-->

Kumpulan Makalah, Artikel dan Share Informasi

Konsep Kartu Kredit Syari'ah

BAB II
PEMBAHASAN


A. Pengertian Kartu Kredit

Kartu kredit merupakan alat pembayaran pengganti uang tunai yang dapat digunakan oleh konsumen untuk ditukarkan dengan barang dan jasa yang diinginkannya di tempat-tempat yang dapat menerima pembayaran dengan menggunakan kartu kredit (merchant). Pengertian kartu kredit dalam pasal 1 angka 4 Peraturan Bank Inonesia Nomor 7/52/PBI/2005 sebagaimana diubah dengan Peraturan Bank Indonesia Nomor 10/8/PBI/2008 Tentang Penyelenggaraan Kegiatan Alat Pembayaran Dengan Menggunakan Kartu, yaitu : 
Kartu Kredit adalah Alat Pembayaran Dengan Menggunakan Kartu yang dapat digunakan untuk melakukan pembayaran atas kewajiban yang timbul dari suatu kegiatan ekonomi, termasuk transaksi pembelanjaan dan atau untuk melakukan penarikan tunai dimana kewajiban pembayaran pemegang kartu dipenuhi terlebih dahulu oleh acquirer atau penerbit, dan pemegang kartu berkewajiban melakukan pelunasan kewajiban pembayaran tersebut pada waktu yang disepakati baik secara sekaligus (charge card) ataupun secara angsuran. 
Terminologi biasa yang dipakai oleh para ekonom dan praktisi perbankan mengenai kartu kredit adalah bithoqah al I’timaniyah yang merupakan terjemahan dari bahasa arab dan dalam bahasa inggris credit cards.
Definisi kartu kredit secara etimologi diambil dari kata bithaqah (kartu) secara bahasa digunakan untuk potongan kertas kecil atau dari bahan lain, diatasnya ditulis penjelasan yang berkaitan dengan potongan kertas itu. Sementara kata i’timan secara bahasa artinya adalah kondisi aman dan saling percaya. Dalam kebiasaan dalam dunia usaha artinya semacam pinjaman, yakni yang berasal dari kepercayaan terhadap peminjam dan sikap amanahnya serta kejujurannya. Oleh sebab itu ia memberikan dana itu dalam bentuk pinjaman untuk dibayar secara tertunda.

Kartu kredit adalah bagian dari beberapa bentuk kartu kerja sama finansial. Kartu kredit ini terbagi menjadi dua:

Kartu Kredit Pinjaman yang Tidak Dapat Diperbaharui (Charge Card)
Kartu kredit jenis ini adalah kartu yang diharuskan pemegang kartu untuk menutup total dana yang ditarik secara lengkap dalam waktu tertentu yang diperkenankan, atau sebagian dari dana tersebut. Biasanya waktu yang diperkenankan tidak lebih dari tiga puluh hari, namun terkadang bisa mencapai dua bulan. Kalau pihak pembawa kartu terlambat membayarnya dalam waktu yang telah ditentukan, ia akan dikenai denda keterlambatan. Dan kalau ia menolak membayar, keanggotaannya dicabut, kartunya ditarik kembali dan persoalannya diangkat ke pengadilan.

Kartu Kredit Pinjaman yang Bisa Diperbaharui (Revolving Credit Card)
Jenis kartu ini termasuk yang paling popular di berbagai negara maju. Pemilik kartu ini diberikan pilihan cara menutupi semua tagihannya secara lengkap dalam jangka waktu yang ditoleransi atau sebagian dari jumlah tagihannya dan sisanya diberikan dengan cara ditunda, dan dapat diikutkan pada tagihan berikutnya. Bila ia menunda pembayaran, ia akan dikenakan dua macam bunga: Pertama bunga keterlambatan, kedua bunga dari sisa dana yang belum ditutupi. Kalau ia berhasil menutupi dana tersebut dalam waktu yang ditentukan, ia hanya terkena satu macam bunga saja, yaitu bunga penundaan pembayaran. Dana yang ditarik tidak akan terbatas bila pemiliknya terus saja melunasi tagihan beserta bunga kartu kreditnya secara simultan. 
Adapun jenis-jenis kartu kredit berdasarkan fungsinya sebagai berikut :

Credit Card
Charge Card
Debit Card
Cash Card
Check Guarante Card

B. Akad - akad Kartu Kredit Dalam Perbankan Syari’ah

Al ‘ariyah (perjanjian kredit). Al ‘ariyah merupakan perjanjian yang mengadakan suatu pembelian yang dilakukan terhadap suatu barang atau jasa yang pembayaran harga atau jasa tersebut dilakukan berangsur-angsur dalam jangka waktu tertentu yang telah disepakati kedua belah pihak. 
Dalam penggunaan kartu kredit, pembayaran dilakukan pada waktu terjadinya transaksi jual beli adalah dilakukan oleh perusahaan penerbit kartu kredit untuk kemudian diadakan penagihan dalam jangka waktu tertentu kepada pemegang kartu kredit yang mempunyai saldo minimal dalam rekeningnya. Dari sudut syari’ah perjanjian ini dibolehkan karena mengandung unsur tolong menolong yang menguntungkan.
Al Wakalah (perjanjian pemberian kekuasaan). Pengertian wakalah atau deputyship adalah penyerahan, pendelegasian, atau pemberian mandat. Islam mensyariatkan al wakalah karena manusia membutuhkan. Dasar hukumnya adalah Q.S Al Kahfi (18) :19. Konsep ini dalam penggunaan kartu kredit merupakan prinsip perwakilan pembiayaan tunai dalam transaksi jual beli yang di lakukan oleh penerbit kartu (bank). 
Al Kafalah (perjanjian penanggungan). Merupakan jaminan yang diberikan oleh penanggung kepada pihak ketiga untuk memenuhi kewajiban pihak kedua atau yang ditanggung (pengalihan tanggung jawab). Dasar hukumnya adalah Q.S Yususf (12):12.
Bentuk jaminan yang diberikan dalam mekanisme kartu kredit adalah kafalah al mu’alaqah yang merupakan bentuk jaminan yang biasanya digunakan dalam industri perbankan maupun asuransi. 

C. Perbedaan Pendapat Ulama’ Kontemporer

Ulama Fiqih kontemporer berbeda pandangan mengenai persyaratan yang ada dalam kartu kredit, mereka terbagi menjadi dua kubu:
Pertama: Kubu yang membolehkan, mereka menganggap bahwa transaksi itu sah, namun komitmennya batal. Yakni apabila pihak nasabah yakin bahwa ia akan mampu menjaga diri untuk tidak terjerumus ke dalam konsekuensi menanggung akibat komitmen tersebut. Karena syarat rusak ini pada dasarnya menurut kaca mata syariat sudah batal dengan sendirinya. Syarat ini munkar dan justru harus dilakukan kebalikannya. Dasar mereka yang membolehkan adalah sebagai berikut:
Sabda Nabi kepada Aisyah ketika Aisyah hendak membeli Barirah namun majikannya tidak mau melepaskannya kecuali dengan syarat, hak wala’ budak itu tetap milik mereka. Itu jelas syarat yang bertentangan dengan ajaran syariat, karena loyalitas atau perwalian menurut syariat diberikan kepada orang yang membebaskannya. Nabi bersabda kepada Aisyah, “Belilah budak itu, dan tetapkan syarat bagi mereka, karena perwalian itu hanya diberikan kepada yang memerdekakan. Karena perwalian itu adalah hak orang yang membebaskannya.”
Dari sini dapat dipahami bahwa jika seseorang memaksakan suatu syarat yang bertentangan dengan syariat mengenai akad-akad yang diperlukan secara luas dan ia enggan untuk menetapkan akad tersebut kecuali berdasarkan syarat yang rusak ini, maka akad-akad ini tidak boleh dihentikan karena pemaksaan itu. Tidak boleh difatwakan mengenai ketidaklegalannya, tetapi tetap harus dilaksanakan. Dan harus diupayakan untuk membatalkan syarat yang rusak ini, baik lewat penguasa maupun dengan cara berusaha menjaga diri agar tidak terperangkap syarat tersebut bila pada satu masa tidak ada penguasa yang menegakkan syariat Allah.
Kedua, yakni yang melarangnya, Malikiyah dan Syafi’iyah menganggap transaksi tersebut batal. Mereka membantah dalil yang digunakan oleh kubu pertama, yakni tentang hadits Barirah, bahwa qiyas itu adalah qiyas dengan alasan berbeda. Karena dalam kasus Barirah syarat tersebut mampu dibatalkan oleh Aisyah karena dianggap bertentangan dengan ajaran syariat. Karena kejadian itu terjadi ketika syariat Islam betul-betul masih menjadi panutan, Negara Islam masih menjadi pemelihara ajaran Islam dan masih memimpin dunia. Bagaimana mungkin bisa dibandingkan dengan syarat berbau riba dalam pengambilan kartu kredit yakni syarat yang bersandar pada referensi sekulerisme yang didasari atas pemisahan agama dengan negara, lalu mengingkari referensi Islam yang suci yang melibatkan agama dalam kehidupan manusia.?
Dari pemaparan diatas, maka hukumnya adalah boleh bagi orang yang berberat sangka bahwa ia akan mampu menunaikan hutangnya pada waktu yang diperkenankan, sehingga dengan demikian ia tidak akan terkena konsekuensi persyaratan itu, tentunya dengan mengupayakan segala cara yang bisa dilakukan untuk tujuan tersebut.

D. Fatwa DSN tentang Kartu Kredit Syariah

Seiring maraknya penggunaan kartu kredit, ternyata bahasan tentang peluncuran kartu kredit syariah, akhirnya mendapat sedikit cahaya terang dari DSN (Dewan Syariah Nasional) MUI melalui fatwanya tentang kartu kredit syariah. Penggunaan kartu kredit syariah dibolehkan (baca: halal) asal memenuhi berbagai ketentuan yang ditetapkan. Jika menyalahi ketentuan tersebut, tentu saja hukumnya akan menjadi tidak boleh (baca: haram).

Kedua : Hukum. 
Syariah Card dibolehkan, dengan ketentuan sebagaimana diatur dalam fatwa ini.

Ketiga : Ketentuan Akad
Akad yang digunakan dalam Syariah Card adalah:

1. Kafalah; dalam hal ini Penerbit Kartu adalah penjamin (kafil) bagi Pemegang Kartu terhadap Merchant atas semua kewajiban bayar (dayn) yang timbul dari transaksi antara Pemegang Kartu dengan Merchant, dan/atau penarikan tunai dari selain bank atau ATM bank Penerbit Kartu. Atas pemberian Kafalah, penerbit kartu dapat menerima fee (ujrah kafalah).
2. Qardh; dalam hal ini Penerbit Kartu adalah pemberi pinjaman (muqridh) kepada Pemegang Kartu (muqtaridh) melalui penarikan tunai dari bank atau ATM bank Penerbit Kartu.
3. Ijarah; dalam hal ini Penerbit Kartu adalah penyedia jasa sistem pembayaran dan pelayanan terhadap Pemegang Kartu. Atas Ijarah ini, Pemegang Kartu dikenakan membership fee.

Keempat : Ketentuan tentang Batasan (Dhawabith wa Hudud) Syariah Card
1. Tidak menimbulkan riba.
2. Tidak digunakan untuk transaksi yang tidak sesuai dengan syariah.
3. Tidak mendorong pengeluaran yang berlebihan (israf), dengan cara antara lain menetapkan pagu maksimal pembelanjaan.
4. Pemegang kartu utama harus memiliki kemampuan finansial untuk melunasi pada waktunya.
5. Tidak memberikan fasilitas yang bertentangan dengan syariah
Kelima : Ketentuan Fee
1. Iuran keanggotaan (membership fee).Penerbit Kartu berhak menerima iuran keanggotaan (rusum al-’udhwiyah) termasuk perpanjangan masa keanggotaan dari pemegang Kartu sebagai imbalan (ujrah) atas izin penggunaan fasilitaskartu
2. Merchant fee
3. Penerbit Kartu boleh menerima fee yang diambil dari harga objek transaksi atau pelayanan sebagai upah/imbalan (ujrah) atas perantara (samsarah), pemasaran (taswiq) dan penagihan (tahsil al-dayn).
4. Fee penarikan uang tunai. Penerbit kartu boleh menerima fee penarikan uang tunai (rusum sahb al-nuqud) sebagai fee atas pelayanan dan penggunaan fasilitas yang besarnya tidak dikaitkan dengan jumlah penarikan.
5. Fee Kafalah. Penerbit kartu boleh menerima fee dari Pemegang Kartu atas pemberian Kafalah.
6. Semua bentuk fee tersebut di atas (a s-d d) harus ditetapkan pada saat akad aplikasi kartu secara jelas dan tetap, kecuali untuk merchant fee.
Keenam : Ketentuan Ta’widh dan Denda
1. Ta’widh. Penerbit Kartu dapat mengenakan ta’widh, yaitu ganti rugi terhadap biaya-biaya yang dikeluarkan oleh Penerbit Kartu akibat keterlambatan pemegang kartu dalam membayar kewajibannya yang telah jatuh tempo.
2. Denda keterlambatan (late charge). Penerbit kartu dapat mengenakan denda keterlambatan pembayaran yang akan diakui seluruhnya sebagai dana sosial.
Ketujuh : Ketentuan Penutup
1. Jika salah satu pihak tidak menunaikan kewajibannya atau jika terjadi perselisihan di antara pihak-pihak terkait, maka penyelesaiannya dapat dilakukan melalui Badan Arbitrase Syari’ah atau melalui Pengadilan Agama setelah tidak tercapai kesepakatan melalui musyawarah.
2. Fatwa ini berlaku sejak tanggal ditetapkan dengan ketentuan jika di kemudian hari ternyata terdapat kekeliruan, akan diubah dan disempurnakan sebagaimana mestinya. 


BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan

Dari pemaparan diatas, dapat di ambil kesimpulan mengenai konsepsi kartu kredit syari’ah adalah kartu yang digunakan sebagai alat pembayaran yang dikeluarkan oleh pihak bank dan sejenisnya dan dapat digunakan oleh pembawanya untuk membeli segala keperluan dan barang-barang serta pelayanan tertentu secara hutang. Adapun akad-akad yang ada dalam penerbitan dan penggunaan kartu kredit syari’ah terdiri dari akad Al ‘ariyah, Al Wakalah (perjanjian pemberian kekuasaan), Al Kafalah (perjanjian penanggungan). Untuk mengantisipasi hal-hal yang tidak diinginkan di kemudian hari, maka terdapat kriteria untuk pengguna kartu kredit syari’ah yaitu hanya diberikan kepada nasabah yang memiliki pendapatan/gaji yang layak dan sesuai dengan kebutuhan, pengguna kartu harus memiliki kemampuan secara financial untuk melunasi pembayaran pada waktunya. Disamping kriteria tersebut juga diberikan batasan dari besaran pembelanjaan atas transaksi yang dilakukan oleh pihak pengguna kartu (nasabah). Adapun penggunaan kartu kredit syariah tidak dapat digunakan untuk melakukan transaksi atas barang-barang yang tidak diperbolehkan oleh syariat atau transaksi atas barang-barang yang dilarang. Kartu kredit syariah hanya dapat diakses transaksinya pada barang-barang yang telah ditentukan dengan kriteria kehalalannya.
Terdapat beberapa pendapat ulama mengenai hukum penggunaan kartu kredit terkait dengan permasalahan-permasalahan di atas. Ada ulama yang membolehkan dan ada juga yang mengharamkan dengan berdasarkan landasan masing-masing. Dan DSN (Dewan Syariah Nasional) MUI melalui fatwanya tentang kartu kredit syariah menyebutkan bahwa penggunaan kartu kredit syariah dibolehkan (baca: halal) asal memenuhi berbagai ketentuan yang disebutkan di atas, dan jika menyalahi ketentuan tersebut, tentu saja hukumnya akan menjadi tidak boleh (baca: haram).




REFRENSI

Muhammad Syafi’I Antonio, Bank syari’ah dari teori ke praktik, cet 1, (Jakarta : Gema Insani Press, 2001), hal 125
http://ridaingz.wordpress.com/2012/07/19/konsep-kartu-kredit-bithaqah-itiman-sebagai-alat-pembayaran-dalam-hukum-islam.
http://kamale.wordpress.com/2007/01/16/fatwa-dsn-ttg-kartu-kredit-syariah.
http://handarsubhandi.blogspot.com/2014/06/pengertian-kartu-kredit.

Labels: Makalah

Thanks for reading Konsep Kartu Kredit Syari'ah. Please share...!

Back To Top