-->

Kumpulan Makalah, Artikel dan Share Informasi

Sejarah Hukum di Indonesia

BAB I
PENDAHULUAN
A.      LATAR BELAKANG
Dalam setiap negara selalu memiliki hukum, untuk dapat selalu mengatur dan juga melindungi rakyat. Agar dapat mencapai kesejahteraan untuk semua, sehingga menjadi kesamaan hak untuk semua dalam suatu negara. Dalam Hukum di Indonesia yang merupakan campuran dari sistem hukum hukum Eropa, baik itu hukum dalam bentuk Agama dan hukum Adat. Sebagian besar sistem yang dianut, baik perdata maupun pidana, berbasis pada hukum Eropa kontinental, khususnya dari Belanda karena aspek sejarah masa lalu Indonesia yang merupakan wilayah jajahan dengan sebutan Hindia Belanda (Nederlandsch-Indie). Hukum Agama, karena sebagian besar masyarakat Indonesia menganut Islam, maka dominasi hukum atau Syari'at Islam lebih banyak terutama di bidang perkawinan, kekeluargaan dan warisan. Selain itu, di Indonesia juga berlaku sistem hukum Adat yang diserap dalam perundang-undangan atau yurisprudensi, yang merupakan penerusan dari aturan-aturan setempat dari masyarakat dan budaya-budaya yang ada di wilayah Nusantara.
Sejalan dengan alur sejarah hukum Hindia Belanda yang banyak dipengaruhi oleh perkembangan yang terjadi di masa VOC, Daendels, dan Raffles, berbagai perbaikan penting diperkenalkan sesudah tahun 1848. Sejenis konstitusi, kitab-kitab hukum baru, reorganisasi peradilan – sebagai akibat gelombang liberalisme yang berasal dari Belanda.

B.      RUMUSAN MASALAH
a.      Periode kolonialisme
b.      Periode Revolusi fisik hingga revolusi Demokratik liberal
c.       Periode periode terpimpin hingga orde baru.


BAB II
PEMBAHASAN

A.     Periode Kolonialisme
Baik di Indonesia (menurut hukum adat) maupun dinegeri belanda dahulu, tidak dikenal suatu pembedaan suatu hukum. Baik hukum yang mengatur antar negara, antar warga negara, dan juga hukum yang mengatur anat perorangan. Dalam masa kolonialisme indonesia terbagi menjadi tiga kelompok penduduk:
a)      Penduduk Indonesia, yaitu penduduk tradisional Indonesia, tanpa ada campuran darah dari penduduk asing. Dalam penduduk asli dalam perilaku hukum yang mengatur dalam kehidupan mereka selalu sama dan hukum adat mereka, sehingga kedudukan hukum serta adat istiadat mereka sama.
b)      Penduduk Timur Asing
Dalam penduduk Timur Asing di Indonesia dapat di bedakan menjadi dua yakni; Tionghoa dan juga Timur asing lainnya (seperti orang Arab dan India), untuk orang-orang Tionghoa ini hukum yang mengatur kehidupan mereka serupa dengan hukum di Eropa, sedangkan begitu pula dengan penduduk Timur Asing lainnya, hanya saja juga tercampur dengan adat asli mereka masing-masing
c)      Penduduk Eropa
Untuk kelompok penduduk Eropa ini dapat dibagi menjadi 4 bagian, yakni; orang Eropa, yang artinya Orang Indonesia Keturunan Eropa, baik itu belanda. Lalu orang Tionghoa, artinya orang Indonesia keturunan Tionghoa, orang Timur lainnya, yakni orang Indonesia keturunan Arab, India, dan yang terakhir orang Indonesia Pribumi.
Sedangkan menurut Soepomo menulisnya: “alam pikiran tradisional Indonesia (alam pikiran tradisional timur pada umumnya) bersifat kosmis , meliputi segala-galanya sebagai kesatuan (totaliter)”. [1] Umat manusia menurut aliran pemikiran kosmis itu adalah sebagaian dari alam, tidak ada pemisah-pemisahan dari berbagai macam lapangan hidup, tidak ada pembatasan antara dunia lahir dan dunia ghaib dan tidak ada pemisahan antara manusia dan makhluk-makhluk yang lain. Segala yang bercampur-baur dan bersangkut paut, segala sesuatu pengaruh mempengaruhi. Dunia manusia adalah pertalian dengan segala yang hidup di dalam alam. Aliran pikiran kosmis ini merupaka latar belakang hukum adat pelanggaran. Menurut aliran ini, yang paling utama pentingnya bagi masyarakat ialah adanya perimbangan (“evenwicht”, “harmonie”). Antara dunia lahir dan dunia gaib adalah antara golongan manusia seluruhnya dan orang seseorang, antar persekutuan dan teman semasyarakat. Segala perbuatan yang mengganggu perimbangan tersebut merupakan pelanggaran hukum dan petugas hukum wajib mengambil tindakan-tindakan yang perlu guna memulihkan kembali pertimbangan hukum.[2]
Periode kolonialisme terbagi ke dalam tiga tahapan besar, yakni: periode VOC, Liberal Belanda dan Politik etis hingga penjajahan Jepang.
a.                Periode VOC
Dalam sejarah hikum pidana tertulis di Indonesia, dapat dimulai sejak kedatangan bangsa Belanda di sini, di zaman VOC. Pada zaman itu hukum pidana yang berlaku bagi orang-orang Belanda di tempat pusat dagang VOC, ialah hukum kapal yang terdiri dari hukum Belanda kuno, ditambah dengan asas-asas hukum Romawi. Karena hukum kapal di tidak dapat menyelesaikan persoalan, maka dibuatlah peraturan-peraturan lebih lanjut oleh penguasa dipusat dagang yang dikeluarkan dalam bentuk plaktat-plaktat yang kemudian dihimpun menjadi “statuta Betawi”[3]. Yang dihimpun untuk wilayah Barat, yakni Sungai Cisedane, utuara, pulau-pulau Teluk Betawi, Timur, Sungai citarum, dan selatan Samudera Hindia.
Dalam usaha menengok masa lampau kita terbawa dalam sebuah peristiwa kepada perubahan penting perundang-undangan di negeri Belanda pada tahun 1838, yang  pada waktu itu mereka juga baru saja terlepas dari penjajahan Perancis. Pada waktu itu pula golongan legis yaitu yang memandang bahwa semua peraturan hukum seharusnya dalam bentuk Undang-undang sangat kuat. Berlaku ketentuan pada waktu itu bahwa kelaaziman-kelaziman bukan merupakan hukum, kecuali dimana kelaziman itu ada dan situnjuk dalam undang-undang[4].
Sebenarnya sebelum itu VOC pada tahun 1947 telah mengatur organisasi peradilan pribumi dipedalaman, yang langsung memikirkan tentang “ Javasche Wetten” (undang-undang jawa). Hal itu diteruskan oleh deendels dan Raffles utnuk menyelami hukum adat disetiap pengetahuannya.
Pada masa pendudukan VOC, sistem hukum yang diterapkan bertujuan untuk:
1) Kepentingan ekspolitasi ekonomi demi mengatasi krisis ekonomi di negeri Belanda;
2) Pendisiplinan rakyat pribumi dengan cara yang otoriter; dan
3) Perlindungan terhadap pegawai VOC, sanak-kerabatnya, dan para pendatang Eropa.
Hukum Belanda diberlakukan terhadap orang-orang Belanda atau Eropa. Sedangkan bagi pribumi, yang berlaku adalah hukum-hukum yang dibentuk oleh tiap-tiap komunitas secara mandiri. Tata pemerintahan dan politik pada zaman itu telah meminggirkan hak-hak dasar rakyat di nusantara dan menjadikan penderitaan yang mendalam terhadap rakyat pribumi di masa itu.
Bagi beberapa daerah para penguasa VOC mencoba melakukan kodifikasi dari hukum adat utnuk mengadili mereka yang tunduk dengan hukum adat[5]:
a.      kodifikasi hukum adat Tionghoa oleh pusat VOC , yang berlaku untuk orang-orang Tionghoa di Betawi dan sekitarnya.
b.      Kodifikasi pepakem Cirebon (1757) oleh kuasa VOC di Cirebon , yang dimaksud untuk penduduk Bumiputera di Cirebon dan sekitarnya
c.       Kodifikasi kitab Hukum Mogharraer (1750, olehpenguasa Voc di Semarang, berlaku untuk penduduk Bumiputera di Semarang dan sekitarnya.
d.      Kodifikasi hukum Bumiputera Boni dan Goa, oleh penguasa VOC di Makassar yang berlaku untuk penduduk Bumiputera di Makassar dan sekitarnya.
b.         Periode liberal Belanda
Pada 1854 di Hindia Belanda diterbitkan Regeringsreglement (selanjutnya disebut RR 1854) atau Peraturan tentang Tata Pemerintahan (di Hindia Belanda) yang tujuan utamanya melindungi kepentingan kepentingan usaha-usaha swasta di negeri jajahan dan untuk pertama kalinya mengatur perlindungan hukum terhadap kaum pribumi dari kesewenang-wenangan pemerintahan jajahan. Hal ini dapat ditemukan dalam (Regeringsreglement) RR 1854 yang mengatur tentang pembatasan terhadap eksekutif (terutama Residen) dan kepolisian, dan jaminan terhadap proses peradilan yang bebas.
Otokratisme administrasi kolonial masih tetap berlangsung pada periode ini, walaupun tidak lagi sebengis sebelumnya. Namun, pembaruan hukum yang dilandasi oleh politik liberalisasi ekonomi ini ternyata tidak meningkatkan kesejahteraan pribumi, karena eksploitasi masih terus terjadi, hanya subyek eksploitasinya saja yang berganti, dari eksploitasi oleh negara menjadi eksploitasi oleh modal swasta.
Mulai tahun 1886 negeri Belanda membuat KUHPidana sendiri yang disebut “Nederlandsch wetboek van Strafrecht”, berhubungan dengan itu maka bagi Indonesia dibuatkan pula perundang-undangan hukum pidana yang baru didasarkan asas konkordansi, ialah bahwa asas bahwa perundang-undangan di Indonesia harus seberapa boleh sesuai dengan hukum pidana di Belanda. dalam golongan-golongan penduduk –penduduk Indonesia dibuat undang-undang hukum pidana sendiri-sendiri sebagai berikut:
a.      “wetboek van strafrecht voor Nederlandsh Indie” untuk golongan penduduk Eropa ditetapkan dengan “Koninklijk Besluit” 10 Februari 1866, yang hanya berisis kejahatan-kejahatan saja.
b.      “wetboek van strafrecht voor Nederlandsh Indie” untuk golongan Penduduk Indonesia dan Timur Asing ditetapkan dengan “Ordonnantie” 6 Mei 1872, yang berisi kejahatan-kejahatan saja
c.       “Algemeene  Politie Strafreglemen”t untuk golongan penduduk Indonesia dan Timur Asing, ditetapkan dengan “Ordonnantie” 15 Juni 1872 yang berisi pelanggaran-pelanggaran saja.
d.      “Algemeene  Politie Strafreglemen”t untuk golongan penduduk Eropah, ditetapkan dengan “Ordonnantie” 15 Juni 1872 yang berisi pelanggaran-pelanggaran saja.
Dari keempat buku ini pada tanggal 1 Januari 1918 diganti dengan satu Kitab Undang-undnag Hukum pidana yaitu wetboek van strafrecht voor Nederlandsh yang baru dikeluarkan dengan “Koninklijk Besluit” tanggal 15 Oktober 1915 no 33, dalam KUHP ini diletakkan asas unifikasi yaitu satu KUHP berlaku untuk semua golongan penduduk.

c.         Periode Politik Etis Sampai Kolonialisme Jepang
pada zaman pemerintahan tentara Jepang dalam pasal 3 undang-undang pemerintah Jepang no. 1 ditetapkan bahwa semua undang-undang dan peraturan dihindia belanda berlaku terus, sekedar tidak bertentangan dengan perintah tentara Jepang. wetboek van strafrecht voor Nederlandsh pada waktu itu disebut “Too Indo Keihoo” ditambah dengan undang-undang yang dibuat oleh pemerintah Jepang yang disebut dengan “gunsei Kiijeri”
Kebijakan Politik Etis dikeluarkan pada awal abad 20. Di antara kebijakan-kebijakan awal politik etis yang berkaitan langsung dengan pembaharuan hukum adalah: 
  1. Pendidikan untuk anak-anak pribumi, termasuk pendidikan lanjutan hukum
  2. Pembentukan Volksraad, lembaga perwakilan untuk kaum pribumi
  3. Penataan organisasi pemerintahan, khususnya dari segi efisiensi
  4. Penataan lembaga peradilan, khususnya dalam hal profesionalitas
  5. Pembentukan peraturan perundang-undangan yang berorientasi pada kepastian hukum. 
Hingga runtuhnya kekuasaan kolonial, pembaruan hukum di Hindia Belanda mewariskan: 
  1. Dualisme/pluralisme hukum privat serta dualisme/pluralisme lembaga-lembaga peradilan
  2. Penggolongan rakyat ke dalam tiga golongan; Eropa dan yang disamakan, Timur Asing, Tionghoa dan Non-Tionghoa, dan Pribumi.
Masa pendudukan Jepang pembaharuan hukum tidak banyak terjadi seluruh peraturan perundang-undangan yang tidak bertentangan dengan peraturan militer Jepang, tetap berlaku sembari menghilangkan hak-hak istimewa orang-orang Belanda dan Eropa lainnya. Beberapa perubahan perundang-undangan yang terjadi:
  1. Kitab UU Hukum Perdata, yang semula hanya berlaku untuk golongan Eropa dan yang setara, diberlakukan juga untuk orang-orang Cina
  2. Beberapa peraturan militer disisipkan dalam peraturan perundang-undangan pidana yang berlaku. 
Di bidang peradilan, pembaharuan yang dilakukan adalah:
  1. Penghapusan dualisme/pluralisme tata peradilan
  2. Unifikasi kejaksaan
  3. Penghapusan pembedaan polisi kota dan pedesaan/lapangan
  4. Pembentukan lembaga pendidikan hukum
  5. Pengisian secara massif jabatan-jabatan administrasi pemerintahan dan hukum dengan orang-orang pribumi.
B.       Periode Revolusi Fisik Sampai Demokrasi Liberal
a.         Periode Revolusi Fisik
Pembaruan hukum yang sangat berpengaruh di masa awal ini adalah pembaruan di dalam bidang peradilan, yang bertujuan dekolonisasi[6] dan nasionalisasi[7]:
  1. Meneruskan unifikasi badan-badan peradilan dengan melakukan penyederhanaan
  2. Mengurangi dan membatasi peran badan-badan pengadilan adat dan swapraja, kecuali badan-badan pengadilan agama yang bahkan dikuatkan dengan pendirian Mahkamah Islam Tinggi.
b.         Periode Demokrasi Liberal
UUDS 1950 yang telah mengakui hak asasi manusia. Namun pada masa ini pembaharuan hukum dan tata peradilan tidak banyak terjadi, yang ada adalah dilema untuk mempertahankan hukum dan peradilan adat atau mengkodifikasi dan mengunifikasinya menjadi hukum nasional yang peka terhadap perkembangan ekonomi dan tata hubungan internasional. Kemudian yang berjalan hanyalah unifikasi peradilan dengan menghapuskan seluruh badan-badan dan mekanisme pengadilan atau penyelesaian sengketa di luar pengadilan negara, yang ditetapkan melalui UU No. 9/1950 tentang Mahkamah Agung dan UU Darurat No. 1/1951 tentang Susunan dan Kekuasaan Pengadilan.

C.       Periode Demokrasi Terpimpin Sampai Orde Baru
a.         Periode Demokrasi Terpimpin
ciri-ciri dari awal periode demokrasi ini dimualai dengan adanya kebangkian Nasional. Kebangkitan Nasional adalah Masa dimana Bangkitnya Rasa dan Semangat Persatuan, Kesatuan, dan Nasionalisme serta kesadaran untuk memperjuangkan kemerdekaan Republik Indonesia, yang sebelumnya tidak pernah muncul selama penjajahan Belanda dan Jepang. Masa ini ditandai dengan dua peristiwa penting yaitu berdirinya Boedi Oetomo (20 Mei 1908) dan ikrar Sumpah Pemuda (28 Oktober 1928). Masa ini merupakan salah satu dampak politik etis yang mulai diperjuangkan sejak masa Multatuli[8]. Pelaksanaan demokrasi terpimpin dimulai dengan berlakunya Dekrit Presiden 5 Juli 1959.
Latar Belakang dikeluarkan dekrit Presiden :
Undang-undang Dasar yang menjadi pelaksanaan pemerintahan negara belum berhasil dibuat sedangkan Undang-undang Dasar Sementara (UUDS 1950) dengan sistem pemerintahan demokrasi liberal dianggap tidak sesuai dengan kondisi kehidupan masyarakat Indonesia. Kegagalan konstituante dalam menetapkan undang-undang dasar sehingga membawa Indonesia ke jurang kehancuran sebab Indonesia tidak mempunyai pijakan hukum yang mantap. Situasi politik yang kacau dan semakin buruk, dan Terjadinya sejumlah pemberontakan di dalam negeri yang semakin bertambah gawat bahkan menjurus menuju gerakan sparatisme.Konflik antar partai politik yang mengganggu stabilitas nasional, Banyaknya partai dalam parlemen yang saling berbeda pendapat sementara sulit sekali untuk mempertemukannya. Masing-masing partai politik selalu berusaha untuk menghalalkan segala cara agar tujuan partainya tercapai.Demi menyelamatkan negara maka presiden melakukan tindakan mengeluarkan keputusan Presiden RI No. 75/1959 sebuah dekrit yang selanjutnya dikenal dengan Dekrit Presiden 5 Juli 1959.
 Langkah-langkah pemerintahan Demokrasi Terpimpin yang dianggap sangat berpengaruh dalam dinamika hukum dan peradilan adalah[9]
  1. Menghapuskan doktrin pemisahan kekuasaan dan mendudukan MA dan badan-badan pengadilan di bawah lembaga eksekutif
  2. Mengganti lambang hukum ?dewi keadilan? menjadi ?pohon beringin? yang berarti pengayoman
  3. Memberikan peluang kepada eksekutif untuk melakukan campur tangan secara langsung atas proses peradilan berdasarkan UU No.19/1964 dan UU No.13/1965
  4. Menyatakan bahwa hukum perdata pada masa kolonial tidak berlaku kecuali sebagai rujukan, sehingga hakim mesti mengembangkan putusan-putusan yang lebih situasional dan kontekstual.
b.         Periode Orde Baru

Perkembangan dan dinamika hukum dan tata peradilan di bawah Orde Baru justru diawali oleh penyingkiran hukum dalam proses politik dan pemerintahan. Di bidang perundang-undangan, rezim Orde Baru? membekukan? pelaksanaan UU Pokok Agraria, dan pada saat yang sama membentuk beberapa undang-undang yang memudahkan modal asing berinvestasi di Indonesia; di antaranya adalah UU Penanaman Modal Asing, UU Kehutanan, dan UU Pertambangan. Selain itu, orde baru juga melakukan: 
  1. Penundukan lembaga-lembaga hukum di bawah eksekutif
  2. Pengendalian sistem pendidikan dan penghancuran pemikiran kritis, termasuk dalam pemikiran hukum; Singkatnya, pada masa orde baru tak ada perkembangan yang baik dalam hukum Nasional.
D.       Periode Pasca Orde Baru (1998 – Sekarang)
Sejak pucuk eksekutif di pegang Presiden Habibie hingga sekarang, sudah terjadi empat kali amandemen UUD RI. Di arah perundang-undangan dan kelembagaan negara, beberapa pembaruan formal yang mengemuka adalah:
  1. Pembaruan sistem politik dan ketetanegaraan
  2. Pembaruan sistem hukum dan hak asasi manusia
  3. Pembaruan sistem ekonomi.
Penyakit lama orde baru, yaitu KKN (korupsi, kolusi dan nepotisme) masih kokoh mengakar pada masa pasca orde baru, bahkan kian luas jangkauannya. Selain itu, kemampuan perangkat hukum pun dinilai belum memadai untuk dapat menjerat para pelaku semacam itu. Aparat penegak hukum seperti polisi, jaksa, dan hakim (kini ditambah advokat) dilihat masih belum mampu mengartikulasikan tuntutan permbaruan hukum, hal ini dapat dilihat dari ketidakmampuan Kejaksaan Agung meneruskan proses peradilan mantan Presiden Soeharto, peradilan pelanggaran HAM, serta peradilan para konglomerat hitam. Sisi baiknya, pemberdayaan rakyat untuk menuntut hak-haknya dan mengembangkan sumber daya hukumnya secara mandiri, semakin gencar dan luas dilaksanakan. Walaupun begitu, pembaruan hukum tetap terasa lambat dan masih tak tentu arahnya. Sedangkan hukum di Eropa yang Continental merupakan suatu tatanan hukum yang merupakan perpaduan antara hukum Germania dan hukum Romawi. Hukum tidak hanya berubah dalam ruang dan letak melainkan juga dalam lintasan kala dan waktu. Secara umum sejarah hukum di Indonesia dibagi menjadi beberapa periode.
1.      Masa kerajaan nusantara
Pada masa kerajaan nusantara banyak kerajaan yang sudah mempunyai perangkat aturan hukum. Aturan tersebut tertuang dalam keputusan para raja ataupun dengan kitab hukum yang dibuat oleh para ahli hukum. Tidak dipungkiri lagi bahwa adagium ubi societas ibi ius sangatlah tepat. Karena dimanapun manusia hidup, selama terdapat komunitas dan kelompok maka akan ada hukum. Hukum pidana yang berlaku dahulu kala berbeda dengan hukum pidana modern. Hukum pada zaman dahulu kala belum memegang teguh prinsip kodifikasi. Aturan hukum lahir melalui proses interaksi dalam masyarakat tanpa ada campur tangan kerajaan. Hukum pidana adat berkembang sangat pesat dalam masyarakat.

Hukum pidana yang berlaku saat itu belum mengenal unifikasi. Di setiap daerah berlaku aturan hukum pidana yang berbeda-beda. Kerajaan besar macam Sriwijaya sampai dengan kerajaan Demak pun menerapkan aturan hukum pidana. Kitab peraturan seperti Undang-undang raja niscaya, undang-undang mataram, jaya lengkara, kutara Manawa, dan kitab adilullah berlaku dalam masyarakat pada masa itu. Hukum pidana adat juga menjadi perangkat aturan pidana yang dipatuhi dan ditaati oleh masyarakat nusantara.

Hukum pidana pada periode ini banyak dipengaruhi oleh agama dan kepercayaan masyarakat. Agama mempunyai peranan dalam pembentukan hukum pidana di masa itu. Pidana potong tangan yang merupakan penyerapan dari konsep pidana islam serta konsep pembuktian yang harus lebih dari tiga orang menjadi bukti bahwa ajaran agam islam mempengaruhi praktik hukum pidana tradisional pada masa itu.

2. Masa penjajahan
Pada masa periodisasi ini sangatlah panjang, mencapai lebih dari empat abad. Indonesia mengalami penjajahan sejak pertama kali kedatangan bangsa Portugis, Spanyol, kemudian selama tiga setengah abad dibawah kendali Belanda. Indonesia juga pernah mengalami pemerintahan dibawah kerajaan Inggris dan kekaisaran Jepang. Selama beberapa kali pergantian pemegang kekuasaan atas nusantara juga membuat perubahan besar dan signifikan.

Pola pikir hukum barat yang sekuler dan realis menciptakan konsep peraturan hukum baku yang tertulis. Pada masa ini perkembangan pemikiran rasional sedang berkembang dengan sangat pesat. Segala peraturan adat yang tidak tertulis dianggap tidak ada dan digantikan dengan peraturan-peraturan tertulis. Tercatat beberapa peraturan yang dibuat oleh pemerintah kolonial Belanda seperti statuta Batavia (statute van batavia).
Berlaku dua peraturan hukum pidana yakni KUHP bagi orang eropa (weetboek voor de europeanen) yang berlaku sejak tahun 1867. Diberlakukan pula KUHP bagi orang non eropa yang berlaku sejak tahun 1873.

3. Masa KUHP 1915 - Sekarang
Selama lebih dari seratus tahun sejak KUHP Belanda diberlakukan, KUHP terhadap dua golongan warganegara yang berbeda tetap diberlakukan di Hindia Belanda. Hingga pada akhirnya dibentuklah KUHP yang berlaku bagi semua golongan sejak 1915. KUHP tersebut menjadi sumber hukum pidana sampai dengan saat ini. Pembentukan KUHP nasional ini sebenarnya bukan merupakan aturan hukum yang menjadi karya agung bangsa. Sebab KUHP yang berlaku saat ini merupakan sebuah turunan dari Nederland Strafwetboek (KUHP Belanda). Sudah menjadi konskwensi ketika berlaku asas konkordansi terhadap peraturan perundang-undangan.

KUHP yang berlaku di negeri Belanda sendiri merupakan turunan dari code penal perancis. Code penal menjadi inspirasi pembentukan peraturan pidana di Belanda. Hal ini dikarenakan Belanda berdasarkan perjalanan sejarah merupakan wilayah yang berada dalam kekuasaan kekaisaran perancis.

Desakan pembentukan segera KUHP nasional
Sebagai sebuah Negara yang pernah dijajah oleh bangsa asing, hukum yang berlaku di Indonesia secara langsung dipengaruhi oleh aturan-aturan hukum yang berlaku di Negara penjajah tersebut. Negeri Belanda yang merupakan negeri dengan sistem hukum continental menurunkan betuknya melalui asas konkordansi. Peraturan yang berlaku di Negara jajahan harus sama dengan aturan hukum negeri Belanda. Hukum pidana (straffrecht) merupakan salah satu produk hukum yang diwariskan oleh penjajah.

Pada tahun 1965 LPHN (lembaga pembinaan hukum nasional) memulai suatu usaha pembentukan KUHP baru. Pembaharuan hukum pidana Indonesia harus segera dilakukan. Sifat undang-undang yang selalu tertinggal dari realitas social menjadi landasan dasar ide pembaharuan KUHP. KUHP yang masih berlaku hingga saat ini merupakan produk kolonial yang diterapkan di Negara jajahan untukmenciptakan ketaatan. Indonesia yang kini menjadi Negara yang bebas dan merdeka hendaknya menyusun sebuah peraturan pidana baru yang sesuai dengan jiwa bangsa.



BAB III
PENUTUP

KESIMPULAN
Dalam sejarah perkembangan Hukum di Indonesia dibagi menjadi beberapa periode, yakni periode kolonial, atau pada masa penjajahan, Periode kolonialisme terbagi ke dalam tiga tahapan besar, yakni: periode VOC, Liberal Belanda dan Politik etis hingga penjajahan Jepang.
            Sedangkan dalam masa Revolusi Fisik ini terjadi sebelum kemerdekaan Republik Indonesia tapi setelah perang dunia ke-2. Sedangkan setelah itu adalah UUDS 1950 yang telah mengakui hak asasi manusia. Namun pada masa ini pembaharuan hukum dan tata peradilan tidak banyak terjadi, yang ada adalah dilema untuk mempertahankan hukum dan peradilan adat atau mengkodifikasi dan mengunifikasinya menjadi hukum nasional yang peka terhadap perkembangan ekonomi dan tata hubungan internasional.
            Dan setelah itu adalah Periode terpimpin, orde Baru, dan pasca orde baru hingga sekarang.







[1] Andi Hamzah.Pengantar Hukuk Acara Pidana Indonesia.(Jakarta: Ghalia Indonesia.1985)hal 41
[2] Ibid hal 42
[3] Samidjo, Hukum Pidana:Ringkasan Tanya jawab, Bandung:Armico.1987 hal 29
[4] Aturan hukum yang diciptakan dan ditulis dengan sengaja
[5] Ibid 30
[6] Merujuk pada capaian kemerdekaan oleh berbagai koloni dan protektorat Barat di Asia dan Afrika pasca perang dunia II
[7] dias at-tatrouk,Sejarah Hukum Indonesia-Periode Revolusi Fisik dan Liberal,2011, http://sumringahkara.blogspot.com, posting pada hari Senin,28 Oktober 2013, pukul 07.05 WIB
[8] Dauose Dekker
[9] Ibid hal 66-67
Labels: Makalah

Thanks for reading Sejarah Hukum di Indonesia. Please share...!

Back To Top