BAB II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian
Hukum Pidana dan Jarimah
Pengertian pidana itu adalah bagian dari
pada keseluruhan hukum yang berlaku disuatu negara, yang mengadakan peraturan
untuk[1]:
1.
Menentukan
perbuatan-perbuatan mana yang tidak bolah dilakukan, yang dilarang, dengan
disertai ancaman atau sangsi yang berupa pidana tertentu bagi barang siapa
melanggar larangan tersebut.
2.
Menentukan
kapan dan dalam hal-hal apa kepada mereka yang telah melanggar larangan-larangan
itu dapat dikenakan atau dijatuhi pidana sebagaimana yang telah diancamkan.
3.
Menentukan
dengan cara bagaimana pengenaan pidana itu dapat dilaksanakan apabila ada orang
yang telah disangka melanggar larangan tersebut.
Sedangkan jarimah adalah larangan-larangan syara’ yang diancam oleh
Allah SWT dengan hukuman Had atau Takzir.
Dalam pengertian ini larangan-larangan syara’ adalah segala sesuatu yang
harus ditinggalkan, dihidari oleh umat manusia, apabila dilakukan maka akan
mendapatkan had atau takzir. Dalam kata lain jarimah adalah segala sesuatu yang
harus ditinggalkan menurut syara’.
Pengertian jarimah hampir sama dengan hukum positif atau tindak pidana
di Indonesia. Para fuqaha memakai kata jinayah dalam jarimah, yakni maksudnya
adalah hasil perbuatan seseorang, yang dibatasi oleh perbuatan yang dilarang
oleh syara’, baik itu perbuatan yang merugikan jiwa atau harta benda ataupun
yang lainnya. Dalam konsep yang sama dalam jarimah dan pidana, yakni
apabiladalam hukum pidana terdapat azas nullum delictum nulla poena sine
praevia lege yang artinya tidak ada delik, tidak ada pidana sebelum ada
peraturan terlebih dahulu. Dalam hukum Islam pun juga hampir sama, akan tetapi
para ulama’ kontemporer selalu memberikan ijtihad mengenai dasar hukum yang baru
muncul di setiap tahun perubahannya, tentang berbagai macam permasalahan yang
belum ada landasan hukum dalam Alqur’an dan as Sunah.
B.
Darul
Islam dan Darul Harb
Negeri Islam (Darul Islam),
yang dimaksud dengan negeri Islam adalah negar-negara yang sebagian
besar penduduk beragama Islam, Pemimpin Negara Seorang Muslim, dan juga
melaksanakan konsep Syariah Islam dalam sistem pemerintahan. Penduduk Negri
Islam dibagi menjadi dua:
1.
Pemeluk-pemeluk
agama Islam yaitu semua orang yang percaya kepada agama Islam.
2.
Orang-orang
zimmi, yaitu mereka yang tidak memeluk agama Islam , tetapi tunduk
kepada Hukum-Hukum Islam dan menetap dinegeri Islam, tanpa memandang
kepercayaan agama masing-masing. Yaitu orang yang memeluk agama Masehi, Majusi
(Zorodastra), dan sebagainya.
Negeri Bukan Islam, ialah negeri-negeri yang tidak termasuk dalam
kekuasaan kaum muslimin, atau negeri-negeri dimana hukum-hukum Islam tidak
tampak, baik dalam satu pemerintahan atau lebih, baik penduduknya yang tetap
terdiri dari kaum muslimin atau bukan. Penduduknya dibagi menjadi dua, yakni
orang-orang muslim dan orang harbi. Orang muslim adalah orang yang
beragama Islam, sedangkan orang harbi adalah penduduk negeri bukan
Islam, yang tidak beragama Islam.
C.
Teori-Teori
Tentang Lingkunagn Berlakunya Aturan-Aturan Pidana Islam
Pada dasarnya Syariat Islam berlaku
atas jarimah-jarimah yang diperbuat didalam negeri Islam, tanpa memandang siapa
pembuatnya, dan berlaku pula atas jarimah-jarimah yang diperbuat dinegeri bukan
Islam oleh penduduk negeri Islam. Yang
memang pada dasarnya prinsip Syariat Islam, ini bersifat universal, atau
menyeluruh untuk umat manusia dunia, akan tetapi untuk praktek nyatanya, hanya
memang prinsip Syariah ini tidak memungkinkan terlaksana kecuali negara Islam
sendiri, hal ini memang dikarenakan keadaan yang tidak memungkinkan dari
penduduk tetap dilingkungan negara –negara tersebut. cara berlakunya syariat
Islam yang sesuai dengan asas nasionalitas dan teritorialitas para fuqaha
memperinci ada tiga teori:
1.
Teori
Pertama
Teori ini dikemukakan oleh Imam Abu Hanifah, ia mengatakan bahwa
syariat Islam diterapkan atas Jarimah-jarimah yang dibuat dinegara Islam,
bagaimanapun jarimahnya, siapa pembuatnya baik untuk orang muslim atau orang
zimmi. Bagi orang muslim hukum yang berlaku baginya adalah syariat Islam.
Sedangkan orang zimmi dikarenakan ia tunduk kepada pemerintahan Islam waktu penerima status kewarganegaraan maka
syariat Islam juga berlaku padanya. Sedangkan untuk orang musta’min atau orang
yang bertempat tinggal sementara dinegara Islam maka jarimah yang diberikan
tidak semuanya, karena orang musta’minn tidak bertempat tinggal selamanya,
dinegara yang dikunjunginya, hanya mereka singgah kesana karena kepentingan
mereka saja, seperti berdagang, berlibur, dan sebagainya. Menurut Abu Hanifah
pemberian keamanan tidak harus tunduk semua kepada hukum-hukum yang berlaku,
yakni hukum Islam dan mereka harus berbuat baik serta tidak boleh menggangu
penduduk negeri Islam, dan apabila melakukan jarimah, yang mengganggu hak-hak
mereka maka diberi hukuman.
Untuk jarimah yang berlaku dinegeri yang bukan Islam, yakni menurut
Abu Hanifah dasar penerapan Syariat Islam bukan ketundukan mereka terhadap hukum-hukum Islam dimanapun mereka
berada, melainkan kewajiban imam utnuk
menerapkannya. Sedangkan ia tidak mempunyai kekuasaan utnuk menerapkan
hukum-hukum Islam didaerah-daerah dimana jarimah itu terjadi, dan oleh karena
itu apabila tidak kekuasaan maka tidak wajib ada hukuman. Dengan kata lain
untuk mengadili suatu jarimah terlebih dahulu harus ada kekuasaan atas tempat
terjadinya sedangkan negeri Islam tidak memiliki kekuasaan tempat tersebut.
Untuk kepindahan pembuat jarimah, apabila orang zimmi atau orang
muslim melakukan jarimah di negeri Islam, lalu pergi ke negeri bukan Islam maka
ia masih berhak sepenuhnya atas hukuman, begitu pula dengan orang musta’min
yang membuat jarimah dinegeri Islam, dan kembali ke negerinya non Islam, maka
hukumannya masih berhak padanya. Tetapi apabila orang muslim atau Zimmi
merampas atau merugikan orang muslim atau zimmi dinegara non Islam, maka tidak
dikenakan hukuman tetapi dapat dituntut ganti rugi. Hal ini dikarenakan tidak
adanya kekuasaan dan waktu atas jarimah
tersebut. dan adanya tuntutan ganti rugi, dikarenakan adanya orang yang
berpekara dalam waktu gugatan dan pemeriksaan.
Sehingga disimpulkan bahwa jarimah ini yang diperbuat dinegeri
bukan islam yang dilakukan penduduk Islam, maka dengan merugikan orang bukan
Islam, maka tidak dapat dihukum., karena tidak adanya kekuasaan atas tempat
terjadinya jarimah tersebut.pengadilan Islam juga tidak berhak untukmemeriksa
segi keperdataan yang timbul dari jarimah tersebut.
2.
Teori
kedua
Teori yang dikemukakan oleh Imam Abu Yusuf, mengatakan bahwa
Syariat Islam itu berlaku untuk setiap orang yang berada di negri Islam, baik
penduduk yang menetap ( orang-orang muslim dan zimmi)maupun yang bukan
(bertempat tinggal sementara/musta’min). Tentang orang musta’min melaksanakan
syariat Islam dalam negara Islam seperti halnya penduduk menetap karena janji
yang diterima saat ia masuk atau tinggal sementara dinegara Islam, maka ia
berhak mentaati semua hukum yang berlaku dinegara Islam. Pada dasarnya jarimah
yang diperbuat dinegri non Islam menurut Abu Yusuf sama halnya dengan pendapat
Abu Hanifah, yakni tidak dituntut meskipun pembuat jarimahnya adalah penduduk
umat Islam. Akan tetapi dalam dua hal terdapat perbedaan antar keduanya.
1.
Tentang
orang muslimdan orang zimmi yang mengadakan perjanjian riba dengan penduduk
negri non islam, baik dengan orang Islam atau Harbi, menurut Abu yusuf,
perbuatan riba dimanapun tempatnya untuk orang Islam itu dilarang, meskipun
tidak adahukumnya di tempat negri non Islam.
2.
Tentang
orang tawanan muslim yang dibunuh oleh orang Muslim atau zimmi yang berada dinegri bukan Islam. Menurut Abu hanifah
terhadap pembunuhan itu tidak dihukum qishas atau diyat karena setelah ditawan
orang tersebut hilang status ismahnya( jaminan keselamatan jiwa dan harta)
sedangkan menurut Abu Yusuf, pembunuhan tersebut dihukum diyat karena dengan
ditawannya ismah tersebut tidak hilang.
3.
Teori
ketiga ini dikemukakan oleh imam Syafi’i,Malik, dan Ahmad, mereka menyatakan
bahwa setiap jarimah yang diperbuat disetiap negeri Islam baik orang muslim,
zimmi, atau Musta’min. Juga syariat islam yangislam yang diterapkan atas setiap
jarimah yang diperbuat oleh muslim ataupun zimmi, dimana pun tempat mereka maka
syariat Islam tetap berlaku, meskipun mereka berada dinegara non islam,
sedangkan untuk musta’min membuat jarimah dinegeri bukan islam maka tidak
dijatuhi hukuman, karena ia tida diwajibkan tunduk pada syariat Islam. kecuali
sejak ia masuk negeri itu. Untuk orang
zimmi yang keluar dari kelompoknya orang zimmi, dalam arti berpindah kenegara
yang non Islam, dan menetap tinggal disana, maka ia sudah tidah dijatuhi hukum
Islam lagi, dan statunya menjadi Musta’min Harbi. Sedangkan orang Islam yang
murtad dan meninggalkan negeri islam, kemudian membuat jarimah dinegeri orang
non Islam , dan masuk lagi kenegeri islam , maka ia tidak dijatuhi hukuman atas
jarimahnya. Meskipunia memeluk islam lagi, sebab murtadnya itu ia menjadi orang
harbi yang berarti waktu melakukan jarimah tidak terikat dengan hukum Islam.
D.
Penerapan
Teori-Teori Tentang Lingkungan Berlakunya Aturan-Aturan Pidana Islam.
Dari ketiga teori yang telah
dijelaskan sebelumnya, maka dapat disimpukan bahwa penerapan syariat Islam,
hampir tidak berbeda dengan teori teori yang dijelaskan oleh Abu Hanifa, Abu
Yusuf, dan juga menurut Imam Syafi’i, Malik serta Ahmad dengan teori hukum
positif sampai sekarang ini. Pertama, penerapan aturan undang-undang
atas warga negara sesuatu negara semata-mata baik didalam maupun diluar negeri.
Teori ini banyak diikuti pada abad pertengahan, dan mirip sekali dengan teori
yang dikemukakan oleh Abu Hanifahkhusus yang mengenai penerapan undang-undang
atas warga negara semata-mata, akan tetapi ada perbedaan mengenai warga negara
diluar negeri, menurut Abu hanifa apabila melakukan jarimah diluar negri non
Islam, tidak mendapatkan hukuman, tetapi menurut hukum positif, tetap dikenakan.
Dalam penerapan teori Abu Hanifa ini, misalnya di Arab Saudi , maka setiap
orang yang membuat jarimah Arab harus dijatuhi hukuman , baik ia orang muslim
ataupun zimmi, atau orang Arab itu sendiri, orang Yaman, orang Irak, orang
Mesir dan sebagainya, karena orang yang berada di negara Islam, tidak dianggap
sebagai orang asing, juga karena semua negara Islam dianggap sebagai suatu
negeri yang dikuasai oleh syariat Islam. Dan apabila mereka bukan dengan
syariat Islam , maka pemeriksaan diulang kembali berdasarkan syariat Islam,
sebab semua negara Islam merupakan satu kesatuan, meskipun beda pemerintahan,
dan juga agama Islam mengharuskan kepada setiap negara Islam untuk menegakkan
hukum-hukumnya berdasarkan syariat islam.
Kedua,penerapan aturan perundang-undangan atas semua perbuatan yang
terjadi di daerah sesuatu negara, baik itu warga negara, ataupun orang-orang
asing, sedang untuk jarimah-jarimah yang terjadi diluar negri undang-undang itu
tidak berlaku. Teori tersebut banyak merupakan teori yang berkuasa sampai abad
ke 19 Masehi, dan mirip sekali dengan teori Imam Abu Yusuf. Dalam penerapan
teori Imam Abu Yusuf ini sama halnya dalam orang muslim dan zimmi dalam keadaan
apapun, tetapi yang membedakan hanya posisi musta’min sebagai pelaku jarimah,
apabila ia berada dinegara Islam maka dalam melakukan jarimahnya maka ia tetap
diadili dengan hukum Islam yang berlaku.
Ketiga, penerapan aturan undang-undang atas semua orang yang berada dalam
daerah sesuatu negara, baik warga negara atau orang asing, apabila mereka
memperbuat suatu perbuatan pidana dalam batas-batas daerah negara itu, dan juga
atas semua pidana yang dikerjakan, diluar batas-batas daerah itu. Teori ini
merupakan teori yang berkuasa pada hukum-hukum positif masa sekarang, dan
dipakai juga dalam sistem hukum pidana indonesia dan RPA. Menurut teori Imam
malik , syafi’i dan Ahmad dari semua gmabaran jarimah sebelumnya setiap jarimah
ada hukumannya, selain itu setiap penduduk misalnya Arab, yang telah melakukan
jarimah hudud, takzir atau yang lainnya
yang dilakukan dinegeri bukan Islam, maka harus diadili di Arab misalnya,
karena negara Islam memiliki hak yang
sama untuk mengadili karena menjadi kewajiban setiap pemerintahan Islam untuk
menegakkan hukuman hudud. Akan tetapi
apabila perbuatan yang terjadi dinegeri bukan Islam atau dinegara Islam lainnya
termasuk jarimah takzir dimana pendirian sesuatu negeri Islam bisa berbeda
dengan yang lainnya tenatng dilarang atau tidaknya maka ada beberapa
kemungkinan:
1. Kalau semua negri Islam melarangnya, maka pembuat tersebut bisa
diadili di negeri Islam mana saja.
2. Kalau negeri Islam dimana pembuat menjadi warga negaranya tidak
melarang sesuatu perbuatan, sedang negeri islam dimana pembuat berada tidak
melarang perbuatan yang sama, maka pembuat tidak boleh diadili, karena
perbuatan tersebut bagi dia tidak dilarang.
3. Kalau negeri Islam, dimana pembuat menjadi warga negara melarang
perbuatn tersebut sedang negara Islam dimana ia berada karena melarikan diri
umpamanya tidak melarangnya, maka pembuat tidak juga boleh diadili ditempat ia
berada, karena perbuatan tersebut menurut ubdang-undang negeri terakhir ini
tidak dilarang, akan tetapi pembuat bisa diserahkan kepada negeri kebangsaannya
apabila ia diminta untuk diserahkan. Karena syariat islam semata-mata yang
menjadi pedoman, maka untuk dijatuhkannya sesuatu hukuman atas sesuatu
perbuatan, tidak diperlukan dilarangnya perbuatan itu dinegeri-negeri bukan
Islam. [2]
Dalam pengertian tersebut dapat disimpulkan baik kita orang muslim
ataupun dari kalangan zimmi maka pemberlakuan hukum berdasarkan syariat Islam
tetap dikenakan kepada kita, meskipun kita berada dimelarikan ke negeri Islam
lainnya, kita masih tetap bisa diadili karena negara Islama berpegang teguh
dalam bendera satu yakni Syariat Islam. Dan dianggap sebagai negara kesatuan
negara Islam, serta masing-masing pemerintahan negara Islam dan menganggap
dirinya sebagai wakil pemerintahan Islam yang melaksanakan syariat Islam
.
BAB III
PENUTUP
KESIMPULAN.
jarimah adalah larangan-larangan syara’ yang diancam oleh Allah SWT
dengan hukuman Had atau Takzir. Dalam
pengertian ini larangan-larangan syara’ adalah segala sesuatu yang harus
ditinggalkan, dihidari oleh umat manusia, apabila dilakukan maka akan
mendapatkan had atau takzir.
Negeri Islam (Darul Islam),
yang dimaksud dengan negeri Islam adalah negar-negara yang sebagian
besar penduduk beragama Islam, Pemimpin Negara Seorang Muslim, dan juga melaksanakan
konsep Syariah Islam dalam sistem pemerintahan
Negeri Bukan Islam, ialah negeri-negeri yang tidak termasuk dalam
kekuasaan kaum muslimin, atau negeri-negeri dimana hukum-hukum Islam tidak
tampak, baik dalam satu pemerintahan atau lebih, baik penduduknya yang tetap
terdiri dari kaum muslimin atau bukan.
Teori pertama ini dikemukakan oleh Imam Abu Hanifah, bahwa syariat
Islam diterapkan atas Jarimah-jarimah yang dibuat dinegara Islam, bagaimanapun
jarimahnya, siapa pembuatnya baik untuk orang muslim atau orang zimmi. Bagi
orang muslim hukum yang berlaku baginya adalah syariat Islam.
Teori kedua dikemukakan oleh Imam Abu Yusuf, mengatakan bahwa
Syariat Islam itu berlaku untuk setiap orang yang berada di negri Islam, baik
penduduk yang menetap ( orang-orang muslim dan zimmi)maupun yang bukan
(bertempat tinggal sementara/musta’min).
Teori ketiga ini dikemukakan oleh imam Syafi’i,Malik, dan Ahmad,
mereka menyatakan bahwa setiap jarimah yang diperbuat disetiap negeri Islam
baik orang muslim, zimmi, atau Musta’min. Juga syariat islam yangislam yang
diterapkan atas setiap jarimah yang diperbuat oleh muslim ataupun zimmi, dimana
pun tempat mereka maka syariat Islam tetap berlaku, meskipun mereka berada
dinegara non islam, sedangkan untuk musta’min membuat jarimah dinegeri bukan
islam maka tidak dijatuhi hukuman, karena ia tida diwajibkan tunduk pada
syariat Islam. kecuali sejak ia masuk negeri itu.
DAFTAR PUSTAKA
Hanafi.Ahmad(2005),Asaz-Asaz
Hukum Pidana Islam,Yogyakarta :Bulan Bintang
Moeljanto(1983),Asaz-Asaz
Hukum Pidana , Jakarta:Bina Aksara
Labels:
Makalah
Thanks for reading Teori Berlakunya Pidana Islam dan Lingkungan Berlakunya Pidana Islam. Please share...!