BAB II
PEMBAHASAN
A.
Sumber Hukum Islam (Al Qur’an dan Sunnah)
Al Qur’an merupakan kalam Allah yang diturunkan
kepada Nabi Muhammad SAW melalui perantara malaikat Jibril membacanya dinilai
ibadah dan ditulis dalam bentuk mushaf. Semua ulama sepakat bahwa al
Qur’an merupakan sumber ajaran sekaligus sumber hukum Islam yang pertama dan
paling utama. Dalil bahwa al Qur’an adalah sumber hukum pertama dalam Islam
sesuai dalam firman Allah :
”Sesungguhnya
Al Quran Ini memberikan petunjuk kepada (jalan) yang lebih lurus dan memberi
khabar gembira kepada orang-orang Mu'min yang mengerjakan amal saleh bahwa bagi
mereka ada pahala yang besar.” (QS. al Isra’ : 9).
Menurut ulama ushul fiqh, ayat itu dapat dimaknai
bahwa al Qur’an menjadi patokan atau kaidah dan tatanan hukum untuk manusia
agar menjalankan kehidupan dengan baik dan benar menurut peraturan atau
hukum-hukum Allah SWT. Sunnah secara etimologi berarti
cara yang dibiasakan atau cara yang terpuji, sunnah lebih umum disebut dengan
hadits yang mempunyai beberapa arti secara etimologis, yaitu Qarib artinya
dekat, Jadid artinya baru dan Khabar artinya berita.
Pengertian secara terminologi bisa dilihat dari
tiga bidang ilmu yaitu ilmu hadits, ilmu fiqih dan ilmu ushul fiqh. Menurut
ulama ahli hadits, sunnah identik dengan hadis yaitu semua yang disandarkan
kepada Nabi Muhammad SAW baik perkataan, perbuatan ataupun ketetapannya.
Menurut ulama ushul fiqh, sunnah diartikan semua
yang lahir dari Nabi SAW selain al Qur’an, baik berupa perkataan, perbuatan
ataupun pengakuan yang berkaitan dengan hukum. Adapun sunnah menurut ulama
fiqh, di samping mempunyai arti seperti yang dikemukakan para ulama ushul fiqh,
juga dimaksudkan sebagai salah satu hukum taklif yang mengandung pengertian
perbuatan apabila dikerjakan mendapat pahala dan bila ditinggalkan tidak
berdosa.
B.
Pengertian
Metode Penemuan Hukum Islam
Dalam
istilah ilmu Ushul Fiqh metode penemuan Hukum dipakai dengan istilah
“istinbath”. Istinbath artinya adalah mengeluarkan hukum dari dalil, jalan
istinbath ini memberikan kaidah-kaidah yang bertalian dengan pengeluaran hukum
dari dalil. ImamAl-Ghazali dalam kitabnya“Al-Mustashfa, memasukan dalam bab III
dengan judul “ThuruqulIstitsmar”. Jika dilihat tujuan mempelajari Ushul Fiqh
maka hal yang paling penting dalam mempelajari ilmu tersebut adalah agar dapat
mengetahui dan mempraktekkan kaidah-kaidah cara mengeluarkan hukum dari
dalilnya.
Dengan
demikian metode penemuan hukum merupakan thuruq al-istinbath yaitu cara-cara
yang ditempuh seorang mujtahid dalam mengeluarkan hukum dari dalilnya, baik
dengan menggunakan kaidah-kaidah bahasa (lingkuistik) maupun dengan menggunakan
kaidah-kaidah Ushuliyah lainnya. Ahli Ushul Fiqh menetapkan ketentuan bahwa
untuk mengeluarkan hukum dari dalilnya harus terlebih dahulu mengetahui kaidah syariyy’ah dan kaidah lughawiyah.[1]
1) Metode
Bayani
Dalam
perspektif penemuan hukum Islam dikenal juga dengan istilah metode penemuan
hukum al-bayan mencakup pengertian al-tabayun dan al-tabyin : yakni proses
mencari kejelasan (azh-zhuhr) dan pemberian penjelasan (al-izhar) ; upaya
memahami (alfahm) dan komunikasi pemahaman (al-ifham) ; perolehan makna
(al-talaqqi) dan penyampaian makna (al-tablig).[2]
Dalam perkembangan hukum bayani atau setidak-tidaknya mendekati sebuah metode
yang dikenal juga dengan istilah hermaneutika yang bermakna “mengartikan‟,
“menafsirkan‟ atau “menerjemah‟ dan juga bertindak sebagai penafsir. Dalam
pengertian ini dapat dipahami sebagai proses mengubah suatu dari situasi
ketidaktahuan menjadi mengerti, atau usaha mengalihkan diri dari bahasa asing
yang maknanya masih gelap ke dalam bahasa kita sendiri yang maknanya lebih
jelas, atau suatu proses transformasi pemikiran dari yang kurang jelas atau
ambigu menuju ke yang lebih jelas/konkret; bentuk transformasi makna semacam
ini, merupakan hal yang esensial dari pekerjaan seorang penafsir / muffasir.
Dalam
tradisi Hukum Islam sesungguhnya terminologi hermeneutika telah lama dikenal
dalam keilmuan Islam yang sering disebut dengan istilah “ilmu tafsir” (ilm
ta’wil dan ilm al bayan). Bahkan dalam perkembangan dewasa ini ilmu tafsir
mengalami kemajuan pesat dalam wacana keislaman, dalam perspektif yang lebih
spesifik, penggunaan istilah “ilmu tafisr‟ ditujukan (dikhitobkan) pada
terminologi “hermeneutika Al Quran” sebagaimana padanan kata dari hermeneutika
pada umumnya. Trem yang digunakan dalam kegiatan interprestasi dalam wacana
ilmu keislaman adalah “tafsir”. Kata tafsir berasal dari bahasa Arab ; fassara
atau safara yang artinya digunakan secara teknis dalam pengertian eksegesisi
(penafsiran teks) di kalangan orang Islam sejak abad ke-5 hingga sekarang.[3]
Hermeneutika
yang dalam bahasa hukum Islam merupakan ilmu atau seni menginprestasikan (the art of interprestation) “teks‟ atau
memahami sesuatu dalam pengertian memahami teks hukum atau peraturan
perundang-undangan.dan kapasitasnya menjadi objek yang ditafsirkan. Kata
sesuatu/teks di sini bisa berupa : teks hukum, peristiwa hukum, fakta hukum,
dokumen resmi negara, naskah-naskah kuno, ayat-ayat ahkam dan kitab suci atapun
berupa pendapat dan hasil ijtihad para ahli hukum (doktrin). Motode dan teknik
menafsirkannya dilakukan secara holistik dalam bingkai keterkaitan antara teks,
konteks dan kontekstualisasi.
Secara
filosofis metode bayani mempunyai tugas ontologis yaitu menggambarkan hubungan
yang tidak dapat di hindari antara teks dan pembaca, masa lalu dan sekarang
yang memungkinkan untuk memahami kejadian yang pertama kali (geniun) Urgensi
kajian ini dimaksudkan tidak hanya akan membebaskan kajian-kajian hukum dari
otoritarianisme para yuris positif yang elitis, tetapi juga dari kajian-kajian
hukum kaum strukturalis atau behavioralis yang terlalu emperik sifatnya.
Sehingga diharapkan kajian tidak semata-mata berkutat demi kepentingan profesi
yang eksklusif semata-mata menggunakan paradigma positivisme dan metode logis
formal, namun lebih dari itu agar para pengkaji hukum supaya menggali dan
meneliti makna-makna hukum dari perspektif para pengguna dan/atau para pencari
keadilan.
Relevansi
dari kajian penemuan hukum bayani mempunyai dua makna sekaligus: Pertama,
metode bayani dapat diahami sebagai metode interprestasi atas teks-teks hukum
atau metode memahami terhadap suatu naskah normatif, di mana berhubungan dengan
isi (kaidah hukumnya), baik yang tersurat maupun yang tersirat, atau antara
bunyi hukum dan semangat hukum. Kedua, metode bayani juga mempunyai pengaruh
besar atau relevansi dengan teori penemuan hukum. Hal mana ditampilkan dalam
kerangka pemahaman lingkaran spriral hermenuetika (cyricel hermeneutics) yaitu berupa proses timbal-balik antara
kaidah-kaidah dan fakta-fakta.
2) Metode
Ta’lili
Metode
ijtihad ta’lili (kausasi) berusaha
meluaskan proses berlakunya hukum dari kasus nash ke kasus cabang yang memiliki persamaan illat. Dalam
epistemologi hukum Islam pola ini teraplikasi melalui qiyas. Dasar rasional
aplikasi pola ini adalah adanya keyakinan kuat mujtahid yang melakukan qiyas
mengenai adanya suatu atribut (wasf)
pada kasus pokok yang menjadi alasan ditetapkannya hukum yang berlaku terhadap
kasus tersebut dan atribut yang sama terdapat pada kasus cabang sehingga hukum
kasus pokok itu berlaku pada kasus cabang.
Untuk melakukan istinbath hukum
secara qiyasi (ta’lili), menurut mayoritas teoretisi hukum Islam
diperlukan beberapa rukun yang harus dipenuhi, yaitu :
1. al-ashl, kasus asal, yang ketentuannya
telah ditetapkan dalam nas, dan analogi berusaha memperluas ketentuan itu
kepada kasus baru.
2. al-far’, kasus baru, sasaran penerapan ketentuan
asal.
3. al-‘illat, kausa, yang merupakan sifat dari
kasus asal dan ditemukan sama dengan kasus baru.
4. al-hukm (ketentuan) kasus asal yang
diperluas kepada kasus baru.
Untuk melakukan istinbath hukum
secara qiyasi, maka ‘illat hukum merupakan hal yang pokok dan
perlu diperhatikan. Maka sebagian ulama ushul seperti al-Bazdawi berpendapat
bahwa rukun qiyas itu hanya satu yaitu ‘illat saja.
Oleh karena itu, cara ini kemudian
dikenal juga dengan metode istinbath isti’lali, yakni metode
mengambil kesimpulan hukum yang didasarkan kepada ‘illat hukum. Misalnya
tentang larangan membakar/memusnahkan harta anak yatim yang diqiyaskan dengan
larangan memakan harta mereka dengan batil.[4]
3) Metode
Istislahi
Upaya
penemuan metode yang prospektif-futuristik sebenarnya dapat diharapkan pada
pola ijtihad istislahi yang lebih memberi ruang kepada kemungkinan analisis
sosial. Namun usaha yang dirintis oleh al-Ghazali dan tertata sebagai bidang
keilmuan yang mantap dan terstruktur di tangan as-Syatib ini tidak begitu berkembang,
dipakai sebagai piranti ijtihad. Alasan umum realitas ini adalah tiadanya kata
mufakat di antara pemikir akan otensitas dan landasan epistemik pola ini
sebagai metode penemuan hukum Islam. Sebagaimana akan terlihat nanti betapa
prospek metode ini akhirnya hilang dan baru muncul pada akhir-akhir ini dengan
format, struktur dan kemasan yang modern.
Misalnya
ayat-ayat yang menyuruh berlaku adil untuk menetapkan adanya kewajiban berbuat
adil pada semua keadaan, tidak boleh mencelakakan diri sendiri dan orang lain
dalam keadaan apapun karena ada ayat al-Qur’an dan Hadith umum yang menyatakan
demikian, bahwa setiap kesulitan pasti ada jalan keluar yang meringankannya,
tujuan sesuatu peraturan adalah kemaslahatan dan seterusnya. Biasanya,
penalaran ini digunakan kalau masalah yang akan ditakyīf (dikualifikasikan, diidentifikasi) tersebut tidak dapat
dikembalikan kepada sesuatu ayat al-Qur’an atau Hadith tertentu secara khusus.
Dengan kata lain, tidak ada bandingannya yang tepat dari peristiwa yang terjadi
pada zaman Nabi yang bisa digunakan.[5] Salah
seorang ‘ulama’ yang berperan besar dalam perumusan teori ini adalah al-Syātibī
(w. 790 H/1388 M).
4) Maqashid
al Syariah
Menurut
Allal al Fasiy, maqashid al Syariah adalah : Tujuan yang dikehendaki Syara dan
rahasia-rahasia yang ditetapkan oleh Syariat Alloh pada setiap hukumNya. Dengan
demikian dapat dikatakan bahwa yang dimaksud dengan maqashid al Syariah adalah
tujuan Allah sebagai Syarih (Pembuat Hukum) dalam menetapkan hukum terhadap
hambaNYA. Adapun inti dari maqashid al Syariah adalah untuk mewujudkan kebaikan
sekaligus menghindarkan keburukan, atau menarik manfaat dan menolak mudharat,
atau dengan kata lain adalah untuk mencapai kemaslahatan, karena tujuan
penetapan hukum dalam Islam adalah untuk menciptakan kemaslahatan dalam rangka
memelihara tujuan-tujuan syara’ [6].
Abdullah Daraz dalam komentarnya terhadap pandangan al Syatibi menyatakan bahwa
tujuan utama Allah menetapkan hukum-Nya adalah untuk terwujudnya kemaslahatan
hidup manusia di dunia dan di akhirat. Oleh karena itu, taklif (pembebanan
hukum) harus mengacu kepada terwujudnya tujuan hukum itu.
Kajian
tentang tujuan ditetapkannya hukum dalam Islam merupakan kajian yang menarik.
Bahkan dalam perkembangan selanjutnya kajian ini merupakan kajian utama dalam
filsafat hukum Islam. Sehingga dapat dikatakan bahwa istilah maqashid al Syariah
identik dengan istilah filsafat hukum Islam. Hal ini disebabkan karena kajian
ini melibatkan pertanyaan kritis tentang tujuan ditetapkannya suatu hukum.
Filsafat hukum Islam sebagaimana filsafat pada umumnya menjawab
pertanyaan-pertanyaan yang tidak terjangkau oleh ilmu hukum. Demikian juga
dengan filsafat hukum Islam, seperti halnya tugas filsafat pada umumnya
mempunyai dua tugas: pertama, tugas kritis dan, kedua tugas konstruktif.
Bagi
al Syatibi memahami maqashid al Syariah sangat urgen dilakukan ketika seorang
ulama mujtahid ingin melakukan istinbath hukum. Karena dengan memahami maqashid
al Syariah ia akan dapat mengetahui apa tujuan Allah menetapkan hukum-hukumNya.
Oleh karena itulah al Syatibi menekankan jika upaya penggalian hukum syara itu
berhasil secara optimal maka seorang mujtahid itu harus mampu memahami maqashid
al Syariah.
Maqashid al Syariah Sebagai Basis
Teoritis dalam Memeriksa dan Memutuskan Perkara
Inti
dari maqashid al Syariah adalah untuk mencapai kemaslahatan, karena tujuan
penetapan hukum dalam Islam adalah untuk menciptakan kemaslahatan dalam rangka
memelihara tujuan-tujuan syara. Adapun tujuan syara yang harus dipelihara itu
adalah 1) menjaga agama, 2) menjaga jiwa, 3) menjaga akal, 4) menjaga keturunan
dan 5) menjaga harta. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa seseorang mukallaf
akan bisa memperoleh kemashlahatan jika ia mempunyai kemampuan untuk menjaga
lima prinsip di atas, dan sebaliknya ia akan mendapatkan kemudharatan jika ia
tidak bisa menjaga lima hal tersebut.
Untuk
mewujudkan kemashlahatan itu, menurut Muhammad Said Ramadhan al Buthi ada lima kriteria
yang harus dipenuhi yaitu, pertama memperiotaskan tujuan-tujuan Syara, kedua
tidak bertentangan dengan al Qur’an, ketiga tidak bertentangan dengan al
Sunnah, keempat tidak bertentangan dengan prinsip qiyas karena qiyas merupakan
salah satu cara dalam menggali hukum yang intinya adalah untuk memberikan
kemashlahatan bagi mukallaf dan kelima, memperhatikan kemashlahatan yang lebih
besar.
Kemudian
bagaimana penerapan teori maqashid al Syariah ini dalam memeriksa dan
memutuskan perkara.? Dalam tahapan pemeriksaan, teori maqashid al Syariah yang
digunakan adalah dengan memunculkan pertanyaan-pertanyaan yang berkaitan dengan
inti kasus yang sedang diperiksa. Artinya, bagaimana seorang hakim bisa
menemukan fakta-fakta yang sebenarnya dari kasus tersebut, melalui
pertanyaan-pertanyaan yang berdasarkan kepada analisis filosofis terhadap kasus
yang sedang dihadapi.
Untuk
memunculkan pertanyaan-pertanyaan tersebut, maka yang harus dilakukan oleh
hakim adalah merumuskan masalah pada perkara yang sedang dihadapi. Perumusan
pokok masalah dalam proses pemeriksaan dan pengambilan keputusan oleh hakim
merupakan kunci dari proses penerapan hukum yang tepat dan benar. Bahkan
menurut Taufik, SH, mantan Hakim Agung/Mantan Wakil Ketua Mahkamah Agung RI,
yang dikutip oleh Andi Syamsu Alam, Tuada Uldilag Mahkamah Agung RI, bahwa
apabila perumusan masalah dalam suatu perkara salah, maka proses selanjutnya
akan salah.
Dalam
merumuskan masalah suatu perkara, maka yang perlu diperhatikan adalah melakukan
identifikasi terhadap perkara yang sedang diperiksa. Pengidentifikasian suatu
perkara perlu dilakukan agar hakim bisa melakukan kategorisasi terhadap perkara
yang sedang diperiksa itu. Setelah masalah teridentifikasi dan kategori perkara
telah jelas, selanjutnya hakim memilih metode yang digunakan dalam memeriksa
perkara. Dalam memilih metode dalam memeriksa perkara, hakim juga harus
mempertimbangkan latar belakang lahirnya suatu perkara, apa penyebab munculnya
perkara tersebut ? selain itu itu hakim juga harus melakukan pengumpulan data
dan penganalisaan terhadap data untuk menemukan fakta yang sebenarnya.
Sedangkan
penerapan maqashid al Syariah dalam memutuskan perkara, maka yang menjadi
pertimbangan hakim adalah teori kemashlahatan hukum, dalam artian, hakim
sebagai penterjemah atau pemberi makna melalui penemuan hukum (rechtschepping) dan menciptakan hukum
baru melalui putusan-putusannya (Judge
made law), harus bisa mewujudkan kemashlahatan bagi masyarakat (terutama
pihak yang berpekara) dalam setiap putusannya. Sehingga tidak ada pihak-pihak
yang merasa menang dan yang merasa kalah, karena putusan hakim sudah memberikan
kemashlahatan dan menolak kemudharatan bagi pihak-pihak yang berpekara. Adapun
pertimbangan kemashlahatan yang perlu diperhatikan adalah asas kulliyah al
Khamsah, yaitu menjaga 1) agama, 2) menjaga jiwa, 3) menjaga akal, 4) menjaga
keturunan dan 5) menjaga harta.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Kegiatan
penemuan hukum dengan bayani berarti
mengerti sesuatu pada intinya adalah sama dengan kegiatan menginterprestasi
sehingga tercapai pemahaman sesuatu. Hal demikian merupakan aspek hakiki dalam
keberadaan hukum dalam menjawab permsalahan yang mungkin timbul dengan
pemahaman aspek teks hukum itu sendiri baik yang berwujud tulisan, lukisn,
perilaku, peristiwa. Pemahaman itu tidak saja terbatas hanya pada tindakan intensitas,
melainkan juga mencakup hal-hal yang tidak dimaksud oleh siapapun, jadi
mencakup tujuan manifest dan tujuan laten.
Penemuan
hukum dengan metode ta‟lili yang
merupakan sifat yang menjadi dasar hukum asal dan menjadi dasar untuk
mempersamakan cabang dengan asal pada hukum nya Mendasarkan hukum kepada
„‘illah diharapkan melahirkan kemaslahatan, karena memang Al-Quran dan Sunnah
memberikan petunjuk bahwa ‘illah hukum adalah sifat tertentu maka sifat itu
merupakan ‘illah berdasarkan nash, sehingga pada dasarnya dapat diketahui bahwa
ketentuan hukum itu dapat dipecahkan berdasarkan ‘illah hukum.
Penemuan
hukum istislahi dimaksudkan untuk mengetahui tujuan syariat dan
merealisasikannya sehingga mampu menyelesaikan permasalahan hukum yang sedang
dihadapi. Dalam keadaan demikian penemuan hukum dengan istislahi merupakan
suatu jalan keluar dari kekakuan hukum agar hukum bermuara kepada keadilan dan
tercapainya kemaslahataan.
REFRENSI
A.Djazuli, Ilmu Fiqh Penggalian,
Perkembangan dan Penerapan Hukum Islam, Cet. 5, Edisi Revisi, (Jakarta, Prebada
Media, 2005), hlm.17.
Jazim Hamidi, Hermeneutika Hukum,
Teori Penemuan Hukum Baru Dengan Interprestasi Teks,( Yogyakata, UII Pres,
2004), hlm. 23
Mushtafa
Syalabi, Ta’lil al-Ahkam (Beirut : Dar an-Nahdhah al-‘Arabiyyah, 1981), h.
14-34
http://fauzisaleh.blogspot.co.id/2011/09/metode-istislahi-al-syatibi-dalam.html
[1] A.Djazuli,
Ilmu Fiqh Penggalian, Perkembangan dan Penerapan Hukum Islam, Cet. 5, Edisi
Revisi, (Jakarta, Prebada Media, 2005), hlm.17.
[2] Jazim Hamidi, Hermeneutika Hukum, Teori Penemuan
Hukum Baru Dengan Interprestasi Teks,( Yogyakata, UII Pres, 2004), hlm. 23
[3] bid.hlm 21.
[4] Mushtafa Syalabi, Ta’lil al-Ahkam (Beirut : Dar an-Nahdhah al-‘Arabiyyah, 1981), h.
14-34
[5]
http://fauzisaleh.blogspot.co.id/2011/09/metode-istislahi-al-syatibi-dalam.html
[6] Al-Imam As-Dsahabi, Siratun-Nubalaa. di kutip dari http://zakarialombok.blogspot.com/2011/01/maqashid-syariah-sebagai-metode.html
Labels:
Makalah
Thanks for reading Metode Penemuan Hukum Islam. Please share...!