan Ibn Sina.[2]
Kelompok
ketiga ini disebut dengan filsuf muslim klasik yang menaruh perhatian kepada
akidah Islam, sehingga mereka disebut filsuf muslim paripatetik, dan
filsafatnya disebut filsafat paripatetik. Sebutan paripatetik ini mengacu pada
tradisi Aristoteles yang ketika mengajar murid-muridnya ini memutari dan
mengelilingi muridnya. Dari pemikiran filsuf muslim ini adalah penekanannya
terhadap filsafat teoritis-metafisik yang menjadi titik utama pada kajian nalar
epistimologi.[3]
Setelah
wafatnya ibn Rusyd merupakan fase terakhir aliran filsafat paripatetik, tetapi
Henry Corbin membantahnya, dia menilai bahwa tradisi permenungan dikalangan
filsuf muslim berakhir dengan kematian ibn Rusyd. Filsafat Islam berhenti hanya
pada tradisi Sunni, tetapi pada tradisi Syiah baru dimulai, seperti Suhrawardi
dan Mulla Sadra.[4]
2.
Rumusan Masalah
Dalam
pembahasan ini tidak lepas dari tokoh filsuf muslim paripatetik yang mengawali
kajian filsafatnya dikalangan muslim Syiah, sehingga memngemukakan pertanyaan
bagaimana nalar epistimologi filsafat iluminasi Suhrawardi al-Maqtul?
3.
Tujuan
Pada bagian ini
bertujuan untuk mendeskripsikan nalar epistimologi filsafat iluminasi Suhrawardi
al-Maqtul.
4.
Teori
Makalah ini
disusun dengan menggunakan metodologi kualitatif yang menghasilkan data deskriptif dalam
bentuk kata-kata dan bahasa. Penelitian ini bersifat kepustakaan yang dilakukan
oleh peneliti library research dengan menginduk pada literatur buku,
catatan, atau penelitian terdahulu tentang nalar epistimologi filsafat iluminasi
Suhrawardi al-Maqtul.
B.
BIOGRAFI SUHRAWARDI
AL MAQTUL
Syihabuddin
Yahya ibn Habasy ibn Amirak Abu al Futuh Suhgrawardi atau yang dikenal dengan Suhrawardi,
merupakan filsuf yang sangat terkenal sepanjang sejarah dalam filsafat Islam
sebagai guru iluminasi.[5]Syekh
al-Isyraq suatu sebutan padanya untuk posisi yang lazim sebagai pendiri
mahzab baru filsafat yang berbeda dengan mahzab paripatetik. Suhrawardi lahir
di kota kecil suhraward di Persia Barat Laut pada 549 H/1154 M. Ia menemui
ajalnya di tiang gantungan di Allepo pada tahun 578 H/1191 M, karena menjadi
pembeda dari dua tokoh lainnya yang mempunyai nama Suhrawardi, yaitu (1) 'Abd
al-Qahir Abu Najib al Suhrawardi (w.563H/1168 M) pengarang buku mistik al-Muridin
(perilaku santri), (2)Abu Hafs Umar Syihab al-Din al suhrawardi al-Baghdadi yang merupakan guru
sufi resmi (syekh al-Syuyuk)pengarang buku Awarif al-Ma'rifah.Dari
pembeda tersebut Suhrawardi dijatuhi hukuman mati oleh sultan Salah al Din
al-Ayubi. Suhrawadi kemudian terkenal dengan sebutan al-Maqtul (yang
dibunuh) atau guru yang terbunuh (asy syaikh al-Maqtul).[6]
Meskipun
meninggal dalam usia muda yakni 36 tahun dalam masehi, Suhrawardi telah banyak
menyusun banyak karya yang signifikan, sebagian diantaranya: Hikmah al
Isyraq, Risalah fi I'tiqad al Hukuma', Hay bin Yaqdan, al Gurba' fi al Ghurbah,
Maqamat al-Sufiyah, al Masyari' wa al Mutharahat, al Talwihat al Arsyiyah wa al
Lauhiyah, al Maqamat, dan Hayakil
an Nur.[7]
Ia
belajar di Maraghah yang kelak menjadi astronomi al Thusi, dan juga di Isfahan
(dimana ia menjadi teman sekelas Fakhruddin al-Razi) untuk belajar filsafat
pada Majid ad-Din al-Jili. Kemudian ia pergi ke Isfahan untuk memperdalam
kajian filsafat kepada Zhahir al-Din al Qari al-Farsi mengkaji kitab al
Bashair al Nashiiriyah karangan Umar ibn Sahlan al Sawi. Setelah itu ia
banyak melawat di Persia, Anatolia, Damaskus, Syiria. Dalam pengembaraannya ia
juga banyak bergaul dengan kalangan sufi dan menjalani kehidupan zahid sambil
memperdalam ajaran-ajaran tasawuf. Akhirnya ia menetap di Aleppo atas undangan
pangeran al-Malik al-Zahir, seorang putra sultan Ahahlah al-Din yang tertarik
pada pemikiran Suhrawardi yang membangun perspektif filosofis kedua dalam Islam
yakni aliran illuminasionis. Keberhasilannya dalam mengemukakan aliran
tersebut mengeluarkan pernyataan doktrin yang esoteris yang tandas dan kritik yang tajam terhadap
ahli-ahli fikih, sehingga menimbulkan reaksi yang keras yang dimotori oleh Abu
al-Barakat al-Bagdadi yang anti Aristotelian. Akhirnya pada tahun 578 H atas
desakan fuqaha kepada pangeran Malik al Zhahir, Suhrawardi diseret kepenjara
dan menghantarkan kematiannya diusia muda.[8]
Tetapi
menurut Dr.Supriyadi,M.Ag. dalam bukunya yang berjudul "Pengantar Filsafat
Islam (Konsep, Filsuf, dan Ajarannya) menjelaskan bahwa para sejarawan abad
pertengahan menuduh Suhrawardi sebagai "zindiq" (anti agama), merusak
agama, dan menyesatkan pangeran muda (al Malik al-Zahir), namun kebenaran
tersebut sangat kontroversial. Alasan eksekusi Suhrawardi tampaknya lebih masuk
akal pada doktrin politik sang filsuf yang terungkap dalam karya-karyanya
tentang filsafat iluminasi. Hal tersebut tampak pada situasi tahun eksekusi
Suhrawardi yang terjadi bersamaan dengan gejolak konflik politik dan militer
yang terjadi pertempuran besar antara Muslim dan Kristen memperebutkan tanah
suci.[9]
C.
NALAR
EPISTIMOLOGI ILUMINASI SUHRAWARDI AL MAQTUL
Suhrawadi
al-Maqtul adalah tokoh sufi filosofis yang paham tentang filsafat platonosme,
paripatetisme, Neo-platonisme, hikmah Persia, alira-aliran agama Sabean, dan
filsafat Hermetisisme. Dalam karya-karyanya ia sering menyebut filosof Hermes
dan memandangnya sebagai tokoh penganut paham iluminasi, Hermes adalah salah
seorang dari tiga tokoh yang mempengaruhi perjalanan iluminasi Suhrawardi.[10]
Dalam
sistem filsafat iluminasi Suhrawardi menurunkan sejumlah istilah kunci bagi
pemahaman sistem logika, epistemologi, fisika, psikologi, dan metafisika. Untuk
epistemologi atau teori ilmu pengetahuan, Suhrawardi menurunkan istilah qa’idah
al-Isyraqiyyah, dan terhadap kandungan filsafat ia menyebut daqiqah al-Isyraqiyyah.
Suhrawardi mengemukakan bahwa hikmah isyraq ini didasarkan pada rasa,
sebagaimana katanya:[11]
“apa
yang kukemukakan (dalam hikmah al-Isyraq) ini tidak ku peroleh lewat
pemikiran, tapi kuperoleh lewat sumber lain. Dan aku pun segera mencari
argumentasinya. Jika argumentasinya itu benar-benar telah pasti, sedikitpun aku
tidak ragu terhadapnya sekalipun orang meragukannya”
Melalui istilah ini Suhrawardi merumuskan
kembali pemikiran tentang logika, epistemologi, fisika dan metafisika. Istilah
lain yang diturunkan ialah musyahadah al-isyaqiyyah (penyaksian dengan
pencerahan) untuk menyebut tahap terakhir pencapaian pengetahuan hakiki. Selain
itu, Suhrawardi dalam filsafat iluminasinya menyebut sumber dan hasil iluminasi
sama-sama menggunakan istilah nur (cahaya). Istilah susunan dan cahaya-cahaya
disamakan juga dengan susunan kemalaikatan. Istilah cahaya dan gelap berarti
juga dengan ruh dan materi. Cahaya-cahaya (anwar) adalah nama lain dari
akal-akal, al-Anwar al-Qahirah untuk menyebut akal –akal planet, al-Anwar al-Mujarradat untuk jiwa-jiwa manusia,
dan nur al-Nur untuk menyebut
Allah, al-Jauhar al-Ghasiq sebagai tubuh (jism), dan alam (barzah-barzah)
sebagai alam tubuh (al’Alam al-Ajsm).[12]
Sehingga
nalar epistimologi Suhrawardi menurut Dr.Aksin Wijaya dalam bukunya “Satu
Islam Ragam Epistimologi”, ada beberapa kajian, yang pertama,
manusia dan alat pengetahuan. Dalam konsep ini Suhrawardi membahas tentang
manusia sebagai subyek yang mengetahui. Menurut Suhrawardi manusia terdiri dari
dua unsur yakni jiwa dan badan. Suhrawardi menegaskan adanya perbedaan antara
jiwa dan badan. Jiwa mempunyai fakultas penyerapan lahir dan pencerapan batin. Fakultas
pencerap lahir adalah panca indera yang
meliputi indra peraba, perasa, penciuman, pendengaran, dan pengelihatan.
Fakultas pencerap batin meliputi imajinasi berpikir, estimasi (wahm) dan
penghafal (hafizah).[13]
Jiwa memiliki kemampuan khusus yang tidak dimiliki badan, sehingga bisa
dikatakan jiwa lebih utama daripada badan, jika jiwa lepas dari badan hakikat
kehidupan manusia tidak ada lagi. [14]
Kedua, obyek pengetahuan pembahasan ini tentang ontology cahaya.
Suhrawardi membedakan antara cahaya (nur) dan sinar (dlau’) dalam
realitas dirinya. Sedangkan jika sesuatu tersebut bukan cahaya dan bukan pula
sinar maka termasuk dalam kategori kegelapan (zulmah). Yang menjadi
titik tekan bahasan epistimologi hikmah Isyra’ Suhrawardi dari cahaya
adalah cahaya-cahaya ilahi (al-Anwar al ilahiyah) atau cahaya diatas
cahaya (nur al-Anwar) dan cahaya-cahaya pancarannya.[15]
Sehingga dari segi hubungan cahaya dapat dibedakan kepada cahaya bagi dirinya
dan cahaya yang menyinari hal-hal yang lain yang diluar dirinya. Selain itu cahaya murni
memiliki herarki vertical. Pada puncak cahaya murni berdiri Cahaya Segala
Cahaya, kepadanya tergantung seluruh rentetan cahaya yang dibawahnya. Runtutan
cahaya harus berujung pada cahaya pertama. Cahaya pertama menurut Suhrawardi
sebagai Cahaya Segala Cahaya, Cahaya Mandiri, Cahaya Suci dan sebagainya.[16]
Sifat Cahaya Segala Cahaya ini merupakan Esa. Cahaya Segala Cahaya memberikan
kesempurnaan melalui perantara Jibril dan menganugerahkan ruh suci kepada
embrio dalam menghasilkan manusia,
cahaya manusia atau jiwa yang disebut isfahbad kemanusiaan. Ciptaan atau
pancaran cahaya ini tidak mendahului formasi tubuh, karena manifestasi dalam
dirinya tergantung pada tubuh. Andaikata cahaya-cahaya jiwa itu abadi, maka
cahaya itu prototipenya dalam dunia immaterial haruslah tidak terhingga, tetapi
yang demikian itu mustahil.[17]
Tuhan sebagai Cahaya Segala Cahaya (nur al Anwar) beriluminasi
(menyinari) cahaya yang ada dibawahnya, sedang cahaya yang ada dibawahnya
menerima dalam bentuk musyahadah terhadap pancaran cahaya dari yang ada
di atasnya. Yang mampu menerima cahaya nur al-Anwar adalah seseorang yang mempunyai kemampuan
pengalaman mistik yang mendalam, sekaligus mampu menjelaskan secara diskursif,
atau yang mempelajari filsafat mistis saja. Sehingga menurut Suhrawardi Tuhan
hanya bisa diketahui melalui pengetahuan dengan kehadiran (ilmu huduri).[18]
Ketiga, proses mengetahui. Proses ini membahas hubungan subyek yang
mengetahui dengan obyek pengetahuan. Suhrawardi menggunakan intuisi dan akal
dalam rumusan epistimologinya, sedang yang menjadi obyek pengetahuannya adalah
Cahaya. Suhrawardi membagi pengetahuan menjadi dua, yakni pengetahuan yang
bersifat fitri dan tidak bersifat fitri. Bersifat fitri adalah pengetahuan
dengan kehadiran karena obyeknya hadir dalam diri subyek. Pengetahuan dengan
perolehan atau tidak bersifat fitri (ilmu al-Husuli), dimana subyek
yang aktif mencari tahu. Sehingga dalam karyanya Hikmah Isyraq yang pertama
kritik Suhrawardi pada filsuf paripatetik
yang menggunakan teori pengetahuan dengan perolehan. Kedua, tawaran Suhrawardi sendiri yang disebut
pengetahuan dengan kehadiran (ilmu al-Huduri). Perolehan pengetahuan pertama menggunakan
fungsi indrawi dan kebenarannya diukur
dengan teori korenpondensi dan kedua melalui kegiatan berfikir dalam bentuk
definisi, argumentasi, dan logika dengan uji kebenaran melalui kebenaran korespondensi
atau koherensi sesuai dengan obyek. Sedangkan kebenaran dengan kehadiran yang
bersumber dari fakultas rohani dan diperoleh melalui mukasyafah dan
iluminasinya dari batin seperti mujahadah,
riyadah, dan ibadah.[19]
Teori Suhrawardi berlangsung sesuai dengan
pengetahuan, yaitu subyek dan obyek keduanya hadir dan sama-sama membutuhkan
tindakan visi. Agar tindakan visi tersebut terwujud, syarat berikut harus
dipenuhi:[20]
(1)kehadiran cahaya disebabkan oleh pemancaran cahaya dari segala cahaya.
(2)ketiadaan penghalang atau tabir antara subytek dan obyek. (3) iluminasi pada
subyek dan obyek. Mekanisme yang memungkinkan subyek teriluminasi adalah suatu
hal yang sulit dan melibatkan aktifitas fakultas imajinasi. Tujuan iluminasi
menurut Suhrawardi adalah menjadikan manusia masuk kedalam jajaran alam
malaikat (uqul) yang diliputi oleh hakikat dan makrifat tentang Allah,
menguasai ilmu Allah, dan dapat meraihnya sebelum kemunculannya ke alam ini,
seperti halnya teori filsafat idealism Plato.Suhrawardi pun menegaskan: “semua
orang sepakat bahwa cara untuk meraih akherat haruslah mengetahui yang Maha
Tunggal (Al-Haqq), malaikat, jiwa-jiwa suci, dan tempat kembali untuk
orang-orang bahagia. Oleh karena itu lakukan latihan spiritual (riyadhah) dan
konsentrasikan diri untuk meraihnya. Engkau pasti dapat menggapai apa yang
telah dicapai mereka”.[21]
D.
KESIMPULAN
Syihabuddin Yahya ibn Habasy ibn Amirak Abu al Futuh Suhgrawardi
atau yang dikenal dengan Suhrawardi, merupakan filsuf yang sangat terkenal
sepanjang sejarah dalam filsafat Islam sebagai guru iluminasi. Suhrawardi lahir
di kota kecil suhraward di Persia Barat Laut pada 549 H/1154 M. Ia menemui
ajalnya di tiang gantungan di Allepo pada tahun 578 H/1191 M. Suhrawardi telah
banyak menyusun banyak karya yang signifikan, sebagian diantaranya: Hikmah
al Isyraq, Risalah fi I'tiqad al Hukuma', Hay bin Yaqdan, al Gurba' fi al
Ghurbah, Maqamat al-Sufiyah, al Masyari' wa al Mutharahat, al Talwihat al
Arsyiyah wa al Lauhiyah, al Maqamat, dan Hayakil an Nur.
Suhrawadi al-Maqtul adalah tokoh sufi filosofis yang paham tentang
filsafat platonosme, paripatetisme, Neo-platonisme, hikmah Persia, alira-aliran
agama Sabean, dan filsafat Hermetisisme. Dalam karya-karyanya ia sering
menyebut filosof Hermes dan memandangnya sebagai tokoh penganut paham
iluminasi, Hermes adalah salah seorang dari tiga tokoh yang mempengaruhi
perjalanan iluminasi Suhrawardi.
Suhrawardi dalam filsafat iluminasinya menyebut sumber dan hasil
iluminasi sama-sama menggunakan istilah nur (cahaya). Istilah susunan dan cahaya-cahaya
disamakan juga dengan susunan kemalaikatan. Istilah cahaya dan gelap berarti
juga dengan ruh dan materi. Cahaya-cahaya (anwar) adalah nama lain dari
akal-akal, al-Anwar al-Qahirah untuk menyebut akal –akal planet, al-Anwar al-Mujarradat untuk jiwa-jiwa manusia,
dan nur al-Nur untuk menyebut
Allah, al-Jauhar al-Ghasiq sebagai tubuh (jism), dan alam (barzah-barzah)
sebagai alam tubuh (al’Alam al-Ajsm). Tuhan sebagai Cahaya Segala Cahaya
(nur al Anwar) beriluminasi (menyinari) cahaya yang ada dibawahnya,
sedang cahaya yang ada dibawahnya menerima dalam bentuk musyahadah
terhadap pancaran cahaya dari yang ada di atasnya. Yang mampu menerima cahaya nur
al-Anwar adalah seseorang yang
mempunyai kemampuan pengalaman mistik yang mendalam, sekaligus mampu
menjelaskan secara diskursif, atau yang mempelajari filsafat mistis saja.
Sehingga menurut Suhrawardi Tuhan hanya bisa diketahui melalui pengetahuan
dengan kehadiran (ilmu huduri).
DAFTAR PUSTAKA
Supriyadi,
Dedi. Pengantar Filsafat Islam. Bandung: CV.Pustaka Setia, 2009.
Mustofa,
A. Filsafat Islam.Cet.1.
Bandung:CV.Pustaka Setia, 2004.
Nasution,
Hasyimsyah. Filsafat Islam.Cet.4.
Jakarta:Gaya Media Pratama, 2005.
Wijaya,
Aksin. Satu Islam Ragam Epistimologi dari Epistimologi Teosentrisme ke
Antroposentrisme .Cet.1.
Yogyakarta:Pustaka Pelajar, 2014.
Surajiyo.
Filsafat Ilmu dan Perkembangannya di Indonesia. Cet.7. Jakarta: PT.Bumi Aksara, 2013.
[1] Surajiyo, Filsafat
Ilmu dan Perkembangannya di Indonesia (Jakarta: Bumi Aksara. 2013).
100-101.
[2] Aksin Wijaya, Satu
Islam Ragam Epistimologi (Yogyakarta: Pustaka Pelajar. 2014). 42.
[3] Ibid., 44-45.
[4]Ibid., 110-111
[5]Supriyadi. Pengantar
Filsafat Islam-Konsep, Filsuf, dan Ajarannya (Bandung: Pustaka Setia.2009). 176.
[6]A.Mustofa. Filsafat
Islam (Bandung: Pustaka Setia.2004). 247.
[7]Aksin Wijaya, Satu
Islam. 112.
[8]Hasyimsyah
Nasution, Filsafat Islam (Jakarta: Gaya Media Pratama. 2002). 143-144.
[9]Supriyadi. Pengantar
Filsafat. 178.
[10]
A.Mustofa. Filsafat
Islam. 249.
[11]
Ibid., 250.
[12]
Hasyimsyah
Nasution, Filsafat Islam. 146.
[13]
Aksin Wijaya, Satu
Islam. 117.
[14]
Aksin Wijaya.,
116-118.
[15]
Aksin Wijaya.,
120.
[16]
Hasyimsyah
Nasution, Filsafat Islam. 149
[17]
Hasyimsyah
Nasution. 151-152.
[18]
Aksin Wijaya, Satu
Islam. 128.
[19]
Aksin Wijaya.,
122-124.
[20]
Supriyadi. Pengantar
Filsafat Islam. 194-195
[21]
Ibid.
Labels:
Makalah
Thanks for reading Epistimilogi Filsafat Iluminasi Suhrawardi. Please share...!
0 Komentar untuk "Epistimilogi Filsafat Iluminasi Suhrawardi"