-->

Kumpulan Makalah, Artikel dan Share Informasi

Apakah Besuk Pagi Kita Belum Mati

E A N. Secara harfiah, husnul khatimah berarti akhir atau kesudahan yang baik. Dalam istilah Islam berarti akhir hayat (kehidupan) yang baik. Kebalikannya adalah su'ul khatimah, aryinya akhir hayat yang buruk. Akhir kehidupan yang dialami oleh manusia it sering disebut sakaratul maut.


img source


Apakah kita akan mati.? Apakah kita akan segera sampai ke garis sakaratul maut.?


Lebih rasional kalau pertanyaannya kita balik, Siapakah yang bisa memastikan bahwa nanti sore atau malam atau bahkan 2 menit yang akan datang, ia pasti akan masih hidup.? Puncak ilmu orang hidup adalah mengenai maut. Yang paling masuk akal bagi segala perjalanan ilmu manusia adalah kesadaran bahwa sewaktu-waktu akan mati. Pengetahuan yang subtansial dan primer adalah bahwa sekarang juga setiap manusia harus siap untuk berakhir hidupnya. Bahwa jisim (badan) manusia tidak hidup abadi.


Seorang pengusaha menuliskan rancangan-rancangan bisnisnya pada skala jangka pendek, jangka menengah dan jangka panjang, bahkan diproyeksikan sampai 50 tahun ke depan. Akan tetapi kalimat awal dari teks rancangannnya sesungguhnya berisi kalimat, Dengan catatn bahwa selama jangka waktu tersebut ia belum meninggal dunia.


Seorang politisi sepenuhnya berhak mentargetkan keinginanya untuk duduk di kursi kepresidenan. Seorang sarjana mutlak diperbolehkan meniti karirnya sampai sejauh-jauhnya dan setinggi-tingginya. tetapi semua itu, dengan catatan bahwa berlakunya hanya kalau mereka masih hidup. Itu namanya ilmu orang tua.




Oleh : Emha Ainun Nadjib / Cak Nun

MATEMATIKA BURUH



Pict ; img.bisnis.com

Tulang punggung disetiap lembaga usaha atau perusahaan adalah masyarakat buruh. Tulang punggung itu bersusun-susun dan berlapis-lapis. Lapisan paling luar adalah etos kerja yang maksimal pada para buruh.

Supaya etos kerja mereka tinggi, mereka memerlukan keikhlasan bekerja dan Supaya hati mereka ikhlas, terlebih dahulu mereka perlu merasa bahagia dan bangga menjadi bagian dari perusahaan.

Supaya mereka bangga, mereka butuh pengetahuan dan pengalaman bahwa tidak ada tempat lain dimana mereka bisa mendapatkan tingkat upah dan santunan yang melebihi perusahaan dimana mereka bekerja.

Supaya kebahagiaan diperoleh masyarakat buruh, mereka memerlukan kenyataan bahwa nafkah keluarga mereka terjamin, ekonomi rumah tangga mereka aman.

Supaya produktifitas mereka meningkat lagi, maka kebahagiaan yang mereka dapatkan tidak sekedar terjamin dan aman, tapi juga lebih dari itu.

Maka tidak heran kalau seorang pimpinan perusahaan berkat pada Tuhan dalam sembahyangnya ; "Tuhan, buruh-buruh yang bekerja padaku bukan hanya asset perusahaanku, Mereka adalah kekasih hidupku"


Oleh : Emha Ainun Nadjib


Penggembala atau Gembalaan

paringan.blogspot.co.id
Pict : google.co.id
Berbicara tentang kepemimpinan, ada idiom-idiom budaya Jawa karya para Wali (Wali Songo) yang bisa dipegang. Falsafah kepemimpinan dalam angon/menggembalakan bebek atau menggembala kambing misalnya, si penggembala selalu di belakang. Posisi ini identik dengan kepemimpinan dalam shalat berjamaah, yakni para perempuan selalu di belakang. Perempuan adalah penggembala dalam konteks pemimpin yang angon (menggembala) kaum laki-laki yang berada di depannya.


Falsafah kepemimpinan bocah angon tersebut dapat kita temui di lagu / tembang Ilir-ilir.

Tugas yang sedang di emban oleh bocah angon dalam tembang Ilir-ilir tersebut adalah menjat pohon blimbing yang bergigir lima. dalam situasi sekarang dapat diartikan memanjat pohon reformasi, pohon demokratisasi atau apapun istilah yang kita pakai. Lunyu - lunyu yo penekno, selicin apapun terus harus kita panjat. Jatuh melorot lagi, naik lagi bgtu dan seterusnya.

Bocah angon yang memanjat itu pemerintah dan semua orang. Untuk pemerintah : Penekno/panjatkan. memanjtakan reformasi untuk kepentingan rakyat. Tapi kalo nggak bisa, ya lagu itu untuk Rakyat : Peneken. Panjatlah sendiri. Sementara upayakan kemandirian dan mengurangi semaksimal mungkin ketergantungan terhadap perekonomian makro yang di kelola oleh pemerintah. Tingkatkan etos kerja dan watak swasta. Tingkatkan akses ke alam dan jasa.

Adapun blimbing bergigir lima, mempunyai makna boleh di multifungsikan, bisa Pancasila, 5 rukun Islam, bisa shalat 5 waktu dan yang pasti bukan mo-limo (maling, madat, mabuk, madon dan main).

Lalu, apa makna bocah angon / penggembala yang selalu di belakang.? begitu pula dengan para wanita yang berada di belakang ketika shalat berjamaah.? makna simboliknya adalah bahwa kaum wanita sebenarnya sedang angon atau menggembalakan kaum laki-laki. sebagaimana dalam shalat berjamaah itu. Bayangkan bila mode dalam shalat itu di balik, perempuan di depan sebagai imam dan kaum laki-laki di belakang sebagai makmum. Bisa dipastikan suasananya akan menjadi kacau, karena para makmum yang terdiri dari kaum laki-laki tidak bisa khusyu' dalam shalatnya lantaran sibuk memandangi kaum wanita yang ada didepannya, begitulah, pada hakikatnya perempuan adalah pemimpin.
Bocah angon bersedia berada di belakang, artinya kita membutuhkan manusia yang tidak rakus kekuasaan, mau menjadi rakyat biasa, mau berada dibelakang saja. Manusia yang punya kebesaran jiwa sebagai manusia sehingga meskipun "hanya" menjadi manusia biasa, Ia tidak berpenyakit jiwa apa-apa. Bukan manusia kerdil yang memerlukan jabatan, otoritas, dan popularitas untuk merasa dirinya besar. Jika sudah matang 'ke-belakang-an' nya seperti ini, justru orang macam inilah yang paling siap tampil di depan.

Ciri bocah angon yang lain adalah pada habitat anak gembala. Egaliter, bersahaja, siap tidur di bawah pohon, siap bergelut dengan kotoran. Bukan priyayi, bukan anak mami yang necis, bukan orang hedonis yang gaya hidupnya memerlukan pengorbanan ekonomi orang banyak. Orang semacam ini yang paling siap berpuasa dari KKN (Maling Uang Negara).

Tapi mungkin yang kita miliki sekarang belum sebagai bocah angon. Yang kita punya bukan penggembala kerbau melainkan KERBAU.


Bulan Purnama Ws. Rendra

Tuhan memilihkan saat terbaik untuk memanggil kekasih-Nya, Rendra. Malam Jum’at, di bawah cahaya bulan purnama. Orang besar itu telah pergi dengan gagah sebagaimana ajarannya: “gagah dalam kemiskinan”. Istrinya, Ken Zuraida, menyatakan “ia sangat bahagia”, meskipun pasti bagi setiap yang terlibat kematian selalu ada semacam “derita manusiawi” yang membungkusnya.


paringan.blogspot.co.id
Ws. Rendra dan Cak Nun


Ini adalah puncak dari tangis mengguguk-guguk seorang pecinta yang airmatanya tumpah di ufuk kesadaran tentang “nyawiji”. Selama sakit di pembaringan Rendra selalu spontan menyebut “Ya Lathif”, wahai Yang Maha Lembut. Di saat-saat paling menderita oleh sakitnya ia meneguhkan hatinya dengan “Qul huwal-Lahu Ahad, Allahus-Shamad….”. Setengah sadar sambil saya genggam tangan kirinya saya minta ia menambahi, “Mas, ucapkan juga Qul Huwal-Lahu Wahid…”

Ia berbisik, “apa bedanya Ahad dengan Wahid, Nun”, saya jawab “Mas, Ahad itu Allah yang Tunggal, Yang Satu, yang gagah perkasa dengan maha eksistensi-Nya. Wahid itu Allah yang Manunggal, yang Menyatu, yang integral, yang merendahkan diri-Nya, mendekat ke hamba-Nya, nyawiji…”. Meledak tangis Rendra dalam rasa dan kesadaran bahwa ia tak berjarak dengan-Nya dan Ia tak berjarak dengan dirinya. Tatkala mereda gejolak hatinya, Rendra menorehkan puisi yang diakhiri dengan kalimat “Tuhan, aku cinta pada-Mu”.

Maka Rendra tak pergi. Tak pernah pergi. Ia tidak perlu pergi menuju sesuatu yang ia sudah menyatu dengannya. Mungkin Rendra memang telah pergi meninggalkan kita, jauh sebelum detik kematiannya, karena kita meletakkan diri semakin jauh dari titik “nyawiji” yang Rendra sudah lama menikmatinya.

Tapi sudah pasti kemudian terdengar suara dari seluruh penjuru: “Kita sangat kehilangan”, “Bangsa kita ditinggalkan lagi oleh salah seorang putra terbaiknya”, atau “Tidak. Rendra tak pernah pergi. Orang besar tak pernah mati”.

Bisa jadi pekikan-pekikan hati itu sebenarnya tidak terutama tentang Rendra, melainkan lebih terkait dengan kandungan batin kita sendiri. Semua pernyataan itu sangat memancarkan kedalaman cinta, semangat mempertahankan optimisme ke depan, mungkin juga diam-diam terdapat kandungan kecemasan dan kebingungan dari dalam ego kita sendiri.

Terutama bagi orang yang semakin berangkat tua seperti saya: mengibarkan kehidupan Rendra pada momentum kematiannya, sesungguhnya diam-diam sangat tajam mencerminkan kengerian terhadap kehidupan dan kematian saya sendiri. Kita berduyun-duyun menghadiri pemakamannya, mungkin untuk menyatakan kepada Tuhan betapa cintanya kita kepada kehidupan kita, dan betapa kawatirnya kita akan datangnya maut sewaktu-waktu atas kita.

Mungkin terdapat semacam raungan di kandungan jiwa setiap pentakziyah pemakaman Rendra. Raungan panjang seperti puisi “Rick dari Corona” atau “Khotbah”. Tetapi mungkin berakhir sublim dan mengkristal menjadi Drama Mini Kata Rendra: “Bip Bop”, “Rambate Rate Rata"

Sementara bagi para pentakziyah yang muda-muda, yang menyangka bahwa maut ada kaitannya dengan muda dan tua, di komplek Bengkel Teater meneriakkan puisi-puisi perjuangan, mengibarkan kepercayaan di dalam diri mereka bahwa kepergian Rendra bukanlah sirnanya perjuangan sosial, progressivisme ideologi nasional dan martabat kemanusiaan. Mereka seolah menghadirkan kembali panggung “Mastodon dan Burung Kondor”, “Sekda”, bahkan “Kasidah Barzanji”, hingga ke puisi “Orang Miskin di Jalan”, “Bersatulah Pelacur-pelacur Ibukota”, “Seonggok Jagung di Kamar”.

Wahai maut, siapakah engkau? ”Bukan kematian benar menusuk kalbu”, kata Chairil Anwar, penyair terbesar Indonesia di samping Rendra dan Sutardji Calzoum Bachri. ”Keridaanmu menerima segala tiba. Tak kutahu setinggi itu atas debu. Dan duka Maha Tuan bertahta”….

Tuhan tak sudi dipergoki. Takdir-Nya tak bisa dicegat. Kehendak-Nya tak mungkin dibatasi. Hak-Nya atas misteri garis terang dan gelap kehidupan, serta atas ketentuan detik maut dihadirkan, tak membuka diri sedikitpun untuk dirumuskan oleh segala ilmu dan pengalaman. Kehidupan sangat mengkaitkan sakit dengan kematian, tetapi maut tidak bersedia diperkaitkan dengan sakit.
Orang bisa sakit berkepanjangan tanpa kunjung maut menjemputnya. Orang sehat walafiat bisa mendadak dihadang oleh kematian. Rendra dipanggil Allah tidak berdasar akselerasi logis dari sakit demi sakit yang dideritanya: pikiran yang memberat, jantung bekerja terlalu keras, ginjal menanggung akibatnya, kemudian tiba-tiba Demam Berdarah menelusup ke darahnya dan menganiaya jiwanya.

Keadaannya justru membaik sehingga diperkenankan keluar dari Rumah Sakit, kemudian menempuh jalan yang ia menyebutnya  “Aku pengin membersihkan tubuhku dari racun kimia. Aku ingin kembali kepada jalan alam. Aku ingin meningkatkan pengabdian kepada Allah. Tuhan aku cinta pada-Mu” (31 Juli 2009).

Rasulullah Muhammad saw menderita panas badan yang sangat luar biasa melebihi kebanyakan orang, beliau menjawab pertanyaan salah seorang sahabatnya tentang panas yang ekstra itu: bahwa beliau dibebani Allah tanggung jawab sangat besar melampaui semua yang lain, sehingga Tuhan menganugerahkan juga kemuliaan yang sangat tinggi melebihi siapapun, tetapi harus juga harus beliau tanggung panas yang amat tinggi dan dahsyat yang orang lain tak menanggungnya.

Demikianlah juga kadar derita sakit yang dialami Rendra, takaran jenis kesengsaraan yang menimpanya, yang khalayak ramai tidak perlu mengetahui atau turut menghayatinya. Rendra bahagia di dalam anugerah kemuliaan yang diterimanya dalam rahasia. Bahkan lautan kebahagiaan dan kemuliaan Rendra tidak perlu “digarami” oleh pernyataan pers Presiden Republik Indonesia sebagaimana mBah Surip dianggap memerlukannya.

Pada hari wafatnya Rendra, di samping menikmati pemandangan indahnya kemuliaan rahasia Rendra itu saya mendapat cipratan anugerah yang lain: menyaksikan seseorang menginfakkan 6,1 Trilyun Rupiah, dengan Allah merebut seluruh kemuliaan hamba-Nya itu  dengan cara membiarkan sesama manusia justru memperhinakannya. Alangkah anehnya metoda cinta Tuhan.

Di hadapan akal sehat, Presiden berpidato untuk wafatnya Mbah Surip tapi tidak untuk wafatnya Rendra adalah kehancuran logika dan kebangkrutan parameter nilai budaya. Tetapi di hadapan karamah Allah, itu justru keindahan yang spesifik. SBY bikin stempel tegas atas dirinya sendiri.

Ini sama sekali bukan polarisasi antara Rendra dengan Mbah Surip. Tiga tahun lebih saya ikut mengawal dan menjunjung Mbah Surip dan “Tiga Gorilla” nya - bersama Bertha dan almarhum Ndang: melalui forum rakyat rutin bulanan di Jakarta, Jombang, Semarang, Surabaya dan Yogyakarta. Sehingga “Tak Gendong” dan “Tidur Lagi” sudah sangat dihapal oleh komunitas lima kota itu dan terus menerus diulang-ulang karena sangat dicintai sebagai “lagu kebangsaan” komunitas kami. Kami “I love you full” kepada Mbah Surip, meskipun dua bulan terakhir menjelang beliau wafat kami kehilangan diri kami di penggalan akhir sejarah Mbah Surip, tanpa Mbah Surip pernah hilang dari hati kami.


paringan.blogspot.co.id
Ws. Rendra


Rendra dipanggil Allah justru di puncak optimisme keluarganya atas kesembuhannya. Candle light phenomenon, kata orang, fenomena lilin yang apinya membesar dan memancarkan cahaya sangat benderang, sebelum akhirnya padam. Tetapi Tuhan berhak juga bikin lilin membenderang apinya, kemudian tidak padam. Atau lilin tidak pernah membenderang dan lantas padam.

Tuhan berhak memaparkan suatu gejala yang pada repetisi kesekian dihipotesiskan oleh manusia sebagai jenis ‘perilaku’ Tuhan atas nasib manusia. Tapi Tuhan juga berhak kapan saja melanggar rumusan apapun yang pernah Ia berikan. Bahkan Tuhan seratus persen tidak berkewajiban untuk berbuat adil kepada siapapun, karena Ia tidak terikat atau tergantung pada pola hubungan apapun dengan siapapun yang secara logis membuat-Nya wajib bertindak adil.
Namun Ia selalu sangat adil kepada siapapun, dan tindakan adil-Nya itu bukan karena Ia wajib adil, melainkan karena Ia sangat sayang kepada makhluk-Nya.

Termasuk bagaimana cara maut ditimpakan kepada seseorang, Tuhan menolak untuk kita rumuskan. Ada bandit mati ketika bersujud. Ada orang sangat alim soleh pergi ke Masjid di tengah malam diserempet oleh motor kemudian ia dipukuli oleh pengendara motor itu sampai meninggal. Ada pendosa besar mati ketika berthawaf, ada ‘true beleiver’ pengkhusyu ibadah mati kecelakaan secara sangat mengenaskan. Semua fenomena itu tidak menggambarkan apa-apa kecuali kemutlakan kuasa Tuhan. Posisi manusia hanya pada dinamika doa: selalu cemas dan memohon kepada-Nya agar diperkenankan untuk tidak tampak hina di hadapan sesama manusia.

Pun tak usah merumuskan sebab akibat antara baik buruknya manusia dengan jumlah pelayat, volume pemberitaan media, tayangan langsung atau tunda, tatkala meninggal. Ada Ratu lalim diantarkan ke pemakaman oleh puluhan ribu orang, ada Nabi dikuburkan hanya oleh enam orang. Jadi, Rendra, tidak bisa kita ukur kwalitas mautnya, tak juga bisa kita takar mutu hidupnya. Tidak ada jenis dan wilayah ilmu manusia apapun yang bisa dipakai untuk merumuskan hidup dan matinya Rendra. Sirrul-asror. Itu misteri seserpih rahasia di antara jagat raya tak terhingga rahasia iradah-Nya.
Yang mungkin, dan harus, kita lakukan adalah meneliti dan menghitung ulang karya-karya Rendra, menghormatinya dengan ilmu, merayakannya terus menerus dengan cinta, menunjungnya dengan semangat tanpa henti untuk memelihara keindahan hidup, serta menghidupkan kembali kandungan karya-karyanya itu di dalam berbagai modus kreatif kebudayaan kita.

Rendra telah diterima Allah untuk bergabung dalam keabadian. Kelabakanlah kita, sebab yang kita punyai saat ini adalah budaya instan, pola berpikir sepenggal, perhatian terlalu rendah terhadap sejarah, serta kefakiran yang luar biasa terhadap kwalitas hidup. “Kami cuma tulang-tulang berserakan”, kata Chairil, ”Tapi adalah kepunyaanmu. Kaulah lagi yang tentukan nilai tulang-tulang berserakan. Ataukah jiwa kami melayang untuk kemerdekaan, kemenangan dan harapan.”



Cak Nun.! Akal Itu Ujung Jari Tuhan

Saya merasa heran, terkadang kagum, dan bahkan takjub melihat berbagai kecenderungan manusia sekarang, terutama dalam hubungannya dengan apa yang mereka sebut ‘akal sehat.’ Misalnya, kalau memang tidak benar-benar mau bekerjasama dengan Tuhan, kenapa tidak kita resmikan saja penghapusan sila pertama Pancasila. Saya tidak keberatan negara ini tak bertuhan, sebab memang tak ada kewajiban bagi negara untuk bertuhan. Yang ditagih oleh Tuhan kelak bukan negara, tapi manusia.


paringan.blogspot.co.id
Refleksi Cak Nun

Monggo tidak bertuhan. Asalkan menjalani hidup dengan kesungguhan. Kalau demokrasi omongannya, ya demokrasi kelakuannya. Kalau teriak perikemanusiaan, ya jijik kepada perikehewanan. Kalau pamer hati nurani, ya jangan pakai cinta palsu. Kalau pidato membela rakyat, ya membela rakyat. Tuhan juga tak usah diperdebatkan: silakan menyebutnya Pangeran, Sang yang Wenang, Gusti, Allah, atau apa saja. Juga silakan tak usah ada istilah-istilah itu, biar menjadi bahasa pribadi kita masing-masing. Yang kita perlukan hanya sederhana: kita, manusia, bersungguh-sungguh menjalani kebersamaan hidup. Serius terhadap keadilan, kebenaran, kasih sayang, toleransi.

Yang kita alami sekarang ini adalah : Tuhan diakui, tapi tidak sungguh-sungguh. Allah disebut, tapi proforma dan iseng-iseng saja. Nama agama dijunjung, tapi ajarannya hanya dilaksanakan sebatas kondusif terhadap keperluan kita. Nabi kita rekrut untuk ngikut dan membenarkan langkah-langkah kita. Tuhan kita angkat sebagai ‘karyawan’ yang bekerja untuk karier pribadi dan sukses politik dan ekonomi kita.

Saya tidak keberatan seluruh dunia ini tidak pecaya Tuhan dan membuang agama. Silakan saja, tapi saya, anak istri, dan komunitas saya tidak ikut. Hanya, kalau memang Tuhan dinafikan, kenapa setengah-setengah? Kenapa tidak menggunakan kebebasan mutlak dan melampiaskan nafsu semerajalela mungkin. Kenapa tidak maling sebanyak-banyaknya, kenapa tidak curang dan licik sejadi-jadinya, menumpuk harta semewah-mewahnya dan kuasa sepanjang-panjangnya? Kalau tak ada Tuhan, untuk apa memperhatikan kebenaran, kebaikan, dan keadilan. Kalau nilai-nilai itu hanya bikinan manusia, untuk apa kita terikat padanya. Apa hebatnya manusia sehingga patuh kepadanya?

Yang saya kagum adalah banyak teman-teman yang sudah telanjur meremehkan Tuhan, sinis kepada akhlak, skeptic terhadap agama, tapi hidupnya sengsara. Sudah telanjur melakukan berbagai kebohongan, kecurangan, disinformasi, fitnah, sangka buruk, melakukan berbagai pelanggaran yang menyakiti  kemanusiaan, yang membubarkan hukum, yang merusak tatanan nilai sosial — tapi hidupnya tidak sejahtera, tidak kaya, tidak berfoya-foya. Eman-eman tidak ada Tuhan kok tidak hidup berfoya-foya, kok tidak kawin sebanyak-banyak dan menggundik ganti seminggu sekali, kok tidak membunuh sana membunuh sini, kok tidak mengisap narkoba. Apa susahnya, toh tidak ada Tuhan. Nanti begitu maut datang, usailah segalanya.

Kalau memang tak ada Tuhan, kok tidak hidup ngawur. Kalau memang mengakui Tuhan, kok hidup ngawur. Kita ini seperti binatang, makhluk yang tidak berakal.

Jangan sebut: akal kita tidak sehat. Sebab akal pasti sehat. Yang tidak sehat, bukan akal. Tidak ada akal sehat, yang ada adalah akal, dan akal pasti sehat. Hati bisa sehat bisa tidak sehat, tapi akal pasti sehat. Hati bisa tertutup, tapi akal selalu terbuka. Hati bisa berpenyakit, dan biasanya manusia mempunyai kecenderungan untuk memperparah penyakit hati  manusia. Tapi, akal kebal segala macam penyakit. Bagi Anda yang sudah pernah mendapatkan ilmu dan ketenteraman dari Quran, silakan perhatikan. Kitab itu menyebut hati dalam berbagai kemungkinan di antara sehat dan sakit. Tapi, akal disebut hanya dalam konteks kesesatan hidup.

Akal tidak sama dengan otak. Ayam dan kambing juga punya otak, tapi jangan bilang kambing berakal. Otak itu hanya hardware-machine dari suatu fungsi berpikir. Adapun akal itu suatu potensialitas rohaniah. Kita harus menggalinya sepanjang zaman, karena yang kita dapatkan darinya hanya gejala-gejala. Anda kenal inspirasi, kreativitas, ilham, ide, gagasan? Serpihan-serpihannya melompat dalam kandungan rahasia akal ke mesin memori dan kesadaran kita. Akal itu bagaikan ujung jari Tuhan yang menyentuhkan cintanya kepada kita untuk mentransfer cinta, silaturahmi, janji kasih, dan berbagai anugerah. Kalau dikatakan ada orang kehilangan akal, artinya ia mengalami keterputusan kontak dengan hidayah Tuhan. Pikirannya buntu dan otaknya terbengkalai. Jadi, otak bisa tidak sehat, cara berpikir bisa khilaf dan terpeleset, tapi akal selalu benar dan sehat. Yang tak sehat biasanya adalah metoda dan mekanisme berpikir.

Sudah jelas-jelas bikin sakit perut, tetap terus dimakan: itulah politik Indonesia. Sudah ratusan kali bikin bingung dan susah, tetap terus dijunjung-junjung: itulah bangsa Indonesia. Sudah dirasakan pahit dan pahit dan pahit, tetap saja digelari gula: itulah kepribadian Indonesia. Sudah terang-terangan menyusahkan rakyat, tetap saja diidolakan: itulah otak Indonesia. Layang-layang diperebutkan dan kertas cek diinjak-injak: itulah mata pandang Indonesia. Emas disepelekan, tinja diembus-embus: itulah hidung Indonesia. Terus-menerus salah pilih, tidak mau mengakui bahwa ia salah pilih, tidak mau belajar agar tak lagi salah pilih: itulah ilmu pengetahuan Indonesia.

(Emha Ainun Nadjib)

Back To Top