PEMBAHASAN
A. Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam
Kontribusi
kaum muslimin yang sangat besar terhadap kelangsungan dan perkembangan
pemikiran ekonomi pada khususnya dan peradaban pada umumnya., telah di abaikan
oleh para ilmuan barat. Buku-buku teks ekonomi barat hampir tidak pernah
menyebutkan peranan kaum muslimin ini. Menurut Chapra, meskipun sebagian
kesalahan terletak ditangan umat islam karena tidak mengartikulasikan secara
memadai kontribusi kaum muslimin, namun Barat memiliki andil dalam hal ini,
karena tidak memberikan penghargaan yang layak atas kontribusi peradaban lain
bagi kemajuan pengetahuan manusia.
Para
sejarawan barat telah menulis sejarah ekonomi dengan sebuah asumsi bahwa
periode antara Yunani dan Skolastik adalah steril dan tidak produktif. Sebagai
contoh, Sejarawan ekonom terkemuka, Joseph Schumpeter sama sekali mengabaikan
peranan kaum muslimin. Ia memulai penulisan sejarah ekonominya dari para filsuf
Yunani dan langsung melakukan loncatan jauh selama 500 tahun, dikenal sebagai The Great Gap ke zaman St. Thomas
Aquinas (1225-1274 M). Adalah hal yag sangat sulit untuk dipahami mengapa para
ilmuwan barat tidak menyadari bahwa sejarah pengetahuan merupaka suatu proses
yang berkesinambungan, yang di bangun diatas fondasi yang diletakan para
ilmuwan generasi sebelumnya. Jika proses evolusi ini disadari dengan
sepenuhnya, menurut Chapra, Schumpeter mungkin mengasumsikan adanya kesenjangan
yang besar selama 500 tahun, tetapi mencoba menemukan fondasi di atas nama para
ilmuwan Skolastik dan Barat mendirikan bangunan intelektual mereka.
Sebaliknya,
meskipun telah memberikan kontribusi yang besar, kaum muslimin tidak lupa
mengakui utang mereka kepada para ilmuwan Yunani, Persia, India dan Cina. Hal
ini sekaligus mengindikasikan inklusivitas para cendikiawan Muslim masa lalu
terhadap berbagai ide pemikiran dunia luar selama tidak bertentangan dengan
ajaran islam. Sejalan dengan ajaran islam tentang pemberdayaan akal pikiran
dengan tetap berpegang teguh pada Al Qur’an dan Hadist Nabi, konsep dan teori
ekonoi dalam Islam pada hakikatnya merupakan respon para cendekiawan Muslim
terhadap berbagai tantangan ekonomi pada waktu-waktu tertentu. Ini juga berarti
bahwa pemikiran ekonomi Islam seusia Islam itu sendiri.[1]
Berdasarkan
praktik dan kebijakan ekonomi yang berlangsung pada masa Rosululloh Saw dan
Khulafa al Rasyidun merupakan contoh empiris yang dijadikan pijakan bagi para
cedekiawan Muslim dalam melahirkan teoro-teori ekonominya . satu hal yang
jelas, fokus perhatian mereka tertuju pada pemenuhan kebutuhan, keadilan,
efisiensi, pertumbuhan dan kebebasan, yang tidak lain merupakan objek utama
yang menginspirasikan pemikiran ekonomi Islam sejak masa awal..
1. Fase Pertama
Fase
pertama merupakan fase abad awal sampai dengan abad ke-5 Hijriyah atau abad
ke-11 M yang dikenal sebagai fase dasar ekonomi Islam yang dirintis oleh para
fukaha, diikuti oleh sufi dan kemudian oleh filosof. Pada awalnya pemikiran
mereka berasal dari orang yang berbeda, tetapi dikemudian dari para ahli terus
mempunyai dasar pengetahuan dari ketiga disiplin tersebut. Tokoh-tokoh pemikir
ekonomi Islam fase pertma ini antara lain, Zaid
bin Ali ( w. 80 H / 738 M ), Abu Hanifah
( w. 150 H / 767 M ), Abu Yusuf ( w. 182 H / 798 M ), Al Syaibani ( w.
189 H / 804 M ), Abu Ubaid bin Sallam ( w. 224 H / 838 M , Harits bin Asad Al
Muhasibi ( w. 243 H / 858 M ), Junaid Al Baghdadi ( 297 M / 910 M ), Ibnu
Maskawih ( w. 421 H / 1030 M ) dan Al Mawardi ( 450 H / 1058 M ).
a. Zaid bin Ali
Merupakan
salah seorang fukoha yang paling terkenal di Madinah dah guru dari seorang
ulama terkenal, Abu Hanifah. Zaid bin Ali berpandangan bahwa penjualan suatu
barang secara kredit dengan harga yang lebih tinggi daripada harga tunai
merupakan salah satu bentuk transaksi yang sah dan dapat dibenarkan selama
transaksi tersebut dilandasi oleh prinsip saling ridha antar kedua belah pihak.
Pada
dasarnya keuntugan yang diperoleh para pedagang dari penjualan yang dilakukan
secara kredit merupakan murni bagian dari sebuah perniagaan dan tidak termasuk
riba. Penjualan yang dilakukan secara kredit merupakan salah satu bentuk promosi
sekaligus respon terhadap permintaan pasar. Dengan demikian bentuk penjualan
seperti ini bukan suatu tindakan diluar kebutuhan. Keuntungan yang diperoleh
pedagang yang menjual secara kredit merupakan sebuah bentuk kompensasi atas
kemudahan yang diperoleh seorang dalam membeli suatu barang tanpa harus
membayar secara tunai. Namun demikian keuntungan yang diperoleh dari penjualan
secara kredit tidak serta merta mengindikasikan bahwa harga yang lebih tinggi
selalu berkaitan dengan waktu. Seorang yang menjual secara kredit dapat pula
menetapkan harga yang lebih rendah daripada harga pembeliaanya dengan maksud
untuk menghabiskan stok dan memperoleh uang tunai karena khawatir harga pasar
akan jatuh dimasa mendatang. Dengan maksud yang sama, seseorang dapat juga
menjual barangnya baik secara tunai ataupun kredit, dengan harg ayang lenih
rendah daripada pembeliaanya. [2]
b. Abu Ubaid
Abu Ubaid dilahirkan di Bahrah, di
propinsi Khurasan (barat laut Afghanistan) pada tahun 154 Hijriah. Nama aslinya
al-Qosim ibn Salam ibn Miskin ibn Zaid al-Azdhi. Ia belajar pertama kali di
kota asalnya, lalu pada usia 20-an pergi ke Kufah, Basrah, dan Baghdad untuk
belajar tata bahasa Arab, qirâ’ah, tafsir, hadis, dan fikih. Setelah kembali ke
Khurasan, ia mengajar dua keluarga yang berpengaruh. Pada tahun 192 H, Thâbit
ibn Nasr ibn Mâlik (gubernur yang ditunjuk Harun al Rasyid untuk propinsi
Thughur) menunjuknya sebagai qâdi’ di Tarsus sampai 210 H. Kemudian ia tinggal
di Baghdad selama 10 tahun, pada tahun 219 H, setelah berhaji ia tinggal di
Mekkah sampai wafatnya (224 H). Abu Ubaid mengarang sebuah kompendium mengenai
keuangan publik yang dapat dibandingkan dengan kitab al kharaj-nya Abu Yusuf.
Kitab al Amwal-nya sangat kaya secara historis dan juga berisi materi-materi
hukum Islam yang luas. Karyanya banyak dikutip oleh penulis-penulis Islam, dan
telah diterjemahkan ke dalam berbagai bahasa. Kitab Al-Amwal dari Abu Ubayd
merupakan suatu karya yang komprehensif tentang keuangan negara dalam Islam.
Buku ini dimulai dengan sebuah bab singkat tentang,”hak penguasa atas
subjek (individu dalam masyarakat) dan hak subjek atas penguasa”, yang kemudian
dilanjutkan dengan bab mengenai jenis-jenis harta yang dikelola penguasa untuk
kepentingan subjek dan dasar-dasar pemikirannya yang dibahas dalam kitab Allah
serta Sunnah. Bab-bab lainnya yang lebih tebal dari pembahasan bukunya Abu
Yusuf membahas mengenai pengumpulan dan pembayaran (disbursement) dari tiga
jenis penerimaan yang diidentifikasi dalam bab ke dua, yaitu: zakat (termasuk
ushr), khums yaitu seperlima dari hasil rampasan perang dan harta karun atau
harta peninggalan tanpa pemilik dan fa’i yang termasuk kharaj, jizyah dan
penerimaan lainnya yang tidak termasuk kedalam kategori pertama dan kedua
seperti, penemuan barang-barang yang hilang (rikaz) kekayaan yang ditinggalkan
tanpa ahli waris, dan lain-lain.
Buku ini
dengan kaya melaporkan sejarah ekonomi Islam selama dua abad pertama hijriyah,
yang juga merupakan sebuah ringkasan tradisi Islam asli dari Nabi, para sahabat
dan para pengikutnya mengenai permasalahan ekonomi. Abu Ubaid tidak hanya
sekedar melaporkan pendapat-pendapat orang lain ini, tetapi juga selalu
mengakhirinya dengan menjalinkan masalah tersebut secara sistematis,
mengungkapkan suatu preferensi atas sebuah pendapat dari beberapa pandangan
yang dilaporkan atau memberikan pendapatnya sendiri dengan dukungan beberapa
basis syari’ah tertentu atau dengan alasan-alasan rasional. Misalnya, setelah
melaporkan berbagai pendapat tentang besarnya zakat yang seharusnya diterima
oleh seorang penerima zakat yang berhak, dia dengan keras menyatakan
ketidaksetujuannya terhadap mereka yang meletakkan suatu batas tertinggi
(ceiling) pada pemberian zakat tersebut. Hal yang terpenting baginya adalah
keterpenuhan kebutuhan rakyat dan terselamatkannya masyarakat dari penghancuran
yang dilakukan oleh orang-orang yang berkeinginan ‘tidak terbatas’, bahkan jika
hal tersebut harus dilakukan dengan pengeluaran uang yang amat besar pada
sebuah kasus tertentu. Saat membahas tentang tarif atau persentase untuk pajak
tanah dan poll-tax, ia menyinggung tentang pentingnya keseimbangan antara
kekuatan finansial dari subyek non-Muslim, dalam finansial modern disebut
sebagai “capacity to pay” dan juga memperhatikan kepentingan para penerima
Muslim. Ia membela pendapat bahwa tarif pajak kontraktual tidak dapat dinaikkan
tapi dapat diturunkan jika terjadi ketidakmampuan membayar serius. Abu Ubaid
berupaya untuk menghentikan terjadinya diskriminasi atau penindasan dalam
perpajakan serta terjadinya penghindaran terhadap pajak (tax evasion)[3]
c.
Abu
Hanifah (80-150/699-767)
Abu Hanifah adalah seorang fukaha
terkenal yang juga seorang pedagang di kota Kufah. Semasa hidupnya, salah satu
transaksi yang sangat populer adalah salam. Salah satu kebijakan dari Abu
Hanifah adalah menghilangakan ambiguitas dan perselisihan dalam masalah
transaksi. Hal ini merupakan salah astu tujuan syariah dalam hubungannya dengan
jual beli. Pengalamannya dalam bidang perdagangan memungkinkan Abu Hanifah
dapat menentukan aturan-aturan yang adil dalam transaksi ini dan transaksi yang sejenis. Di samping itu, Abu Hnifah
mempunyai perhatian yang besar terhadap orang-oramg yang lemah.
d.
Ibnu
Miskawaih (w. 421 H/1031
M)
Salah
satu pandangan Ibnu Miskawaih yang terkait dengan aktifitas eokonomi adalah tentang
pertukaran dan peranan uang. Ia menyatakan bahwa manusia merupakan mahkluk
sosial dan tidak bisa hidup sendiri. Untuk memenuhi kebutuhan hidupnya, manusia
harus bekerja sama dan saling membantu denga sesamanya. Oleh karena itu, mereka
akan saling mengambil dan memberi. Konsekuensinya, mereka akan menuntut suatu
kompensasi yang pantas.
2. Fase Kedua
Fase
kedua yang dimulai pada abad ke – 11 sampai dengan abad ke – 15 M dikenal
dengan fase yang cemerlang karena meniggalkan warisan intelektual yang sangat kaya.
Para cendekiawan muslim di masa ini mampu menyusun suatu konsep tentang
bagaimana umat melaksanakan kegiatan ekonomi yang seharusnya berlandaskan Al
Qur’an dan hadist Nabi. Pada saat yang bersamaan, di sisi lain mereka
menghadapi realitas politik yang di tandai oleh dua hal. Yang pertama, Disintegrasi
pusat kekuasaan Bani Abbasiyah dan terbaginya kerajaan ke dalam beberapa
kekuatan regional yang mayoritas didasarkan pada kekuatan ketimbang kehendak
rakyat, yang kedua, merebaknya korupsi dikalangan para penguasa diiringi dengan
dekadensi moral dikalangan masyarakat yang mengakibatkan terjadinya ketimpangan
yang semakin melebar antara si kaya dan si miskin. Tokoh-tokohnya antara lain Al Ghazaly ( 451-505 H / 1055/1111 M ) Ibnu
Taimiyah ( 728- H / 1328 M ) Al Syatibi ( w. 790 H / 1388 M ) Ibnu Khaldun ( w.
808 H / 1404 M ) Al Maqrizi ( 845 H / 1441 H ).
e.
Al
–Ghazali (451-505 H/1055-1111
M)
Fokus
utama perhatian Al-ghazali tertuju pada perilaku individual yang dibahas secara
rinci dengan merujuk pada Al-qur’an, Sunnah, Ijma’ sahabat, dan Tabi’in, serta
pandangan para sufi terdahulu. Menurutnya, seseorang harus memenuhi seluruh
kebutuhan hidupnya dalam kerangka melaksanakan kewajiban beribadah kepada Allah
SWT. Seluruh aktifitas kehidupannya, termasuk ekonomi, harus dilaksanakan
sesuai dengan syariat Islam. Ia tidak boleh bersifat kikir dan disisi lain juga
tidak boleh bersifat boros.
Selian
itu Al-ghazali juga memberi nasihat kepada para penguasa agar selalu
memperhatikan kebutuhan rakyatnya serta tidak berperilaku zalim terhadap
mereka. Al-ghazali juga mempunyai wawasan yang sangat luas mengenai evolusi
pasar dan peranan uang. Ia juga mengemukakan alasan pelangaran Riba Fadhl.
f.
Ibnu
Taimiyah (w. 728 H/ 1328 M)
Fokus
perhatian Ibnu Taimiyah terletak pada masyarakat, fondasi moral dan bagiamana
mereka harus membawakan dirinya sesuai dengan syariah. Untuk tugas ini, secara
bersama-sama, pemerintah dan ulama harus membimbing dan mendorong masyarakat.
Ia juga mendiskusikan tentang berbagai hal yang berkaitan dengan perilaku
ekonomi individu dalam konteks hidup bermasyarakat.
Dalam
suatu masyarakat yang diperintah penguasa yang korup dan masyarakat yang
berpikiran duniawi semata, ia lebih menyerukan, penguatan susunan moral
masyarakat dari pada teladan individual yang dapat mengakibatkan penarikan diri
dari kehidupan masyarakat. Cara pendekatannya adalah untuk mendefinisikan
berbagai batasan dalam usaha ekonomi dan dalam melaksankaan hak kepemilikan
pribadi, dengan harapan bahwa selama para pelaku ekonomi mengikuti aturan main
yang berlaku, moral alami masyarakat dapat bertahan.
Dalam
transaksi ekonomi, fokus perhatian Ibnu Taimiyah tertuju pada keadilan yang
hanya dapat terwujud jika semua akad berdasarkan pada kesediaan menyepakati
dari semua pihak. Agar lebih bermakna, kesepakatan ini harus didasarkan pada
informasi yang memadai.
Pandangan
Ibnu Taimiyah tentang kewajiban publik juga meliputi pembahasan tentang
pengaturan uang, peraturan tentang timbangan dan ukuran, pengawasan harga,
serta pertimbangan pengenaan pajak yang tinggi dalam keadaan darurat.
g.
Al-Maqrizi
(845
H/ 1441 M)
Al-maqrizi
melakukan studi khusus tentang uang dan kenaikan harga-harga yang terjadi
secara periodik dalam kedaan kelaparan dan kekeringan. Selain kelangkaan pangan
secara alami oleh kegagalan hujan, Al-maqrizi
mengidentifikasi tiga sebab dari peristiwa ini, yaitu korupsi dan
administrasi yang buruk, beban pajak
yang berat terhadap para penggarap dan kenaikan pasokan mata uang fulus. Berbicara
tentang sebab yang ketiga ini , Al-maqrizi menegaskan bahwa uang emas dan perak
merupakan satu-satunya mata uang yang dapat dijadikan standar nilai sebagaimana
yang telah ditentukan syariah, sedangkan penggunaan fulus sebagai mata uang
dapat menimbulkan kenaikan harga. Menurut Al-miqrizi, fulus dapat diterima
sebagai mata uang jika dibatasi penggunaannya, yakni hanya untuk keperluan
transaksi yang berskala kecil.
h.
Ibnu
Khaldun
Abdurrahman Abu Zaid Waliuddin ibn Khaldun. Dilahirkan di
Tunisia, 1 Ramadhan 732 H/ 27 Mei 1332 dan meninggal di Kairo, 25 Ramadhan 808
H/ 19 Maret 1406 M.
Dikenal sebagai bagai
sosiologi dan juga bapak filsafat sejarah. Selain itu disebut sebagai bapak
ilmu ekonomi. Ekonom muslim terbesar yang diakui oleh ekonom Barat. Berbeda
dengan ulama sebelumnya yang cenderung normatif, Ibnu Khaldun menggunakan
pendekatan sejarah dan sosial dalam memahami ekonomi suatu bangsa. Ibnu Khaldun
sangat positif dalam memahami ekonomi.
Terlalu luas bentangan
pengetahuan yang disampaikan oleh Ibnu Khaldun. Namun dalam makalah ini akan
disingkat hanya dalam beberapa poin pembahasan saja.
·
Teori
Produksi, Konsumsi Dan Pertumbuhan Ekonomi
Manusia adalah makhluk produksi dan itu lah yang membuat
manusia dianggap sebagai makhluk ekonomi. Produksi dilakukan untuk memenuhi
kebutuhan. Dalam proses produksi itu lah, dibutuhkan tenaga kerja. Selain
itu, diperlukan organisasi sosial dari produksi. Dengan demikian, dibutuhkan
pembagian kerja dan spesialisasi. Ini lah yang menjadi kunci agar tercipta
surplus dalam produksi yang muaranya membawa kesejahteraan ekonomi.
Kesejahteraan ekonomi yang meningkat pada akhirnya akan meningkatkan permintaan
masyarakat atas barang dan jasa. Di sinilah pertumbuhan ekonomi akan tercipta.[4]
Bukan hanya bersifat nasional, perdagangan internasional
dan organisasi internasional dari produksi harus tercipta. Keunggulan
komparatif perdagangan internasional bukan pada sumber daya alam, tapi pada
tenaga kerja yang menjadi faktor produksi. Tenaga kerja yang terspesialisasi
lebih menguntungkan dibandingkan sumber daya alam yang dimiliki suatu negara.
Di sini lah Ibnu Khaldun sangat menekankan pasar bebas.
Beliau menentang intervensi dan hanya mengkhususkan pada layanan untuk rakyat
miskin.
·
Harga
Moderat
Ibnu Khaldun juga mengakui adanya pengaruh antara
permintaan dengan penawaran dalam membentuk harga. Untuk itu, dia menawarkan
konsep harga moderat, dimana harganya memang tidak memberatkan konsumen dan
tidak merugikan produsen. Harga yang moderat bisa mendorong kesejahteraan
bersama. Meski demikian, untuk rakyat miskin harus disubsidi dengan diberikan
harga yang lebih rendah dari harga pasar.[5]
·
Pajak,
Belanja Negara dan Peran Swasta
Menurut Ibnu Khaldun, pajak menjadi faktor yang penting
dalam pertimbangan bisnis seseorang. Karena itu, harus ada pertimbangan adil,
karena pengusaha tentunya tidak bergairah ketika pajaknya tinggi.
Sektor swasta merupakan bagian penting dalam pembangunan
ekonomi. Sementara, pajak adalah sumber pendapatan negara. Negara adalah
konsumen terbesar dan pelaku belanja terbesar. Menurut Ibnu Khaldun, pemerintah
adalah pasar bagi barang dan jasa. Makin tinggi belanja pemerintah, ekonominya semakin baik.
Namun, Ibnu Khaldun mengingatkan agar belanja
negara difokuskan untuk kepentingan rakyat banyak,
termasuk keperluan pelayanan.[6]
·
Ekonomi
Politik
Dalam teori ekonomi politik modern, Ibnu Khaldun juga
menyampaikan konsep ekonomi politik yang luar biasa. Dia mengajarkan delapan
prinsip (kalimat hikamiyah).
Ke delapan prinsip itu antara adalah:
1.
Kekuatan kedaulatan
tidak dapat dipertahankan kecuali dengan mengimplementasikan syariah
2.
Syariah tidak dapat
diimpelementasikan kecuali oleh kedaulatan
3.
Kedaulatan tak akan
memperoleh kekuatan kecuali bila didukung oleh sumber daya manusia
4.
Sumber daya manusia
tidak dapat dipertahankan kecuali oleh dengan harta benda
5.
Harta benda tidak
dapat diperoleh kecuali dengan pembangunan
6.
Pembangunan tidak
dapat dicapai kecuali oleh keadilan
7.
Keadilan merupakan
tolak ukur yang dipakai Allah untuk mengevaluasi manusia
8.
Kedaulatan
mengandung muatan tanggungjawab untuk menegakkan keadilan.[7]
·
Teori
Nilai dan Uang
Nilai suatu produk berdasarkan sejumlah tenaga kerja yang
dikandungnya. Dengan demikian, kekayaan bangsa-bangsa tidak ditentukan oleh
jumlah uang, tapi oleh jumlah produksi barang dan jasa dan oleh neraca
pembayaran yang sehat.
Dalam hal uang, emas dan perak adalah ukuran nilai. Logam
mulia ini diterima sebagai uang dimana nilainya tidak terkena fluktuasi. Dia
pun mendukung standar logam dan harga emas-perak yang konstan. Uang bukan hanya
ukuran nilai, tapi cadangan nilai.
·
Teori
Distribusi
Menurut Ibnu Khaldun, suatu produk terdiri dari gaji,
laba dan pajak. Gaji imbal jasa bagi produsen, laba bagi pedagang dan pajak
untuk pegawai negeri dan pemerintah.
Banyak sekali penjelasan dari Ibnu Khaldun, tapi makalah
ini tidak mungkin menjelaskannya lebih lanjut.
3. Fase Ketiga
Fase
ketiga yang di mulai pada tahun 1446 hingga 1932 M merupakan fase tertutupnya
pintu ijtihad ( independent judgement ) yang mengakibatkan fase
ini dikenal juga senagai fase stagnasi. Pada fase ini, para fuqaha hanya
menulis catatan – catatan para pendahulunya dan megeluarkan fatwa yang sesuai
dengan aturan standar bagi masing-masing mazhab. Namun demikian, terdapat
sebuah gerakan pembaharu selama dua abad terakhir yang menyeru untuk kembali
kepada Al Qur an dan Hadist Nabi sebagai pedoman hidup. Tokoh-tokohnya antara
lain, Shah Wali Alloh ( w. 1176 H / 1762
M ) Muhammad
Abduh ( w. 1320 H / 1905 M ) Jamaluddin
Al Afghani ( w. 1315 H / 1897 M ) Muhammad
Iqbal ( w. 1357 H / 1938 M.
i.
Shah Waliyullah
(1114-1176 H/ 1703-1762 M)
Ahmad Syah bin Abdurrahim
al-Umari ad-Dahlawi Abu Abdil Aziz. Lahir di Delhi, masa kekhalifahan
Al-Mutawakkil III.
Menurutnya, kehidupan
masyarakat tumbuh dalam tiga tingkatan yang berbeda. Dimulai dari eksistensi
masyarakat awal, negara yang berkembang dan menerapkan undang-undang , tatanan
dan keadilan serta tahap ketiga apa yang ia sebut khilafah. Khilafah adalah periode
dimana negara menjamin secara materiil dan spiritual wargannya.
Gaya hidup penguasa dan
militer yang mewah dan korup, praktik korupsi pegawai, pegawai yang tidak
produktif menjadi awal kehancuran bangsa. Para penguasa sendiri tidak
bersemangat menjalankan fungsinya karena pajaknya yang tinggi. Akibatnya
ekonomi merosot, sumber keuangan negara menurun dan negara menjadi miskin.
Negara harusnya
menghilangkan praktik korup dan memelihara pertahanan, hukum dan ketertiban,
menjamin keadilan dan sebagainya.
PENUTUP
Begitu luar biasanya pemikiran ekonomi para ulama klasik dan itu semua
ternyata mempengaruhi pemikiran ekonomi modern. Sayang, hanya segelintir yang
mau jujur tentang pengaruh ulama klasik kepada ekonomi Barat, yang lainnya
lebih senang tidak jujur. Kini mereka menutupi dan melindungi kepentingan
keilmuan mereka dengan prinsip bahwa metode ilmiah harus jujur.
DAFTAR PUSTAKA
Karim, Adiwarman Azwar Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam Raja Grafindo jakarta. Hal 8-9-10
M Umer Chapra. Masa
Depan Ilmu Ekonomi, Sebuah Tinjauan Islam. Terj. Ikhwan Abidin Basri. (Gema
Insani Pers. Jakarta. 2001). h. 126
Ibnu Khaldun.
Muqaddimah. Terj. Ahmadie Thoha. (2000. Pustaka Firdaus, Jakarta). h. 447
Karim, Adiwarman
Azwar. 2001. Ekonomi Islam, Suatu Kajian Kontemporer. Gema Insani
Press. Jakarta
[1] Adirawan Azwar
Karim Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam Raja
Grafindo jakarta. Hal 8-9-10
[2] Adirawan Azwar
Karim Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam Raja
Grafindo jakarta. Hal 12
[3] http://juraganmakalah.blogspot.com/2013/03/sejarah-pemikiran-ekonomi-islam.html
[4] Lihat Karim. Ibid. h. 397-398
[5] Ibnu Khaldun. Muqaddimah. Terj. Ahmadie
Thoha. (2000. Pustaka Firdaus, Jakarta). h. 447
[6] Lihat Karnaen. Ibid. h. 169
[7] Lihat M Umer Chapra. Masa Depan Ilmu
Ekonomi, Sebuah Tinjauan Islam. Terj. Ikhwan Abidin Basri. (Gema Insani
Pers. Jakarta. 2001). h. 126
Labels:
Makalah
Thanks for reading Sejarah Pemikiran Sistem Ekonomi Islam Era Pertengahan. Please share...!
0 Komentar untuk "Sejarah Pemikiran Sistem Ekonomi Islam Era Pertengahan"