-->

Kumpulan Makalah, Artikel dan Share Informasi

Pembagian Hadist Menurut Perawinya

BAB I
PENDAHULUAN


A. Latar Belakang
Telah kita ketahui bahwa Allah SWT, telah memberikan sebuah pegangan ataupun pedoman untuk penyelamat hidup kita didunia, yakni Al Qur'anul Karim, dengan menggunakan Al Qur'an akan selamatlah hidup kita di dunia dan diakhirat, akan tetapi dalam pemahaman setiap orang dalam Al Qur'an memang berbeda-beda. karena perbedaan dari pendapat ini, maka umat manusia dapat memahami pula melalui sunnah nabi, dari pemahaman yang belum diketahui betul dan juga dalam bentuk peristiwa yang terjadi yang belum diketahui betul solusinya yang sah dalam hukum Islam. dalam Qs An nahl:44
بِالْبَيِّنَاتِ وَالزُّبُرِ ۗ وَأَنْزَلْنَا إِلَيْكَ الذِّكْرَ لِتُبَيِّنَ لِلنَّاسِ مَا نُزِّلَ إِلَيْهِمْ وَلَعَلَّهُمْ يَتَفَكَّرُونَ
Artinya: “keterangan-keterangan (mukjizat) dan kitab-kitab. Dan Kami turunkan kepadamu Al Quran, agar kamu menerangkan pada umat manusia apa yang telah diturunkan kepada mereka dan supaya mereka memikirkan”,[1]

Dalam ayat tersebut pun juga menjelaskan bahwa Rasulullah saw. bertugas menjelaskan Al qur'an kepada umatnya. atau dengan kata lain kedudukan hadist terhadap Al Qur'an adalah sebagai penjelasnya. penjelasan termaksud tidak hanya terbatas pada penafsiran saja, tapi juga mencakup banyak aspek.hal inilah yang emnjadikan pengalaman sebagian besar Al Qur'an akan senantiasa membutuhkan sunnah.
Al Khatib pun meriwayatkan, bahwa Imran bin Hushain r.a. suatu hari duduk bersama dengan sahabat-sahabatnya. tiba-tiba salah seorang dari mereka berkata:"janganlah kamu menceritakan kami selain al Qur'an". maka Imaran memanggilnya :"mendekatlah kemari!"orang itu mendekat, kemudian Imran pun berkata:"tahukah kamu, apabila kamu dan sahabat-sahabatmu hanya memegang Al Qur'an saja, maka kamu akan mendapatkan penjelasan darinya, bahwa shalat Dhzuhur itu empat rakaat, salah ashar empat rakaat, shalat magrib tiga rakaat, shalat isya' empat rakaat,shalat subuh sua rakaat, dan kamu mengeraskan bacaan pada dua rakaat saja? Tahukah kamu, seandainya kamu dan sahabat-sahabatmu hanya berpegang pada Al Qur'an saja, maka apakah kamu mendapatkan keterangan darinya bahwa thawaf dan sa'i antara Shafa dan Marwah?" selanjutnya ia berkata: "wahai kaumku, ambillah dariku (sunnah Rasul) , karena sesungguhnya-Demi Allah- jika kamu mengabaikannya niscaya benat-benar kamu tersesat". [2]

B. Rumusan Masalah
1.bagaimana pembagian hadist menurut jumlah perawinya?
2. bagaimana pembagian hadist menurut kualitas sanad dan matan hadistnya?




BAB II
PEMBAHASAN


A. Dari segi jumlah perawinya.
Dalam hadist ini dari jumlah perawinya yang menjadi sumber berita, maka dalam hal ini pada garis besarnya hadist dibagi mejadi dua macam, yakni:

1. hadist  Mutawattir
Hadist mutawatir ini dapat diambil dalam makna bahasa atau lughah adalah Mutatabi" yang berarti beriring-iringan atau berturut-turut dalam satu dengan yang lain. sedangkan menurut istilah adalah suatu hasil hadist tanggapan panca indera, yang diriwayatkan oleh sejumlah besar rowi, yang menurut kebiasaan mustahil mereka berkumpul dan bersepakat untuk dusta. atau dalam penjelasan yang lainnya adalah suatu hadist yang diriwayatkan sejumlah rawi yang menurut adat mustahil bersepakat berbuat dusta, hal tersebut seimbang dari permulaan sanad hingga akhirnya, tidak terdapat kejanggalan jumlah pada setiap tigkatan. [3]
Dalam jumlah perawi dalam suatu hadist para sebagian ulama' membatasi dengan bilangan . Oleh karena itu sebagian pendapat menyatakan bila jumlah mereka telah mencapai tujuh puluh orang, maka hadistnya dinilai mutawattir. Mereka berpegang dalam firman Allah dalam QS: Al A'raf 155
وَاخْتَارَ مُوسَىٰ قَوْمَهُ سَبْعِينَ رَجُلًا لِمِيقَاتِنَا

artinya: dan Musa memilih tujuh puluh orang dari kaumnya untuk (memohon ampun) pada waktu yang telah kami  tentukan".[4]

hadist dapat dikatakan mutawatir harus sesuai dengan syarat-syarat berikut:
  1. hadis yang diriwayatkan itu mengenai sesuatu dari Nabi SAW, yang dapat di tangkap oleh panca indera. seperti sikap dan perbuatan beliau yang dapat dilihat atau sabdanya yang dapat didengar . misalnya para sahabat mengatakan, "kami lihat Rasulullah SAW. erbuat begini atau "kami lihat nabi SAW. bersikap begini, "kami lihat nabi SAW bersabda begini."
  2. perawinya mencapai jumlah yang menurut kebiasaan mustahil mereka bersepakat untuk berdusta. jumlah minimal ada yang menetapkan sepuluh orang rawi , dua puluh, empat puluh, bahkan ada yang menetapkan minimal tujuh puluh.
  3. jumlah perawi pada setiap tingkatan tak boleh kurang dari jumlah minimal, seperti pada yang diterangkan dalam syarat kedua. [5]

Dalam hal keotentikannya, hadits mutawatir sama dengan Al-Qur’an,karena keduanya merupakan sesuatu yang pasti adanya (qoth’i al wurud). Itulah sebabnya, para ulama sepakat bahwa hadits mutawatir wajib diamalkan. Berikut salah satu contoh hadits mutawatir:

Muhammad Rasulullah Saw. Bersabda : “ Barangsiapa berdusta atas namaku dengan sengaja, maka tempat (kembalinya) dalam neraka. “(HR. Bukhori, Muslim, Ad-Darimi, Abu Dawud,Ibnu majah, Tirnidzi, Abu Hanifah, Thabrani, dan Hakim)

Macam-macam hadist Mutawattir
Menurut jumhur ulama, tidak ada batasan tertentu dalam jumlah perawi sehingga satu hadits dikatakan mutawatir. Bisa dikatakan, sifat kemutawatiran itu nisbi yang berbeda antara satu ulama dengan ulama lainnya. Namun itu bukanlah menjadi satu permasalahan yang berarti bagi ulama Ahli Hadits karena yang terpenting bagi mereka adalah keshahihan dari riwayat. Hadits mutawatir ini dibagi menjadi tiga, yaitu :
  1. Mutawatir Lafdhy adalah apabila lafadh dan maknanya mutawatir.
adalah hadist mutawattir yang susunan redaksinya yang persis sama, sehingga garis besar serta perincian maknanya tentu sama pula.
 Misalnya hadits : {من كذب علي متعمدا فليتبوأ مقعده من النار} ”Barangsiapa yang sengaja berdusta atas namaku (Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam) maka dia akan mendapatkan tempat duduknya dari api neraka”. Hadits ini telah diriwayatkan lebih dari 70 orang shahabat, dan diantara mereka termasuk 10 orang yang dijamin masuk surga.
hadist mutawattir ini banyak sekali, seperti dalam masalah shalat, wudhu, puasa, dan sebagainya. semua tatacara itu diriwayatkan oleh para sahabat nabi  dan tabiin yang telah mencapai derajat yang mutawattir, dan begitu seterusnya pada generasi-generasi berikutnya.
urutan perawi hadist sebagai berikut:

  1. Mutawatir Ma’nawy
adalah maknanya yang mutawatir sedangkan lafadhnya tidak. maksudnya adalah hadis mutawattir dengan makna umum yang sama walaupun berbeda redaksinya dan berbeda perincian maknanya.
Misalnya, hadits-hadits tentang mengangkat tangan ketika berdoa. Hadits ini telah diriwayatkan dari Nabi sekitar 100 macam hadits tentang mengangkat tangan ketika berdo’a.  Dan setiap hadits tersebut berbeda kasusnya dari hadits yang lain. Sedangkan setiap kasus belum mencapai derajat mutawatir. Namun bisa menjadi mutawatir karena adanya beberapa jalan dan persamaan antara hadits-hadits tersebut, yaitu tentang mengangkat tangan ketika berdo’a.
Rasulullah SAW pada wktu berdo'a tidak mengangkat kedua tangannya begitu tinggi sahingga terlihat ketiaknya yang putih, kecuali pada waktu berdoa memohon hujan"
(HR:Bukhari dan Muslim)[7]

3. Muttawatir Amali
Hadis ini adalah hadist yang menyangkut segala sesuatu yang berkaitan dengan perbuatan Rasulullah SAW. yang disaksikan dan ditiru tanpa perbedaan oleh orang banyak. kemudian dicontoh dan diperbuat tanpa perbedaan oleh orang banyak pada generasi-generasi berikutnya. misalnya adalah pelaksanaan waktu-waktu shalat fardhu, ukuran zakat, shalat jenazah, shalat ied, dan jumlah raka'at dalam shalat.


2. Hadist Ahad
Hadits Ahad, yaitu Hadits yang tidak mencapai derajat mutawatir.
dalam bahasa Ahad ini dimaksudkan menjadi satu-satu, dari pengertian dari bahasa ini memang belum begitu jelas, sehingga menurut para ulama ahli hadis disebutkan, bahwa hadist ahad adalah hadist yang para rawinya tidak mencapai jumlah rawi  hadis mutawattir , baik rawi itu satu, dua,tiga, empatatau seterusnya. tetapi jumlahnya tidak memberi pengertian bahwa hadis dengan jumlah rawi tersebut masuk dalam kelompok mutawattir. tidak muttawatir karena tidak mencukupi tiga syarat mutawattir yang telah dijelaskan sebelumnya.

Para imam berbeda pendapat kedudukan hadits ahad ini. Menurut  Imam Hanafi (Abu Hanifah), jika rawinya orang-orang yang adil maka hanya dapat dijadikan hujjah pada bidang amaliyah, bukan pada bidang akidah dan ilmiah. Imam Malik berpendapat hadits ini dapat dipakai menetapkan hukum-hukum yang tidak dijumpai dalam Al-Qur’an dan harus didahulukan dari qias zhonni (tidak pasti).
Imam syafi’i menegaskan, hadits ini dapat dijadikan hujjah jika rawinya memiliki empat syarat:
a)      Berakal
b)      Dhobit (yakni memiliki ingatan dan hafalan yang sempurna serta mampu menyampaikan hafalan itu kapan sajadikehendaki)
c)      Serta mendengar langsung dari Nabi Muhammad Saw; dan
d)      Tidak menyalahi pendapat ulama hadits.

Macam-macam hadist Ahad.
Dilihat dari segi jumlah rawi maka hadist ahad terbagi menjadi tiga, yakni;hadist masyhur(mustafiq), hadist aziz, dan hadist Gharib, tetapi ada juga ulama' yang tidak menyamakan hadist masyhur dengan hadist mustafiq, sehingga hadist ahad di jadikan menjadi empat macam.
a. hadist masyhur
 yaitu hadits yang diriwayatkan oleh tiga rawi atau lebih dengan sanad yang berbeda.Secara bahasa kata masyhur adalah isim maf’ul dari kata شَهَرْتُ الأمر yang berarti aku menjadikannya nampak atau terkenal. Dinamakan demikian karena keterkenalannya atau ketampakannya.

Adapun secara istilah:

Menurut Ibnu Hajar rahimahullah dalam Nukhbatul Fikar berkata:”Hadits yang diriwayatkan dari tiga perawi atau lebih, namun tidak sampai kepada jumlah perawi hadits mutawatir. Dan yang dimaksud dalam definisi ini adalah hadits masyhur secara istilah, dan terkadang disebut juga dengan hadits Mustafidh.”

Masih kata beliau:”Dan sebagian ulama ada yang mengatakan bahwa hadits masyhur adalah hadits Mustafidh, keduanya bermakna sama. Dan sebagian ulama ada yang mengatakan bahwa hadits Mustafidh adalah hadits yang jumlah perawi di kedua ujung sanadnya sama, maksudnya jika hadits itu diriwayatkan oleh tiga orang Shahabat, lalu dari tiga orang Shahabat tersebut ada tiga orang Tabi’in yang meriwayatkan hadits tersebut dan dari tiga Tabi’in tersebut ada tiga Tabi’ut Tabi’in yang meriwayatkan hadits tersebut dan seterusnya. Dan masyhur adalah hadits yang diriwayatkan dari tiga orang Shahabat (misalnya), kemudian dari ketiga orang Shahabat tersebut ada enam orang Tabi’in yang meriwayatkannya dari Shahabat, dan dari keenam Tabi’in tersebut ada dua belas orang Tabi’ut Tabi’in yang meriwayatkan hadits tersebut.”

Adapun Dr. Mahmud Thahan menyebutkan bahwa hadits Masyhur adalah hadits yang diriwayatkan oleh tiga orang perawi atau lebih pada setiap Thabaqat sanad (tingkatan sanadnya), namun tidak sampai kepada tingkatan Mutawatir.

Sekali lagi hadits Masyhur dengan definisi di atas adalah hadits Masyhur secara istilah, dinamakan ,Karena ada beberapa hadits yang dikatakan Masyhur (terkenal) namun ia tidak memenuhi syarat di atas, atau tidak cocok dengan kriteria yang ada pada definisi di atas.
     Contohnya, Muhammad Rasulullah Saw, bersabda, “Orang Islam ialah orang-orang yang tidak mengganggu orang Islam lainnya , baik dengan lidah maupun dengan tangannya.” (HR.Bukhori, Muslim, dan Tirmidzi)
Sanad Muslim, yaitu Muslim (mendengar ) dari Sa’id, dari Yahya, dari Burdah, dari Abu Musa, dari Rasulullah Saw.
Sanad Tirmidzi, yaitu tirmidzi (mendengar) dari Qutaidah, dari al-Lais,dari al-Qo’qo, dari abu Salih,dariabu Huroiroh,dari Nabi Saw.
Dalam metode susunan hadist ini dengan bentuk demikian:[8]

b. hadist Aziz
Sebagamana telah dijelaskan pada pembahasan lalu, bahwasanya para Ulama Ahli Hadits membagi hadits Ahad menjadi tiga macam yaitu, Masyhur, ‘Aziz, dan Gharib. Dan pembahasan seputar hadits Masyhur sudah kita ketahui bersama pada pembahasan yang lalu. Sekarang marilah kita simak pembahasan tentang hadits ‘Aziz berikut ini.
Definisi

Secara Bahasa:
Secara bahasa kata ‘Aziz adalah Shifah Musyabbahah (kata sifat yang menyerupai isim Fa’il) dari kata kerja عَزَّ-يَعِزُُّ (dengan huruf ‘ain yang dikasrahkan) berarti sedikit, atau nadir atau berasal dari kata عَزَّ-يَعَزُُّ (dengan huruf ‘ain yang difathahkan) berarti kuat atau meningkat. Hadits tersebut dinamakan demikian bisa jadi dikarenakan sedikitnya keberadaan hadits tersebut atau bisa jadi dikarenakan hadits itu menjadi kuat atau meningkat derajatnya disebabkan adanya jalur lain (riwayat lain) yang serupa dengan hadits itu.

Secara Istilah
Ada beberapa definisi seputar hadits ‘Aziz yang dijelaskan para Ulama, berikut ini beberapa contohnya:

Ibnul Mulaqin rahimahullah berkata:”Jika dua orang atau tiga orang perawi menyendiri (dalam meriwayatkan hadits) maka dinamakan hadits ‘Aziz.” (at-Tadzkirah fii ‘Ulumil Hadits)

Maksudnya adalah bahwa hadits yang hanya diriwayatkan oleh dua atau tiga orang perawi saja dalam setiap tingkatan sanadnya maka dinamakan hadits ‘Aziz.

Perkataan Ibnul Mulaqin rahimahullah “Dua orang atau tiga orang perawi” disebabkan karena para Ulama berbeda pendapat tentang masalah tersebut. Sebagian mereka mensyaratkan minimal dua perawi dalam satu thabaqat (tingkatan) sanad, dan yang lainnya mensyaratkan minimal tiga perawi. Jadi mereka (para Ulama) mempersyaratkan minimal ada dua perawi dalam setiap thabaqat-thabaqat (tingkatan-tingkatan) sanadnya, adapun jika pada thabaqat yang lain jumlahnya lebih banyak maka tidak mengapa. Kesimpulannya adalah jumlah perawi paling sedikit dalam setiap thabaqat sanadnya adalah dua atau lebih, supaya hadits tersebut dinyatakan sebagai hadits ‘Aziz.

c. hadist Gharib
menurut bahasa adalah hadis yang terpisah atau menyendiri  dari yang lain, para ulama memberikan batasan berikut, "hadist gharib adalah hadist yang diriwayatkan oleh satu orang rawi pada tingkatan maupun sanad".contoh dari hadist gharib adalah:

"dari Umar bin Khattab, katanya, aku mendengar dari Rasulullah SAW bersabda:"sesungguhnya amal perbuatan itu hanya memperoleh dari apa yang diniatkannya (HR. Bukhari, Muslim, dan lain-lain)

hadist gharib dapat dibagi menjadi:
1) Gharib mutlak
Dikategorikan sebagai gharib mutlak bila penyendiriannya itu mengenai personalianya, sekalipun penyendirian tersebut hanya terdapat dalam satu thabaqat. Penyendirian hadis gharib mutlak ini harus berpangkal di tempat asli sanad, yakni Tabiin, bukan sahabat, karena yang menjadi tujuan memperbincangkan penyendirian perawi dalam hadis ini untuk menetapkan apakah ia dapat diterima atau tidak.
Contohnya pada Hadis yang diterima dari Nabi oleh Ibnu Umar dan dari Ibnu Umar hanya Abdullah bin Dinar saja yang meriwayatkanya. Sedangkan Abdulallah bin Dinar adalah seorang tabiin hafid, kuat ingatannya dan dapat dipercaya.
2) Gharib Nisbi
Sedang yang dikategorikan gharib nisbi adalah apabila keghariban terjadi menyangkut sifat-sifat atau keadaan tertentu seorang perawi. Penyendirian seorang rawi seperti ini bisa terjadi berkaitan dengan sifat keadilan dan ketsiqahan rawi atau mengenai keadaan tempat tinggal atau kota tertentu.
Contoh dari hadits ghorib nisbi berkenaan dengan sifat keadilan dan ketsiqahan rawi:

كان يقرأ في الاضحى والفطر والقرأن المجيد واقتربت الساعة ووانشق القمر



Contoh dari hadits ghorib nisbi berkenaan dengan kota atau tempat tinggal tertentu:

دَّثَنَا أَبُو الْوَلِيدِ الطَّيَالِسِيُّ حَدَّثَنَا هَمَّامٌ عَنْ قَتَادَةَ عَنْ أَبِي نَضْرَةَ عَنْ أَبِي سَعِيدٍ قَالَ أُمِرْنَا أَنْ نَقْرَأَ بِفَاتِحَةِ الْكِتَابِ وَمَا تَيَسَّرَ.

Hadits ini diriwayatkan oleh Abu Daud dengan sanad Abu Al-Walid, Hamman, Qatadah, Abu Nadrah dan Said. Semua rawi ini berasal dari Basrah dan tidak ada yang meriwayatkannya dari kota-kota lain.
3. perbedaan hadist Mutawattir dan hadist Ahad.
a)      Dari segi jumlah rawi, hadist mutawattir diriwayatkan oleh para rawi yang jumlahnya sangat banyak pada setiap tingkatan sehingga menurut adat kebiasaan, mustahil mereka bersepakat untuk berdusta, sedangkan hadist ahad diriwayatkan oleh para rawi dalam jumlah yang menurut adat kebiasaan masih memungkinkan mreka sepakat untuk berdusta.
b)      Dari segi pengetahuan yang dihasilkan, hadist mutawattir menghasilkan ilmu yang qat'i (pasti) atau ilmu daruri ( mendesak untuk diyakini) bahwa hadist itu sungguh-sungguh dari Rasulullah sehingga dapat dipastikan kebenarannya, sedangkan hadist ahad menghasilkan ilmu dzanni (bersifat praduga) bahwa hadist itu berasal dari Rasulullah SAW. sehingga kebenarannya masih dalm bentuk praduga pula.
c)      Dari segi kedudukan,hadist mutawattir sebagai sebagai sumber ajaran agama Islam memiliki kedudukan yang lebih tinggi darpada hadist Ahad. sedangkan kedudukan hadist Ahad sebagai sumber ajaran agama Islam berada dibawah hadist mutawattir
d)      Dari segi kebenaran keterangan matan, dapat ditegaskan bahwa keterangan matan hadist mutawattir mustahil bertentangan dengan keterangan ayat dalam Al Qur'an, sedangkan keterangan matan hadist ahad mungkin saja  (tidak mustahil) bertentangan dengan keterangan ayat Al Qur'an. bila dijumpai hadist-hadist dalam kelompok hadist ahad yang keterangan matan hadistnya bertentangan dengan  keterangan Ayat Al Qur'an, maka hadis-hadist tersebut tidak berasal dari Rasulullah. mustahil Rasulullah mengajarkan ajaran yang bertentangan dengan ajaran yang terkandung dalam Al Qur'an.





BAB III
PENUTUP

KESIMPULAN
Dalam hadist ini dari jumlah perawinya yang menjadi sumber berita, maka dalam hal ini pada garis besarnya hadist dibagi mejadi dua macam, yakni hadist muttawatir dan hadist Ahad.
Hadist mutawatir adalah suatu hasil hadist tanggapan panca indera, yang diriwayatkan oleh sejumlah besar rowi, yang menurut kebiasaan mustahil mereka berkumpul dan bersepakat untuk dusta. Menurut jumhur ulama, tidak ada batasan tertentu dalam jumlah perawi sehingga satu hadits dikatakan mutawatir. Bisa dikatakan, sifat kemutawatiran itu nisbi yang berbeda antara satu ulama dengan ulama lainnya. Namun itu bukanlah menjadi satu permasalahan yang berarti bagi ulama Ahli Hadits karena yang terpenting bagi mereka adalah keshahihan dari riwayat. Hadits mutawatir ini dibagi menjadi dua, yaitu Mutawatir Lafdhy,ma’nawiy, dan amali.
Hadits Ahad, yaitu Hadits yang tidak mencapai derajat mutawatir. para ulama ahli hadis disebutkan, bahwa hadist ahad adalah hadist yang para rawinya tidak mencapai jumlah rawi  hadis mutawattir , baik rawi itu satu, dua,tiga, empatatau seterusnya. tetapi jumlahnya tidak memberi pengertian bahwa hadis dengan jumlah rawi tersebut masuk dalam kelompok mutawattir. tidak muttawatir karena tidak mencukupi tiga syarat mutawattir. Hadist Ahad dibagi menjadi tiga, yakni;hadist masyhur(mustafiq), hadist aziz, dan hadist Gharib, tetapi ada juga ulama' yang tidak menyamakan hadist masyhur dengan hadist mustafiq, sehingga hadist ahad di jadikan menjadi empat macam.




DAFTAR PUSTAKA

1.       www.Qur’an-online.com
2.       Nurrudin, (1995) Ulumul Al hadits,PT Remaja Rosdakarya:bandung
3.       Ahmad.M dan Mudzakir,( 1998)Ulumul Hadis,Pustaka Setia: Bandung
4.       Al-Qaththan. Manna’,Mabaahits fii ‘Uluumil-Hadiits, Maktabah Wahbah, Cet. 4







[1] Qur’an-online.com
[2] Nurrudin, (1995) Ulumul Al hadits,PT Remaja Rosdakarya:bandung, 02

[3] M.Ahmad dan Mudzakir,( 1998)Ulumul Hadis,Pustaka Setia: Bandung 65-66
[4] Qur’an-online.com
[5] ibid 88
[6] Ibid 70
[7] lihat Mabaahits fii ‘Uluumil-Hadiits oleh Manna’ Al-Qaththan, Maktabah Wahbah, Cet. 4
[8] Ibid 72
[9] Ibid 75
Labels: Makalah

Thanks for reading Pembagian Hadist Menurut Perawinya. Please share...!

Back To Top