BAB
I
PENDAHULUAN
Seiring dengan
bermunculannya lembaga-lembaga penitipan barang dapat sedikit membantu ketika
seorang ingin menitipkan barangnya dalam waktu yang cukup lama, mereka tidak
khawatir dengan keadaan keadaan barang yang ditinggalkannya itu, sebab dalam
lembaga tersebut telah menjamin akan keaslian barangnya. Namun dengan sedikit
mengeluarkan biaya.
Kita lihat di
masyarakat sangatlah tidak asing lagi
dalam hal penitipan barang, atau menitipkan sebuah barang kepada orang
lain. Seseorang berani menitipkan barang
kepada orang lain hanya yang biasa di kenal saja, sungguh belum tentu seorang
yang kita kenal tersebut bisa menjaga barang kita dengan baik, bisa saja
terjadi kelalaian atau kerusakan ketika barang yang dititipkan tersebut dipakai
oleh seorang yang diberikan amanah tersebut, dengan alasan yang banyak dan
dengan kedekatannya seorang penitip kepada seorang yang diberikan amanah,
kemudian seorang yang diberi amanah tersebut menipu, ketika terjadi kerusakan
pada barang yang dititipkan kepadanya. Dengan alasan apapun bisa di terima si
penitip karena si penitip yakin bahwa orang yang dikenal dan dekat denganya tidak mungkin
melakukan penipuan terhadap dirinya.
Hal ini yang
sering dilalaikan oleh seorang yang diberikan amanah, menganggap barang yang
dititipkan tersebut adalah barang yang bisa dipakainya juga. Ternyata tidak
seperti itu, seorang yang diberikan amanah hanya berhak menjaga barang yang di
titipkan kepadanya. dan ketika si penitip memperbolehkannya atau memberikan
izin memakai barang yang dititipkan tersebut. Barulah seorang yang diberikan amanah tersebut memakainya dengan
ketentuan selalu menjaga, memperbaiki ketika terjadi kerusakan, dan mengatakan
dengan sebenarnya kepada si penitip ketika barang akan diserahkan kembali
kepada si penitip. Jangan sekali-kali mengharap apapun, baik upah menjaga, dan
upah-upah lainnya kepada si penitip dan menjagalah dengan baik dan ikhlas.
Karena belum tentu serang yang menitipkannya tersebut orang yang memiliki cukup
uang untuk mengganti jasa tersebut. dan kepada seorang yang menitipkan barang
kepada orang lain hendaklah sadar akan jasa orang yang rela riberikan amanah
tersebut.
Oleh karena
itu, fenomena yang demikian perlulah diperhatikan oleh seorang yang diberikan
amanah dan pemberi amanah. Mempelajari apa yang harus di kerjakan ketika
seorang diberikan atau memberikan barang titipan(wadi’ah) kepada orang lain. Memilih jalan yang lebih aman
dengan menitipkan barang pada lembaga-lembaga penitipan barang yang ada di
sekitar kita. Dalam kesempatan ini penulis mencoba menjelaskan yang berkaitan
dengan barang titipan ( Wadi’ah ).
Rumusan Masalah
1. Apa Pengertian
Wadi’ah ?
2.
Dasar Hukum Wadi’ah.
3.
Apa Hukum Menerima Barang Titipan ?
4.
Bagaimana Penerapan Wadi’ah serta Pembagiannya ?
5.
Rusak dan
Hilangnya Benda Titipan ( wadi’ah ).
6. Perkara - perkara yang Membatalkan Wadi’ah.
6. Perkara - perkara yang Membatalkan Wadi’ah.
BAB
II
PEMBAHASAN
A.
PENGERTIAN
WADI’AH
Kata
wadi’ah berasal dari wada’asy syai-a yaitu
meninggalkan sesuatu. Sesuatu yang seseorang tinggalkan pada orang lain agar
dijaga disebut wadi’ah, karena dia meninggalkannya pada orang yang sanggup
menjaga. Secara harfiah, Al-wadi’ah dapat diartikan sebagai titipan murni dari
satu pihak ke pihak yang lain, baik individu maupun badan hukum, yang harus
dijaga dan dikembalikan kapan saja si penitip menghendakinya.
Ada dua definisi yang dikemukakan
oleh ulama fiqh.
Ø
Ulama madzhab Hanafi mendefinisikan :
“ Mengikut sertakan
orang lain dalam memelihara harta baik dengan ungkapan yang jelas maupun
isyarat ”
Umpamanya ada seseorang menitipkan
sesuatu pada seseorang dan si penerima titipan menjawab ‘iya atau mengangguk
atau dengan diam yang berarti setuju, maka akad tersebut sah hukumnya.
Ø Madzhab Hambali, Syafi’i dan Maliki ( jumhur
ulama ) mendefinisikan wadhi’ah sebagai berikut :
“ Mewakilkan orang lain untuk memelihara harta tertentu
dengan cara tertent ”.
Menurut
Hasbi-Ashidiqie al-wadi’ah
ialah :
Akad yang intinya minta pertolongan pada seseorang dalam
memelihara harta penitip.
Menurut
Syaikh
Syihab Al-Din Al-Qalyubi wa Syaikh Umairah al-wadi’ah ialah :
Benda yang diletakan pada orang lain untuk dipeliharanya.
Menurut
Ibrahim
Al-Bajuri berpendapat bahwa yang dimaksud al-wadi’ah ialah
Akad yang dilakukan untuk penjagaan.
Menurut
Addris
Ahmad bahwa titipan adalah Barang
yang diserahkan (diamanahkan) kepada seseorang supaya barang itu dijaga
baik-baik.
Tokoh – tokoh ekonomi perbankan
berpendapat bahwa wadhi’ah adalah akad penitipan barang atau uang kepada pihak
yang diberi kepercayaan dengan tujuan untuk menjaga keselamatan, keamanan dan
keutuhan barang atau uang tersebut.[1]
B.
DASAR HUKUM WADI’AH
-
Al
Qur’an
“Sesungguhnya Allah menyuruh kamu
menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya, dan (menyuruh kamu) apabila
menetapkan hukum di antara manusia supaya kamu menetapkan dengan adil.
Sesungguhnya Allah memberi pengajaran yang sebaik-baiknya kepadamu.
Sesungguhnya Allah adalah Maha Mendengar lagi Maha Meliha”. (QS. An nisa : 58)
“….
Jika sebagian kamu mempercayai sebagian yang lain, maka hendaklah yang
dipercayai itu menunaikan amanahnya (titipannya) dan hendaklah ia bertakwa
kepada Tuhannya …” (QS. Al Baqoroh :283)
-
Hadist
Riwayat Abu Daud dan Tirmidzi
Rasulullah Saw bersabda :
“Tunaikanlah amanah (titipan) kepada yang berhak menerimanya dan jangan
membalas khianat kepada orang yang telah mengkhianatimu”
-
Ijma
Ibnu Qudamah menyatakan bahwa sejak
zaman Rasulullah Saw sampai
generasi berikutnya, wadi’ah
telah menjadi ijma’ ‘amali
yaitu konsensus dalam praktek bagi umat Islam dan tidak ada orang yang mengingkarinya.
Para tokoh ulama Islam
sepanjang zaman telah ber’ijma
(konsensus) akan legitimasi al-Wadiah,
karena kebutuhan manusia
terhadapnya, hal ini jelas
terlihat seperti yang dikutip Dr. Wehbah Azzuhaily dalam al Fiqh al Islami
wa adillatuhu dari al-Mughni wa syarh Kabir Li Ibn Qudamah dan al-Mabsuth
Imam Sarakshsy.
C.
RUKUN DAN SYARAT WADI’AH
1. Orang yang berakad
Orang yang berakad adalah muwaddi sebagai orang yang
menitipkan barangnya (penitip) dan mustauda sebagai orang yang dititipi
barang (penerima titipan).
Orang yang
berakad hendaklah orang yang sehat (tidak gila) diantaranya yaitu:
- Baligh
- Berakal
- Kemauan sendiri, tidak dipaksa
Dalam mazhab Hanafi baliqh dan berakal tidak dijadikan
syarat dari orang yang sedang berakad, jadi anak kecil yang dizinkan oleh
walinya boleh untuk melakukan akad wadi’ah ini.
2. Barang titipan
Barang yang dititipkan harus jelas dan dapat dipegang atau
dikuasai, maksudnya ialah barang itu haruslah jelas identitasnya dan dapat
dikuasai untuk dipelihara.
3. Sighah (akad)
Syarat sighah yaitu kedua belah pihak melafadhkan akad yaitu
orang yang menitipkan (muwaddi) dan orang yang diberi titipan (mustauda).
D. HUKUM
MENERIMA BENDA TITIPAN
Hukum
menerima benda-benda titipan ada 4 macam yaitu :
1. Sunat
Disunnatkan menerima
titipan bagi orang yang percaya
kepada dirinya bahwa dia sanggup menjaga benda-benda yang dititipkan kepadanya. Al-Wadi’ah adalah salah satu
bentuk tolong menolong yang diperintahkan oleh Allah dalam
Al-Qur’an, tolong menolong secara umum hukumnya sunnat. Hal ini dianggap sunnat menerima benda titipan ketika
ada orang lain yang pantas pula untuk menerima titipan.
2. Wajib
Diwajibkan menerima
benda-benda titipan bagi seseorang
yang percaya bahwa dirinya sanggup menerima dan menjaga benda-benda tersebut, sementara orang lain tidak ada yang dapat dipercaya untuk memelihara
benda-benda tersebut.
3. Haram
Apabila seseorang tidak
kuasa dan tidak sanggup memelihara benda-benda titipan. Bagi
orang seperti ini diharamkan
menerima benda-benda titipan sebab
dengan menerima benda titipan
berarti memberikan kesempatan
(peluang) kepada kerusakan atau hilangnya benda-benda titipan sehingga
akan menyulitkan pihak yang menitipkan.
4. Makruh
Bagi orang yang percaya
kepada dirinya sendiri bahwa dia
mampu menjaga benda-benda
titipan tetapi ia kurang yakin
(ragu) pada kemampuannya, maka
bagi orang seperti ini dimakruhkan menerima benda-benda
titipan sebab dikhawatirkan dia
akan berkhianat terhadap yang
menitipkan dengan cara merusak
benda-benda titipan atau menghilangkannya.[2]
E.
PEMBAGIAN DAN PENERAPAN WADI’AH
1. Wadi’ah Yad Amanah
Adalah akad penitipan barang/uang dimana pihak penerima
(Mustauda) tidak diperkenankan penggunaan barang/uang dari si penitip (Muwaddi)
tersebut dan tidak bertanggung jawab atas kerusakan atau kelalaian yang bukan
disebabkan oleh kelalaian si penerima titipan (Mustauda). Dan sebagai gantinya
si penitip (Muwaddi) wajib untuk membayar kepada orang yang dititipi
(Mustauda), namun boleh juga untuk tidak membayar asalkan orang yang dititipi
tidak merasa keberatan dan menganggapnya sedekah.
Contoh penerapannya dalam perbankan syariah adalah safe
deposit box. Layanan Safe Deposit Box (SDB) adalah jasa penyewaan kotak
penyimpanan harta atau surat-surat berharga yang dirancang secara khusus dari
bahan baja dan ditempatkan dalam ruang khasanah yang kokoh dan tahan api untuk
menjaga keamanan barang yang disimpan dan memberikan rasa aman bagi
penggunanya.
Ketentuan pokok
pada operasional wadi’ah yad al-amanah :
§
Harta
atau barang yang dititipkan tidak boleh dimanfaatkan dan digunakan
oleh penerima titipan.
§
Penerima
titipan hanya berfungsi sebagai penerima amanah yang bertugas dan
berkewajiban untuk menjaga
barang yang dititipkan tanpa
boleh memanfaatkannya.
§
Mengingat barang atau harta yang dititipkan tidak
boleh dimanfaatkan oleh penerima titipan.
2. Wadi’ah Yad adh Dhamanah.
Wadi’ah Yad Dhamanah adalah akad penitipan barang atau uang
dimana pihak penerima titipan dengan atau tanpa izin pemilik barang dapat
memanfaatkan barang atau uang yang dititipkan dan harus
bertanggungjawab terhadap kehilangan atau kerusakan barang tersebut.
Contoh penerapannya dalam perbankan syariah adalah giro dan
tabungan wadi’ah. Giro Wadi’ah adalah giro yang dijalankan berdasarkan akad
wadi’ah, yakni titipan murni yang setiap saat dapat diambil jika pemiliknya
menghendaki. Sarana penyimpanan dana dengan pengelolaan berdasarkan prinsip
al-Wadi’ah Yad Dhomanah yang penarikannya dapat dilakukan setiap saat dengan
menggunakan media cek atau bilyet giro. Dengan prinsip tersebut titipan akan
dimanfaatkan dan diinvestasikan Bank secara produktif dalam bentuk pembiayaan
kepada berbagai jenis usaha dari usaha kecil dan menengah sampai pada tingkat
korporat secara profesional tanpa melupakan prinsip syariah. Bank menjamin
keamanan dana secara utuh dan ketersediaan dana setiap saat guna membantu
kelancaran transaksi.
Ketentuan pokok dalam operasional wadi’ah yad ad-dhamanah:
§
Harta dan barang yang dititipkan boleh dan dapat
dimanfaatkan oleh yang menerima titipan.
§
Karena dimanfaatkan,
barang dan harta yang dititipkan
tersebut tentu dapat menghasilkan
manfaat.
Tabungan wadiah merupakan tabungan yang dijalankan
berdasarkan akad wadiah, yakni titipan murni yang harus dijaga dan dikembalikan
setiap saat sesuai dengan kehendak pemiliknya. Nasabah jika hendak mengambil
simpanannya dapat datang langsung ke bank dengan membawa buku tabungan, slip
penarikan, atau melalui fasilitas ATM.
F.
RUSAK DAN HILANGNYA BENDA TITIPAN
Jika mustauda’
(orang yang menerima titipan) mengaku
bahwa benda-benda titipan telah rusak tanpa adanya unsur kesengajaan
darinya, maka ucapannya harus
disertai sumpah supaya
perkataannya itu kuat
kedudukannya menurut hukum. Namun
Ibnu Munzir rh berpendapat bahwa
orang tersebut di atas sudah dapat
diterima ucapannya secara hukum tanpa
dibutuhkan adanya sumpah.
Menurut Ibnu Taimiyah rh, apabila seseorang
yang memelihara benda-benda titipan mengaku bahwa benda-benda
titipan ada yang mencuri,
sementara hartanya yang ia
kelola tidak ada yang mencuri, maka mustauda’
tersebut wajib menggantinya. Pendapat
Ibnu Taimiyah rh ini berdasarkan
pada atsar bahwa Umar ra pernah meminta jaminan dari Anas bin Malik ra ketika barang titipannya yang ada pada Anas bin
Malik ra dinyatakan hilang,
sedangkan harta Anas ra masih ada.
Orang yang meninggal dunia dan terbukti padanya terdapat benda-benda titipan dan benda-benda titipan tersebut
tidak ditemukan maka ini menjadi
hutang bagi penerima titipan dan
wajib dibayar oleh ahli warisnya. Bila seseorang menerima benda-benda titipan sudah sangat lama waktunya sehingga ia tidak lagi mengetahui dimana atau siapa pemiliknya benda-benda tersebut dan sudah berusaha mencarinya
namun tidak dapat diperoleh keterangan yang jelas maka benda-benda tersebut dapat digunakan untuk kepentingan Islam[3].
G.
PERKARA –
PERKARA YANG MEMBATALKAN WADI’AH
§
Dengan sebab mati, gila atau pitam (tidak
sedarkan diri dalam jangka waktu yang lama) salah seorang penyimpan atau
penerima simpanan al-Wadi’ah.
§
Dengan sebab penyimpan mengambil balik harta
simpanannya dari penerima simpanan kerana penyimpan berhak bila-bila masa boleh
mengambil balik harta simpanannya.
§
Dengan sebab penerima simpanan menyerahkan balik
harta simpanan kepada penerima simpanan kerana penerima simpanan juga pada
bila-bila masa boleh menyerahkan kembali harta simpanan.
§
Dengan sebab penyimpan menjual atau mewakafkan
atau menyewakan harta al-Wadi’ah tersebut.
BAB
III
PENUTUP
Dengan
adanya makalah ini semoga kita semua dapat melaksanakan kegiatan sehari-hari
yang berkaitan dengan Wadi’ah khususnya, dengan syariat yang benar. Kami
penulis sadar akan kekurangan isi makalah ini, untuk itu Bapak Dosen kami
harapkan memberikan penjelasan yang lebih detail lagi tentang apa-apa yang salah maupun kurang dalam makalah
ini. Dan dalam makalah ini sengaja tidak diberi kesimpulan karena menurut kami
semua isi dalam makalah sudah jelas. Wallohu
A’alam.
REFRENSI
Fiqh
Islam, Sulaiman Rasyid, 1976.
http://pasar-islam.blogspot.com/2010/10/bab-6-wadiah-titipan.
Labels:
Makalah
Thanks for reading Penjelasan Mengenai Wadi'ah. Please share...!