Contoh Kasus dan
Advokasinya
1. Jika
hubungan calon suami dan calon istri, tidak di dasari atas rasa cinta di antara
keduanya, bolehkan dilaksanakan pernikahan,?
Menurut
saya jika terjadi kasus seperti itu, sebaiknya pernikahan tidak dilaksanakan.
Karena salah satu syarat pernikahan menurut agama adalah adanya ke ikhlasan
dari calon mempelai terutama oleh calon perempuan, sedangkan di dalam KHI juga
sudah di atur dalam Pasal 16 yang berbunyi :
·
Perkawinan
didasarkan atas persetujuan calon mempelai.
·
Bentuk
persetujuan calon mempelai wanita, dapat berupa pernyataan tegas dan nyata
dengan tulisan, lisan atau isyarat tapi dapat juga berupa diam dalam arti
selama tidak ada penolakan yang tegas.
Jadi
sudah jelas bahwa pernikahan harus di dasari atas rasa cinta maupun ikhlas dari
kedua mempelai, keadaan di masa sekarang sudah jauh berbeda dari keadaan di
masa lalu yang identik dengan perjodohan.
2. Hubungan
pra nikah yang harus di lakukan atas dasar suka sama suka hingga menyebabkan
kehamilan. Secara Hk Perdata si anak hanya memiliki hak keperdataan dengan ibu,
kenapa.?
Karena
menurut undang-undang, anak sah (mempunyai
nasab dengan kedua orang tua) harus dilahirkan dalam atau akibat perkawinan
yang sah, sedangkan pada kasus tersebut kejadian / akibat hamilnya berada di
luar perkawinan yang sah. (Pasal 99 KHI)
3. Bagaimana
sikap orang tua yang terlalu ikut campur dalam soal perjodohan anaknya.?
Sikap
orang tua tetap mengarahkan ke hal yang baik, tapi untuk masalah kepada siapa anak
tersebut suka kepada lawan jenis, jelas itu sudah masuk ke dalam hak anak dan bukan
sepenuhnya hak orang tua. Untuk kaum hawa masalah seperti ini 70% berada
ditangan orang tua, karena tanggungjawab orang tua ke anak perempuan sampai
pada ia menikah berbeda dengan orang tua ke anak laki-laki Tanggung jawabnya
hanya sampai ia baligh.
4. Sebagai
keluarga perempuan yang dirugikan atas kasus perceraian yang jadi tanggung
jawab penuh dari pihak perempuan meskipun di berikan di berikan tangung jawab
untuk menghidupi si anak, apakah secara hukum pihak suami di perbolehkan
mengambil alih hak anak tersebut.?
Di
dalam Pasal 105 KHI di jelaskan :
Dalam hal terjadinya perceraian
a.
Pemeliharaan
anak yang belum mumayyiz atau belum berumur 12 tahun adalah hak ibunya.
b.
Pemeliharaan
anak yang sudah mumayyiz diserahkan kepada anak untuk memilih diantara ayah
atau ibunya sebagai pemegang hak pemeliharaanya.
c.
Biaya
pemeliharaan ditanggung oleh ayahnya.
Jika
merujuk dari pasal diatas, perceraian yang terjadi sebelum anak berusia 12
tahun maka hak atas anak tersebut berada di pihak ibu. Anak yang berusia kurang
dari 12 tahun peran ibu sangat penting untuk pertumbuhannya dari segi kasih
sayang, seorang ibu satu tingkat lebih besar dari seorang ayah. Setelah anak
tersebut dewasa (lebih dari 12 tahun)
maka si anak bebas memilih untuk tinggal dengan si ayah / ibu. Meskipun
demikian Hakim juga harus memperhatikan kemampuan orang tua antara ibu dan
ayah, pihak mana yang sekiranya mampu merawat, membesarkan, mendidik anak
tersebut. Dengan demikian bisa saja
pihak suami mengambil / meminta hak asuh atas anak tersebut.
Dalam
Undang-Undang No. 1/1974 tentang Perkawinan pasal 45 ayat (2) disebutkan bahwa
orang tua berkewajiban memelihara dan mendidik anak sebaik-baiknya sampai anak
itu kawin atau dapat berdiri sendiri, dan kewajiban itu berlaku terus meskipun
perkawinan antara kedua orang tua putus. Pasal itu mengindikasikan bahwa kasih
sayang orang tua terhadap anak tidak boleh diputus ataupun dihalang-halangi.
Adanya penguasaan anak secara formil oleh salah satu
pihak pada hakikatnya untuk mengakhiri sengketa
perebutan anak. Yang
apabila sengketa itu tidak diputus di pengadilan, akan
menjadi berlarut-larut, sehingga muaranya anak menjadi korban.
5. Dalam
KHI anak yang lahir diluar nikah bisa di akui memiliki hubungan hukum dengan
kedua orang tua. Bagaimana pendapat anda, jika pihak perempuan menjadi istri
kedua.?
Pasal
53 KHI
§ Seorang wanita hamil di luar nikah,
dapat dikawinkan dengan pria yang menghamilinya.
§ Perkawinan dengan wanita hamil yang
disebut pada ayat (1) dapat dialngsungkan tanpa menunggu lebih dahulu kelahiran
anaknya.
§ Dengan dilangsungkannya perkawinan
pada saat wanita hamil, tidak diperlukan perkawinan ulang setelah anak yang
dikandung lahir.
Jika
merujuk dari pasal di atas, sekalipun pihak wanita menjadi istri kedua tetap
sah, si anak tetap mempunyai hubungan keperdataan dari kedua orang tua, karena
dalam pasal tersebut tidak di jelaskan mengenai pihak perempuan berada di pihak
kedua maupun ketiga atau dapat terhalang oleh pihak pertama jika kejadian
tersebut menyangkut pihak kedua (kejadian
sudah terjadi). Jika melihat dari sosiologi hukumnya pernikahan antar
keduanya harus dilangsungkan dengan persetujuan oleh istri pertama, dengan
mengingat anak yang di kandung oleh pihak kedua, atau jika istri pertama tidak
setuju / tidak terima bisa mengajukan cerai gugat ke pengadilan, kejadian di
atas termasuk penyebab batalnya pernikahan (pasal
116a KHI).
Di butuhkan keikhlasan
yang luar biasa di antara semua pihak untuk mnyelesaikan masalah seperti ini
terutama di pihak istri pertama.
Contoh Kasus dan Advokasinya
Labels:
Artikel
Thanks for reading Contoh Kasus dan Advokasinya. Please share...!