BAB II
PEMBAHASAN
Dalam istilah bahasa Arab, gadai diistilahkan dengan rahn
dan juga dapat dinamai al-habsu (Pasaribu,1996). Secara etimologis, arti
rahn adalah tetap dan lama, sedangkan al-hasbu berarti penahanan
terhadap suatu barang dengan hak sehingga dapat dijadikan sebagai pembayaran
dari barang tersebut (Syafi’i, 2000).
Sedangkan menurut Sabiq (1987), rahn
adalah menjadikan barang yang mempunyai nilai harta menurut pandangan syara’
sebagai jaminan hutang, hingga orang yang bersangkutan boleh mengambil hutang
atau ia bisa mengambil sebagian (manfaat) barang itu. Pengertian ini didasarkan
pada praktek bahwa apabila sesesorang ingin berhutang kepada orang lain, ia
menjadikan barang miliknya baik berupa barang tak bergerak atau berupa barang
bergerak berada dalam penguasaan pemberi pinjaman sampai penerima pinjaman
melunasi hutangnya.
Dari beberapa pengertian rahn tersebut, dapat
disimpulkan bahwa rahn merupakan suatu akad utang piutang dengan
menjadikan barang yang mempunyai nilai harta menurut pandangan syara’ sebagai
jaminan, hingga orang yang bersangkutan boleh mengambil utang.[1]
B. Sejarah
Berdirinya Pegadaian Syari’ah
Terbitnya PP/10 tanggal 1 April 1990 dapat dikatakan menjadi
tonggak awal kebangkitan Pegadaian, satu hal yang perlu dicermati bahwa PP10
menegaskan misi yang harus diemban oleh Pegadaian untuk mencegah praktik riba,
misi ini tidak berubah hingga terbitnya PP103/2000 yang dijadikan sebagai
landasan kegiatan usaha Perum Pegadaian sampai sekarang. Banyak pihak
berpendapat bahwa operasionalisasi Pegadaian pra Fatwa MUI tanggal 16 Desember
2003 tentang Bunga Bank, telah sesuai dengan konsep syariah meskipun harus
diakui belakangan bahwa terdapat beberapa aspek yang menepis anggapan itu.
Berkat Rahmat Alloh SWT dan setelah melalui kajian panjang,
akhirnya disusunlah suatu konsep pendirian unit Layanan Gadai Syariah
sebagai langkah awal pembentukan divisi khusus yang menangani kegiatan usaha
syariah. Konsep operasi Pegadaian syariah mengacu pada sistem administrasi
modern yaitu azas rasionalitas, efisiensi dan efektifitas yang diselaraskan
dengan nilai Islam.
Fungsi operasi Pegadaian Syariah itu sendiri dijalankan oleh
kantor-kantor Cabang Pegadaian Syariah/ Unit Layanan Gadai Syariah (ULGS)
sebagai satu unit organisasi di bawah binaan Divisi Usaha Lain Perum Pegadaian.
ULGS ini merupakan unit bisnis mandiri yang secara struktural terpisah
pengelolaannya dari usaha gadai konvensional.
Pegadaian Syariah pertama kali berdiri di Jakarta
dengan nama Unit Layanan Gadai Syariah (ULGS) Cabang Dewi Sartika di bulan
Januari tahun 2003. Menyusul kemudian pendirian ULGS di Surabaya, Makasar,
Semarang, Surakarta, dan Yogyakarta di tahun yang sama hingga September 2003.
Masih di tahun yang sama pula, 4 Kantor Cabang Pegadaian di Aceh dikonversi
menjadi Pegadaian Syariah.[2]
C. Dasar
Hukum Pegadaian Syari’ah
Gadai hukumnya jaiz (boleh) menurut al-Kitab , as-
Sunah, dan ijma’ (Sabiq, 1996).
1.
Al-
Qur’an.
Ayat Al-Qur’an yang dapat dijadikan sebagai dasar hukum
perjanjian gadai adalah Qs. Al- Baqarah 283 :
.......وَإِنْ كُنْتُمْ
عَلَى سَفَرٍ وَلَمْ تَجِدُوا كَاتِبًا فَرِهَانٌ مَقْبُوضَةٌ
“Jika kamu dalam
perjalanan (dan bermuamalah tidak secara tunai) sedang kamu tidak memperoleh
seorang penulis, maka hendaklah ada barang tanggungan yang dipegang (oleh yang
berpiutang)....”(Qs. Al baqarah :283)
2.
As- Sunnah
“Sesungguhnya Rasulullah s.a.w.
pernah membeli makanan dengan berutang dari seorang Yahudi, dan Nabi
menggadaikan sebuah baju besi kepadanya.” (Hadis Nabi riwayat al-Bukhari dan Muslim dari ‘Aisyah
r.a.,)
Selain dari hadis tersebut, Nabi
Bersabda yaitu:
“ Tunggangan (kendaraan) yang
digadaikan boleh dinaiki dengan menanggung biayanya dan binatang ternak yang
digadaikan dapat diperah susunya dengan menanggung biayanya. Bagi yang
menggunakan kendaraan dan memerah susu wajib menyediakan biaya perawatan dan pemeliharaan
“. (HR Jamaah, kecuali muslim dan An-Nasai).
3.
Ijma’
Mengenai dalil ijma’ ummat Islam
sepakat (ijma’) bahwa secara garis besar akad rahn (gadai /
penjaminan utang) diperbolehkan. Pemberi gadai boleh memanfaatkan barang gadai
secara penuh sepanjang tidak mengakibatkan berkurangnya nilai barang gadai
tersebut.
4. Fatwa
dari Dewan Syariah Nasional Nomor 25/DSN-MUI/III/2002 tentang Rahn dan Rukun
dan Fatwa Dewan Syariah Nasional Nomor 26/DSN-MUI/III/2002 tentang Rahn dan
Rukun dan Syarat Transaksi Gadai.
Dalam perjanjian gadai
akan sah apabila memenuhi rukun serta syarat sahnya gadai, diantaranya yaitu:
v Orang
yang bertransaksi (Akid )
v Ijab
qabul (sighat )
v Adanya
barang yang digadaikan (Marhun)
v Utang
(Marhun bih)
D. Aspek
Pendirian Pegadaian Syariah
Dalam mewujudkan sebuah pegadaian yang ideal dibutuhkan
beberapa aspek pegadaian. Adapun aspek-aspek pendirian pegadaian syariah
tersebut antara lain :
1.
Aspek
Legalitas
Sesuai dengan Peraturan Pemerintah
No 10 Tahun 1990 tentang berdirinya lembaga gadai yang berubah dari bentuk
perusahaan jawatan menjadi perusahaan umum pegadaian pasal 3 ayat (1a).
Menyebutkan bahwa perum pegadaian adalah badan usaha tunggal yang diberi
wewenang untuk menyalurkan uang pinjaman atas dasar hukum gadai. Kemudian misi
dari perum pegadaian disebutkan dalam pasal 5 ayat 2b, yaitu pencegahan praktek
ijon, riba, pinjaman tidak wajar lainnya.
2.
Aspek Permodalan
Modal yang dibutuhkan cukup besar,
karena selain untuk dipinjamkan ke nasabah juga untuk investasi untuk
penyimpanan barang gadai. Permodalan diperoleh dengan sistim bagi hasil seperti
pengumpulan dana dari beberapa orang (musyarakah) atau dengan mencari
sumber dana (shahibul maal), seperti bank atau perorangan untuk
mengelola perusahaan gadai syariah (mudharabah)
3.
Aspek Sumber Daya Manusia.
SDM pegadaian syariah harus memahami
filosofi gadai dan sistem operasionalisasi gadai syariah. SDM selain mampu
menangani masalah taksiran barang gadai, penentuan instrumen pembagian rugi
laba atau jual beli, menangani masalah-masalah yang dihadapi nasabah yang
berhubungan penggunaan uang gadai, juga berperan aktif dalam siar Islam dimana
pegadaian itu berada.
4.
Aspek
Kelembagaan.
Sifat kelembagaan mempengaruhi
keefektifan sebuah perusahaan gadai dapat bertahan. Sebagai lembaga yang
relatif belum banyak dikenal masyarakat, pegadaian syariah perlu
mensosialisasikan posisinya sebagai lembaga yang berbeda dengan gadai
konvensional. Hal ini guna memperteguh guna keberadaannya sebagai lembaga yang
terdiri untuk memberikan kemashlahatan bagi masyarakat.
5.
Aspek
Sistem dan Prosedur
Sistem dan prosedur gadai syariah
harus sesuai dengan prinsip-prinsip syariah dimana keberadaannya menekankan
akan pentingnya gadai syariah. Oleh karena itu gadai syariah merupakan
representasi dari suatu masyarakat dimana gadai itu berada, maka sistem dan
prosedural gadai syariah berlaku fleksibel asals sesuai dengan prinsip gadai
syariah.
6.
Aspek
Pengawasan
Yaitu harus diawasi dengan Dewan Pengawas Syariah agar
operasionalisasi gadai syariah sesuai dengan prinsip-prinsip syariah.
E. Operasional
Pegadaian Syariah
Implementasi operasi pegadaian syariah hampir sama dengan
pegadaian konvensional. Seperti halnya pegadaian konvensional, pegadaian
syariah juga menyalurkan uang pinjaman dengan jaminan barang berrgerak.
Prosedur untuk memperoleh gadai syariah sangat sederhana yaitu, masyarakat
harus menunjukkan bukti identitas diri dan barang bergerak seperti jaminan,
lalu uang pinjaman dapat diperoleh dalam waktu yang tidak relatif lama (kurang lebih 15 menit).
Begitupun untuk melunasi pinjaman, nasabah cukup dengan menyerahkan
sejumlah uang dan surat bukti rahn saja denggan waktu proses yang jauh singkat.
Labels:
Makalah
Thanks for reading Makalah Pegadaian Syari'ah. Please share...!