BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Umat
islam sekarang mengalami dekadensi yang teramat buruk, satu dengan yang lain
saling mengkafirkan, watak mereka yang dicampuri imprealis lebih senang
meng-eksploitasi, tidak sedikit masyarakat miskin kota digusur rumahnya padahal
islam tidak mencontohkan seperti itu, pendidikan ter-influence oleh pendidikan
barat yang kemudian lulusannya hanya menghasilkan agen barat dan mengikis
kultur islami lokal dan menghilangkan identitas lokal, pemimpin yang mengaku
beragama islam lebih senang menarik pajak dan tidak mendistribusikannya kepada
masyarakat, mereka lebih senang memasukannya kedalam perut mereka, dan ada lagi
kontradiksi dan kontra produktif yang tidak etis, seolah-olah mereka bukan
penduduk Indonesia yang terkenal dengan kesopanannya.
Pada
kesempatan ini kami akan menjelaskan sedikit mengenai sejarah mulai dari
pengertian, subject dan object sejarah, konsep penelitian sejarah dan
Pembelajaran tentang sejarah.
B.
Rumusan
Masalah
a. Apa
Pengertian Sejarah.?
b. Bagaimana
Konsep Penelitian Sejarah.?
c. Apa
Objectivitas dan Subjectivitas Sejarah.?
d. Bagaimana
Konsep Pembelajaran Sejarah.?
e. Bagaimana
Desain Mengajar Sejarah.?
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Sejarah
Kata
sejarah secara harafiah berasal dari kata Arab (شجرة: šajaratun) yang artinya
pohon. Dalam bahasa Arab sendiri, sejarah disebut tarikh (تاريخ ). Adapun kata
tarikh dalam bahasa Indonesia artinya kurang lebih adalah waktu atau
penanggalan. Kata Sejarah lebih dekat pada bahasa Yunani yaitu historia yang
berarti ilmu atau orang pandai. Kemudian dalam bahasa Inggris menjadi history,
yang berarti masa lalu manusia. Kata lain yang mendekati acuan tersebut adalah
Geschichte yang berarti sudah terjadi.
Dalam
istilah bahasa-bahasa Eropa, asal-muasal istilah sejarah yang dipakai dalam
literatur bahasa Indonesia itu terdapat beberapa variasi, meskipun begitu,
banyak yang mengakui bahwa istilah sejarah berasal-muasal,dalam bahasa Yunani
historia. Dalam bahasa Inggris dikenal dengan history, bahasa Prancis historie,
bahasa Italia storia, bahasa Jerman geschichte, yang berarti yang terjadi, dan
bahasa Belanda dikenal gescheiedenis.
Melihat
pada makna secara kebahasaan dari berbagai bahasa di atas dapat ditegaskan
bahwa pengertian sejarah menyangkut dengan waktu dan peristiwa. Oleh karena itu
masalah waktu penting dalam memahami satu peristiwa, maka para sejarawan
cenderung mengatasi masalah ini dengan membuat periodisasi.
Beberapa
pengertian sejarah menurut para ahli :
1. Patrick Gardiner
Sejarah
adalah ilmu yang mempelajari apa yang telah diperbuat oleh manusia.
2. Roeslan Abdul gani
Ilmu
sejarah adalah salah satu cabang ilmu pengetahuan yang meneliti dan menyelidiki
secara sistematis keseluruhan perkembangan masyarakat serta kemanusiaan di masa
lampau beserta kejadian-kejadian dengan maksud untuk kemudian menilai secara
kritis seluruh hasil penelitiannya tersebut, untuk selanjutnya dijadikan
perbendaharaan pedoman bagi penilaian dan penentuan keadaan sekarang serta arah
proses masa depan.
3. Moh. Yamin
Sejarah
adalah suatu ilmu pengetahuan yang disusun atas hasil penyelidikan beberapa
peristiwa yang dapat dibuktikan dengan bahan kenyataan.
4. Ibnu Khaldun (1332-1406)
Sejarah
didefinisikan sebagai catatan tentang masyarakat umum manusia atau peradaban
manusia yang terjadi pada watak/sifat masyarakat itu.
5.
J.V. Bryce
Sejarah
adalah catatan dari apa yang telah dipikirkan, dikatakan, dan diperbuat oleh
manusia.
6. W.H. Walsh
Sejarah
itu menitikberatkan pada pencatatan yang berarti dan penting saja bagi manusia.
Catatan itu meliputi tindakan-tindakan dan pengalaman-pengalaman manusia di
masa lampau pada hal-hal yang penting sehingga merupakan cerita yang berarti.
B.
Konsep
Penelitian Sejarah
Sejarawan Inggris E.H. Carr (dalam Gall, Gall & Borg, 2007), telah menjawab pertanyaan “What
is history?”. Sejarah adalah suatu proses interaksi yang terus-menerus
antara sejarawan dan fakta yang ada, yang merupakan dialog tidak berujung
antara masa lalu dan masa sekarang. Artinya sejarah adalah pengetahuan yang
tepat terhadap apa yang telah terjadi. Menurut Nevins (1933), sejarah adalah
deskrispsi yang terpadu dari kedaan-keadaan atau fakta-fakta masa lampau yang
ditulis berdasarkan penelitian serta studi yang kritis untuk mencari kebenaran.
Penelitian dengan menggunakan metode sejarah penyelidikan yang kritis terhadap
keadaan-keadaan, perkembangan, serta pengalaman di masa lampau dan menimbang
secara cukup teliti dan hati-hati bukti validitas dari sumber sejarah serta
interpretasi dari sumber- sumber keterangan tersebut.
Secara umum dapat dimengerti bahwa penelitian sejarah
merupakan penelaahan serta sumber-sumber lain yang berisi informasi mengenai
masa lampau dan dilaksanakan secara sistematis. Dengan kata lain yaitu
penelitian yang bertugas mendeskripsikan gejala, tetapi bukan yang terjadi pada
waktu penelitian dilakukan. Penelitian sejarah di dalam pendidikan merupakan
penelitian yang sangat penting atas dasar beberapa alasan. Penelitian sejarah
bermaksud membuat rekontruksi masa latihan secara sistematis dan objektif,
dengan cara mengumpulkan, mengevaluasi, mengverifikasikan serta mensintesiskan
bukti-bukti untuk mendukung bukti-bukti untuk mendukung fakta memperoleh
kesimpulan yang kuat. Dimana terdapat hubungan yang benar-benar utuh antara
manusia, peristiwa, waktu, dan tempat secara kronologis dengan tidak memandang
sepotong-sepotong objek-objek yang diobservasi.
Menurut E.H. Carr (dalam Gall, Gall & Borg, 2007),
penelitian sejarah sebagai proses sistematis dalam
mencari data agar dapat menjawab pertanyaan tentang fenomena
dari masa lalu untuk mendapatkan pemahaman yang lebih baik dari
suatu institusi, praktik, tren, keyakinan, dan
isu-isu dalam pendidikan. Selain itu Jack. R. Fraenkel & Norman E.
Wallen (dalam Yatim Riyanto, 1996: 22), penelitian sejarah adalah penelitian
yang secara eksklusif memfokuskan kepada masa lalu. Penelitian ini mencoba
merenkonstruksi apa yang terjadi pada masa yang lalu selengkap dan seakurat
mungkin, dan biasanya menjelaskan mengapa hal itu terjadi. Dalam mencari data
dilakukan secara sistematis agar mampu menggambarkan, menjelaskan, dan memahami
kegiatan atau peristiwa yang terjadi beberapa waktu lalu. Sementara menurut
Donald Ary dkk (Yatim Riyanto, 1996: 22) menyatakan bahwa penelitian sejarah
adalah untuk menetapkan fakta dan mencapai simpulan mengenai hal-hal yang telah
lalu, yang dilakukan secara sistematis dan objektif oleh ahli sejarah dalam
mencari, mengvaluasi dan menafsirkan bukti-bukti untuk mempelajari masalah baru
tersebut.
Berdasarkan pandangan yang disampaikan oleh para ahli
diatas, dapat disimpulkan bahwa pengertian penelitian sejarah mengandung
beberapa unsur pokok, yaitu: 1) Adanya proses pengkajian peristiwa atau
kejadian masa lalu (berorientasi pada masa lalu); 2) Usaha dilakukan secara
sistematis dan objektif; 3) Merupakan serentetan gambaran masa lalu yang integrative
anatar manusia, peristiwa, ruang dan waktu; 4) Dilakukan secara interktif
dengan gagasan, gerakan dan intuiasi yang hidup pada zamannya (tidak dapat
dilakukan secara parsial).
C.
Subjektivitas
dan Objektivitas Dalam Sejarah
Objektivitas
dan subjektivitas sejarah merupakan suatu hal yang sering menjadi masalah yang
sering diperdebatkan oleh masyarakat. Objektivitas dan Subjektivitas berkaitan
dengan apa-apa yang ada di dalam dan diluar pikiran manusia. Dalam hal ini,
objektivitas adalah hal-hal yang bisa diukur yang ada di luar pikiran atau
persepsi manusia. Subjektivitas adalah kesaksian atau tafsiran yang merupakan
gambaran hasil parasaan atau pikiran manusia.
Pandangan
objektif akan cenderung bebas nilai sedangkan subjektif sebaliknya. Keduanya
memiliki kelebihan-kekurangannya. Dalam tradisi ilmu pengetahuan objektivitas
akan menghasilkan pengetahuan kuantitatif sedangkan subjektivitas akan
menghasilkan pengetahuan kualitatif. Misalnya : dalam pengukuran usia homo
erectus yang terdapat di Jawa. Fosil homo erectus yang ditemukan di Jawa hampir
mirip dengan temuan fosil yang ada di Cina yaitu homo pekinensis. Disini bila
seorang sejarawan berfikir secara
subjektif akan menafsirkan bahwa usia kedua jenis fosil tersebut
memiliki usia yang sama karena bentuk fosil keduanya sama. Sedangkan bila
secara objektif, seorang sejarawan akan meneliti lebih lanjut fosil yang
ditemukan baik melalui bentuk fosil yang
mereka dapat dan membandingkannya dengan fosil yang lain, maupun dengan melakukan
tes labolatorium. Berikut pengertian
lebih jelasnya mengenai subjektifitas
dan objektifitas dalam sejarah :
Subjektivitas
Subjektivitas
adalah kesaksian atau tafsiran yang merupakan gambaran hasil parasaan atau
pikiran manusia. Jadi, subjektivitas adalah suatu sikap yang memihak
dipengaruhi oleh pendapat pribadi atau golongan, dan dipengaruhi oleh nilai-nilai yang
melingkupinya. Dalam sejarah sukyektifitas banyak terdapat dalam proses
interpretasi. Sejarah, dalam mengungkapkan faktanya membutuhkan interpretasi
dan interpretasi melibatkan subyek. Dalam subjektivisme, dimana objek tidak
lagi dipandang sebagaimana seharusnya, tetapi dipandang sebagai kreasi dan
konstruksi akal budi. subjektif diperbolehkan selama tidak mengandung
subjektivistik yang diserahkan kepada kesewenang-wenangan subjek, dan
konsekuensinya tidak lagi real sebagai objektif.
Dalam
suatu peninggalan sejarah, seorang sejarawan menggunakan analisis dan
penafsirannya. Di sinilah akan muncul subjektivitas dalam penulisan sejarah.
Dia berusaha untuk menerangkan mengapa,
bagaimana peristiwa terjadi dan mengapa saling berhubungan dengan
peristiwa lain serta berupaya
menceritakan apa, bilamana, dimana terjadi dan siapa yang ikut serta
didalamnya. Sehingga dalam penulisannya lebih bermakna.
Dalam
merekonstruksi suatu peristiwa sejarah tidaklah akan untuk bagaimana peristiwa
itu terjadi dimasa lampau. Hal ini disebabkan karena banyaknya hal atau
rangkaian peristiwa yang hilang atau memang sengaja dihilangkan. Karena alasan
itu juga, penafsiran dari seorang sejarawan sangat diperlukan untuk
menghubungkan suatu peristiwa dengan peristiwa yang lain. Sehingga mendekati
kebenaran. Dari sini dapat dilihat bahwa suatu penulisan peristiwa sejarah itu
tidak dapat lepas dari unsur subjektivitas. Karena dalam penulisan sejarah itu
tidak dapat objektif 100%. Dalam penulisan sejarah, seseorang tidak dapat
melepaskan subjektifitasnya. Terdapat 2 faktor utama yang dapat menjadikan
suatu penulisan sejarah bersifat subjektif, yaitu :
1. Pemihakan
pribadi (personal bias) : Persoalan
suka atau tidak suka pribadi terhadap individu-individu atau golongan dari
seseorang dapat mempengaruhi subjektivitas dari penulisan sejarah.
2. Prasangka
kelompok (group prejudice) :
Keanggotaan sejarawan dalam suatu kelompok (ras, golongan, bangsa, agama) dapat
membuat mereka memiliki pandangan yang bersifat subjektif dalam mengamati suatu
peristiwa sejarah.
Objektivitas
Objektivitas
adalah hal-hal yang bisa diukur yang ada di luar pikiran atau persepsi
manusia. Sikap objektifitas tidak akan dipengaruhi oleh pendapat pribadi
atau golongan didalam mengambil keputusan.
Jadi, objektivitas adalah usaha mendekatkan diri pada obyek atau dengan
kata lain berarti bertanggung jawab pada kebenaran objek. Seorang sejarawan
dalam merekonstruksi sejarah, harus mendekati objektivitas, karena akan didapat
gambaran rekonstruksi yang mendekati kebenaran.
Dalam
merekonstruksi suatu peristiwa sejarah diperlukan bukti-bukti sejarah atau
lebih tepatnya fakta sejarah. Fakta atau peninggalan sejarah itu disebut objek,
baik yang bersifat artifak, dokumen tertulis, dan lain sebagainya. Sejarawan
selalu dituntut supaya dengan sadar dan jujur mengikatkan diri pada objek dan
berfikir secara objektif. Seorang sejarawan dalam penulisan atau rekonstruksi
suatu peristiwa sejarah diharapkan untuk tidak memihak. Maksudnya tidak terpaku
secara subjektif 100% maupun objektif 100%.
Kendati demikian, sejarawan tetap tidak bisa objektif secara total. Hal
ini diakibatkan keterbatasan sumber yang ditemukan dan faktor lainnya.
Nilai
karya sejarawan akan selalu tergantung pada nilai objektivitasnya. Suatu karya
sejarah akan jauh nilainya lebih baik apabila sejarawan dengan sengaja tidak
objektif. Arti sederhana dari kata objektifitas dalam sejarah objektif adalah
sejarah dalam kenyataan, jadi kejadian itu terlepas dari subjek.
Unsur
yang harus ada dalam sejarah objektif adalah:
·
Kebenaran mutlak.
·
Sesuai dengan kenyataan, termasuk juga
yang tersembunyi.
·
Tidak memihak dan tidak terikat.
·
Kondisi - kondisi yang harus lengkap
untuk semua peristiwa.
Seorang
sejarawan asal Amerika Serikat, Garraghan mengatakan bahwa yang dimaksud dengan objektivitas sejarah
adalah:
·
Objektivitas tidak berarti menuntut agar
sejarawan bebas sepenuhnya dari kecurigaan-kecurigaan awal yang bersifat
sosial, politis, agama, atau lainnya.
·
Objektivitas tidak berarti menuntut agar
sejarawan mendekati tugasnya terlepas dari semua perinsip, teori dan falsafah
hidupnya.
·
Obyektifitas tidak berarti menuntut agar
sejarawan bebas dari simpati terhadap obyeknya.
·
Objektivitas tidak berarti menuntut agar
pembaca mengekang diri dari penilaian atau penarikan konklusi.
·
Objektivitas sejarawan tidak berarti
bahwa semua situasi yang menimbulkan peristiwa historis dicatat sesuai dengan
kejadiannya.
D. Konsepsi Pembelajaran Sejarah
Menurut Isjoni (2007 :
11) mengatakan bahwa “ Pembelajaran adalah suatu kombinasi yang tersusun
meliputi unsur - unsur manusiawi, material, fasilitas, perlengkapan, dan
prosedur yang saling mempengaruhi mencapai tujuan pembelajaran. Duffy dan Roehler (1989) mengatakan
pembelajaran adalah suatu usaha yang sengaja melibatkan dan menggunakan
pengetahuan profesional yang dimiliki guru untuk mencapai tujuan kurikulum.
Bagi seorang pengajar sejarah (guru atau dosen), penguasaan
pembelajaran sejarah merupakan suatu hal yang sangat penting untuk dikuasai,
agar kegiatan belajar yang berlangsung dapat berjalan secara efektif sesuai
dengan yang ditetapkan dalam syalabi.
Untuk itu ada beberapa tahapan-tahapan yang harus dilakukan
dalam proses pembelajaran sejarah, yaitu:
1.
Merumuskan
Konsep Sejarah.
Perumusan konsep sejarah dapat
diperoleh dengan melakukan penilaian sejarah. Penilaian sejarah merupakan salah
satu tugas akademisi, seperti pengajar (dosen) dalam proses pembelajaran
sejarah. Penilaian sejarah dapat dilakukan dalam dua model yaitu:
a.
Penilaian Kritis
Penilaian
kritis menekankan pada upaya mengkritisi tampilan materi sejarah yang diajarkan
dengan realitas sejarah yang sesungguhnya. Penilaian kritis dapat dilihat dari
sisi konsep dan metode pembelajaran sejarah.
b.
Penilaian
Etis
Penilaian etis dilakukan dengan
mencari tahu sejauh mana realitas sejarah itu sesuai atau bertentangan dengan
ajaran Islam. Ajaran Islam menjadi instrumen konsultasi bagi jalannya sejarah
Islam.
E. Desain
Mengajar Sejarah
Setelah merumuskan konsep sejarah telah dilakukan, maka
langkah selanjutnya bagi seorang pengajar sejarah adalah bagaimana mendesign
konsep sejarah menjadi langkah operasional dalam proses belajar (learning process). Ini berarti bahwa
konsep sejarah menjadi sangat penting dalam membuat design. Dari konsep itu
disusun sylabi sejarah secara tepat guna sesuai dengan kebutuhan, level dan
tujuan interaksional yang dikehendaki.
Tujuan interaksional pada setiap level tidak sama. Bagi
siswa SD-SMP, barangkali tujuannya adalah mengarah pada romantisme sejarah,
seperti kekaguman pada tokoh sejarah. Kualitas tujuan ini penting bagi anak
pada tingkatan SD-SMP untuk dijadikan tauladan. Lain halnya dengan SMA atau
Aliyah, tujuan interaksionalnya bersifat etis, yaitu, untuk membedakan mana
yang benar dan mana yang salah berdasarkan logika sejarah. Sedangkan pada level
perguruan tinggi lebih menekankan pada tujuan kritis, yaitu mengajak
mahasiswanya untuk berfikir obyektif melalui deeply critical thingking terhadap
jalannya sejarah.
Disamping merumuskan tujuan interaksional, perumusan peran
pengajar dan murid atau mahasiswa perlu dan sangat penting. Menurut penganut
strukturalis, pengajar ditempatkan sebagai “king” dan tahu segala-galanya di
hadapan kelas sehingga seorang pengajar berperan sebagai satu-satunya sumber
belajar. Berbeda dengan penganut aliran fungsionalis, tidak menempatkan
pengajar sebagai satu-satunya sumber informasi, tetapi lebih menempatkan
pengajar sebagai fasilitator, atau kini terkenal dengan sebutan sebagai
knowledge manager pada level kelas.
Proses belajar mengajar (pembelajaran) adalah bagian yang
integral dari pendidikan. Pembelajaran merupakan aktifitas (proses) yang
sistematis dan sistemik yang terdiri atas banyak komponen. Pembelajaran bukan
konsep atau praktek yang sederhana, ia bersifat kompleks. Pembelajaran
berkaitan erat dengan pengembangan potensi manusia (peserta didik), perubahan
dan pembinaan dimensi-dimensi kognitif intelektual sekaligus kepribadian
peserta didik yang dilakukan dengan bantuan dan bimbingan sang pengajar (Rohani dan Ahmadi,1991:VI).
Diantara komponen terjadinya proses belajar
mengajar/pembelajaran adalah adanya guru dan anak didik. Guru yang mengajar dan
anak didik yang belajar. Perpaduan dari kedua unsur manusiawi ini lahirlah
interaksi edukatif dengan memanfaatkan bahan konsep sejarah sebagai mediumnya.
Di sana sayogyanya semua komponen pengajaran diperankan secara optimal guna
mencapai tujuan pengajaran sejarah yang telah ditetapkan sebelum pengajaran
dilaksanakan yang berupa sylabus dan kurikulum sejarah (Djamarah dan Zain, 1996:43). Dengan adanya interaksi edukatif
antara peserta didik (murid, siswa atau mahasiswa) dengan pendidik (guru atau
dosen), maka di perlukan kontrol dalam proses interaksi pembelajaran guna
tercapainya sebuah target atau tujuan pengajaran yang telah ditetapkan dalam
sylabus. Kontrol dan pengawasan terhadap sebuah proses pembelajaran akan dapat
dilakukan apabila peserta didik dan pendidik memahami efektifitas belajar.
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Melihat
pada makna secara kebahasaan dari berbagai bahasa di atas dapat ditegaskan
bahwa pengertian sejarah menyangkut dengan waktu dan peristiwa. Oleh karena itu
masalah waktu penting dalam memahami satu peristiwa, maka para sejarawan
cenderung mengatasi masalah ini dengan membuat periodisasi.
Objektivitas
dan subjektivitas merupakan dua kata yang seringkali salah difahami oleh
sebagian orang terutama dalam penulisan sejarah. Padahal kata objektif dalam
penulisan sejarah mengacu pada peristiwa yang sebenarnya terjadi dan tidak bisa
terulang lagi. Sedangkan sejarah yang subjektif merupakan gambaran dari
peristiwa sejarah yang di tulis oleh seorang sejarawan. Karena itu kedua-duanya
merupakan bagian dari penulisan sejarah.
REFRENSI
Supriyadi Dedi, Sejarah Peradaban
Islam, 2008, Pustaka Setia, Bandung
Bahari, Fajar. 2012. Subjektivitas
dan Objektivitas Sejarah, (online),
(http://fbs9.blogspot.com/2012/12/subjektivitas-objektivitas-sejarah.html),
diakses 21 Februari 2015
Labels:
Makalah
Thanks for reading Konsep Penelitian dan Pembelajaran Sejarah. Please share...!
0 Komentar untuk "Konsep Penelitian dan Pembelajaran Sejarah"