-->

Kumpulan Makalah, Artikel dan Share Informasi

Islam Pluralisme dan Konteks Ke Indonesiaan



img souce


RELASI ISLAM DAN PAHAM PLURALISME adalah relasi yang sensitif dan karenanya sering menimbulkan ketegangan antar berbagai kelompok dalam masyarakat muslim, khususnya kelompok puritan Islam dan moderat. Ketegangan tersebut pada dasarnya buah dari tiadanya kesamaan persepsi terhadap permasalahan karena kesenjangan wawasan pengetahuan dan keagamaan ataupun memang disebabkan sikap mental moral keagamaan yang ekslusif.

Pluralism berasal dari bahasa Inggris pluralism. Kata ini dalam konteks ilmu sosial dimaknai sebagai "suatu kerangkan interaksi yang mana setiap kelompok menampilkan rasa hormat dan toleran antara satu dengan yang lain, coexist dan interaksi tanpa adanya asimilasi (pembaruan / pembiasaan)".

Sementara itu Alwi Shihab merinci konsep pluralisme menjadi beberapa unsur inti, yakni ;

1. Pluralisme tidak semata menunjuk pada realitas kemajemukan, namun yang dimaksud adalah leterlibatan aktif terhadap kenyataan kemajemukan.

2. Pluralisme harus dibedakan dengan kosmopolitanisme. Konsep yang terakhir ini menunjuk pada suatu realita dimana aneka ragam agama, ras, dan bangsa hidup berdampingan tanpa adanya interaksi yang bersifat positif dan mutual.

3. Pluralisme tidak dapat disamakan dengan relativisme. Relativisme pada dsarnya menafikan kemajemukan itu sendiri dan cenderung "plin pla" karena merelatifkan hal-hal yang bersifat prinsip absolute.

4. Pluralisme bukanlah sinkretisme. Dalam konteks pluralism agama misalnya, pluralism bukan pencipta agama baru dengan meramu berbagai unsur dari beberapa agama untuk dimasukkan dalam agama baru tersebut.

Berdasarkan pengertian diatas, pluralism sebagai kerangka interaksi sosial merupakan konsep yang maha penting. Kemajemukan merupakan bagian dari sunnatullah, baik itu dari sisi ras, kebangsaan, agama dan pemikiran keagamaan. Pluralisme hendak merawat kemajemukan tersebut dalam rangka menciptakan harmoni kehidupan. Peradaban manusia tidak akan berkembang bahkan hancur tanpa adanya stabilitas dan harmoni. Akan tetapi ketika ide dan paham pluralism disandingkan dengan agama dan paham keagamaan, muncul kontradiksi-kontradiksi yang kadangkala sulit untuk didamaikan. Karena itu, batasan pluralism sebagaimana diungkapkan Alwi Shihab menjadi sangat relevan.

Agama, khusunya lewat kitab sucinya memang mengajarkan pluralism sebagaimana kitab ini hadir ditengah-tengah kemajemukan sosiokultural. Akan tetapi diakui bahwa kitab suci merupakan teks yang terbuka untuk diinterpretasikan yang bisa disesuaikan dengan sikap mental dan moral pembacanya. Karena itu dalam sejarah keagamaan, interaksi antar agama seringkali diwarnai dengan pertumpahan darah, bahkan dalam konteks Islam misalnya, banyak darah telah mengalir antar sesama saudara seagama karena perbedaan afiliasi pemikiran dan sekte keagamaan.

Padahal Islam sebagai agama yang berorientasi pada kemaslahatan kemanusiaan mengajarkan untuk cenderung pada esensi ajaran dan keagamaan, buka terpaku pada formalitas dan simbol-simbol lahiriyah. Diantara esensi ajaran Islam misalnya, sebagaiman dilansir dalam surat al-Hujarat (49) : 13 adalah persatuan kemanusiaan dibalik kemajemukan yang merupakan sunnatullah dan tujuan penciptaan. Akan tetapi persatuan yang diajarkan bukan bermaksud melebur perbedaan, tetapi menghormati perbedaan. Tiap kelompok telah memilih jalan dan tatanan hidup dan yang seharusnya dilakukan adalah berpacu dan berlomba mencapai prestasi kebajikan. Hal ini sesuai dengan yang diungkap dalam surat al-Maidah (5) : 48.

Akan tetapi sayangnya, teks-teks yang menjamin eksistensi keragaman dan interaksi lintas budaya, di tingkat masyarakat seakan tenggelam dan luput dari wacana ulama pra modern ataupun ulama modern, umumnya yang berhaluan puritan. Ada beberapa alasan tentang hal tersebut, antara lain adalah dominasi politik dan superioritas peradaban Islam yang menjadikan pemikir muslim mempunyai rasa percaya diri yang berlebihan. Dan sebaliknya pada era modern ini ada perasaan infeoritas dan defensive terhadap perkembangan ilmu pengetahuan dan tekhnologi yang dimainkan oleh negara - negara barat.

Selain refrensi teks, sejarah peradaban Islam juga menyediakan refrensi tentang tauladan, toleransi dan harmoni dalam masyarakat multikultural. Pada era Nabi SAW misalnya, Piagam Madinah sering kali dijadikan contoh konkrit akomodasi nabi terhadap keagamaan dan sosial. Dalam piagam tersebut ditetapkan bahwa semua golongan, termasuk kelompok Yahudi dan Nasrani, adalah satu bangsa (ummah) dengan kelompok Muslim. Mereka mempunyai hak dan kewajiban yang sama dan mereka disatukan dengan cita-cita bersama, membangun peradaban kemanusiaan.

Contoh lain yang juga sering disebut adalah sejarah peradaban Spanyol. Negara ini pernah berjaya dalam waktu yang lama, 500 tahun. Pada rentang waktu ini, kaum Muslim dan penganut agama Yahudi dan Kristen dapat diibaratkan "satu tempat tidur". Mereka hidup rukun dan bersama-sama menyertai peradaban yang gemilang.

Karena itu, baik dari sisi teks atau sejarah, Islam memberikan restu terhadap pluralitas dan keragaman. Keragaman dan kemajemukan merupakan esensi kehidupan dan seharusnya dikelola secara positif untuk kemaslahatan bersama. Teks atau sejarah Islam secara lahiriyah tidak mendukung esensi ini seharusnya diintrepretasikan dengan melibatkan kondisi sosio-historis dan pesan moral Islam. Dan inilah yang menurut Abou El Fadl luput dari perhatian kelompok puritan Islam.

Selain pemahaman yang adil terhadap teks dan sejarah, untuk menggapai cita toleransi dan penghormatan terhadap pluralitas, para ahli biasanya merekomendasikan dialog, baik itu lintas budaya, agama, kebangsaan dan sebagaianya. Dialog tersebut dimaksudkan sebagai media untuk mencari titik temu dan menghargai perbedaan pada kelompok yang lain.

Masyarakat Indonesia adalah masyarakay yang majemuk. Ini sangat disadari oleh pendiri bangsa ini. Karena sejak awal mereka menyepakati Bnineka Tunggal Ika sebagai moto bangsa ini dan Pancasila sebagai dasar negara yang mengayomi segenap warga negara tanpa memandang latar belakang agama, budaya, ras, bahasa dan lainnya. Adam Malik, mantan wakil presiden Indonesia, melihat Pancasila memiliki persamaan spirit dengan dokumen politik yang diprakarsai oleh Nabi Saw di Madinah, spirit toleransi dan plurasme. Umat Islam, walau dalam jumlah mayorits, pada era berdirinya negara ini berbesar hati memilih Negara Demokrasi dan menghindari Negara Teokrasi karena kesadaran kemajemukan.

Akan tetapi ditengah hingar bingar iklam demokrasi dan kebebasan berekspresi dan hadirnya semangat dan gerakan keagamaan yang bersifat puritan, cita pendiri bangsa ini dan fakta kemajemukan bangsa terabaikan. Tensi hubungan antar kelompok keagamaan dalam internal agama Islam dan juga dengan agama lain sering kali memanas dan bahkan berakhir dengan kekerasan. Muncul klaim-klaim kebenaran dan penyesatan antara satu kelompok dengan yang lain. Keragaman yang merupakan sunnatullah dan realitas obyektif hendak disingkirkan.

Karena itu relevan pernyataan ketua PBNU agar umat Islam berhati-hati terhadap perkembangan gerakan Transnasional di Indonesia. Karena menurutnya gerakan ini berpotensi untuk menhancurkan ideologi negara Pancasila, UUD 1945, dan bukan tidak mungkin akan mengoyak keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).



*** Kelompok Puritan adalah mereka yang secara konsisten dan sistematis menganut absolutisme, berfikir dikotomis, dan idealistik. Mereka tidak kenal kompromi, cenderung puris dalam artian ttidak toleran terhadap berbagai sudut pandang dan berkeyakinan realitas pluralistik merupakan kontaminasi terhadap autentisitas.



Labels: Hikmah, Wawasan

Thanks for reading Islam Pluralisme dan Konteks Ke Indonesiaan. Please share...!

Back To Top