BAB II
PEMBAHASAN
A.
Hak-Hak Istri
1)
Mahar
Mahar termasuk pengaruh harta yang penting
dalam akad nikah. Secara terminology mahar adalah pemberian wajib dari calon
suami kepada calon istri sebagai ketulusan hati calon suami untuk menimbulkan
rasa cinta kasih bagi sang istri kepada calon suami. Mahar dalam bahasa Arab shaddaq.
Asalnya isim masdhar dari kata ashadaqa, masdarnya ishdaq diambil
dari kata sidqin (benar). Dinamakan shadaq memberikan arti benar-benar
cinta nikah dan inilah yang pokok dalam kewajiban mahar dan mas kawin.Jadi makna mahar lebih dekat kepada syari’at agama dalam rangka
menjaga kemuliaan peristiwa suci. Mahar adalah syarat sahnya perkawinan yang
memberi pengaruh apakah sebuah pernikahan akan barakah atau tidak.
Mahar
ini hukumnya wajib dengan dalil ayat Allah :
“Berikanlah
mahar kepada wanita-wanita yang kalian nikahi sebagai pemberian dengan penuh
kerelaan.” (An-Nisa`: 4)
Dari
As-Sunnah pun ada dalil yang menunjukkan wajibnya mahar, yaitu ucapan
Rasulullah kepada seorang sahabatnya yang ingin menikah sementara sahabat ini
tidak memiliki harta:
“Lihatlah
apa yang bisa engkau jadikan mahar dalam pernikahanmu, walaupun hanya cincin
dari besi.” (HR. Al-Bukhari no. 5087 dan Muslim no. 3472)
Al-Imam
Ibnu Qudamah t berkata, “Kaum muslimin (ulamanya) telah sepakat tentang
disyariatkannya mahar dalam pernikahan.” (Al-Mughni, Kitab Ash-Shadaq)
Mahar
merupakan milik pribadi si wanita. Ia boleh menggunakan dan memanfaatkannya
sekehendaknya dalam batasan yang diperkenankan syariat. Adapun orang lain, baik
ayahnya, saudara laki-lakinya, suaminya, atau selain mereka, tidak boleh
menguasai mahar tersebut tanpa keridhaan si wanita. Allah mengingatkan:
“Dan
jika kalian ingin mengganti salah seorang istri dengan istri yang lain,
sedangkan kalian telah memberikan kepada salah seorang di antara mereka (istri
tersebut) harta yang banyak, maka janganlah kalian mengambil kembali dari harta
tersebut walaupun sedikit. Apakah kalian akan mengambilnya kembali dengan jalan
tuduhan yang dusta dan dengan menanggung dosa yang nyata?”
(An-Nisa`: 20)
Para fuqaha berbeda dalam status mahar apakah sebagai pengganti
pemanfaatan suami terhadap organ vital wanita atau ia sebagai penghormatan dan
pemberian dari Allah ? Al-Bujuri telah mengkompromikan dua pendapat ini yang
pada intinnya, orang yang melihat lahirnya mahar sebagai imbalan pemanfaatan
alat seks wanita mengatakan mahar sebagai kompensasi pemanfaatan alat seks
wanita tersebut. Bagi yang melihat substansi dan batin bahwa sang istri
bersenang-senang pada suami sebagaimana sang suami juga bersenan,-senang pada
istrinya, mahar dijadikan sebagai penghormatan dan pemberian dari Allah yang
dikeluarkan suami untuk mendapatkan cinta dan kasih sayang antara pasangan
suami istri.
Kewajiban mahar dibebankan
pada suami, bukan pada istri karena ia lebih kuat dan lebih banyak usahanya
daripada istrinya.
2) Pemberian Suami
kepada Istri karena Berpisah (Mut’ah)
a) Pengertian Mut’ah
Kata mut’ah dengan dhammah mim (mut’ah)
atau kasrah (mit’ah) akar kata dari Al-Mata’, yaitu sesuatu yang
disenangi. Maksudnya materi yang diserahkan suami kepada istri yang dipisahkan
dari kehidupannya sebab talak atau semakna dengannya dengan beberapa syarat.
b) Hukum mut’ah
Menurut pendapat ulama Hanafiyah dan Asy-Syaf’I
dalam qaul jadidnya, Mut’ah wajib diberikan kepada setiap wanita yang
dicerai sebelum bercampur dan sebelum kepastian mahar.
Sebagaian ulama berpendapat
bahwa mut’ah dalam kondisi tersebut tidak wajib, ia hanya sunnah.
Demikian pendapat Malik, Al-Laits, Ibnu Abi Layla, dan Imam Asy-Syafi’I dalam
pendapat yang lama (qaul qadim).
c)
Ukuran Mut’ah
Ulama Hanafiyah
dan Zhahiriyah berpendapat bahwa mut’ah memberikan ukuran yang
ditentukan, yaitu tiga helai pakaian, baju kurung, kerudung, dan rangkapan.
Ulama Syafi’iyah
berpendapat bahwa mut’ah tidak memiliki
ukuran tertentu, tetapi disunnahkan tidak kurang dari 30 dirham atau
seharga itu. Kewajibannya tidak melebihi dari mahar mitsil dan sunnahnya tidak
melebihi dari mahar mitsil.
Ukuran mut’ah
telah diterangkan dalam syara’, mut’ah berada diantara sesuatu yang
memerlukan ijtihad maka wajib dikembalikan kepada hakim sebaimana hal-hal lain
yang memerlukan ijtihad. Ukuran mut’ah berbeda-beda sesuai dengan
perbedaab zaman dan tempat. Mut’ah yang layak dan rasional pada suatu
zaman terkadang tidak layak pada suatu zaman lain. Demikian juga mut’ah yang
layak disuatu tempat terkadang tidak layak di tempat lain.
3) Nafkah, Tempat
Tinggal, dan Pakaian.
Beberapa syarat istri berhak
menerima nafkah, sbb :
A. Sahnya akad
nikah.
B. Penyerahan diri
istri kepada suami dan memungkinkannya bersenang-senang.
C. Pindah sesuai
dengan yang diinginkan suami, kecuali jika berpergian yang menyakitkan dan
tidak merasa aman atas diri dan hartanya.
D. Mereka bisa
diajak bersenang-senang.
Sedangkan ukuran
nafkah sesuai dengan kemampuan yakni sesuai dengan kadar kondisinya. Allah
berfirman :”hendaklah orang yang mampu memberi nafkah menurut kemampuannya. Dan
orang yang disempitkan rezekinya hendaklah memberi nafkah dari harta . yang
diberikan Allah kepadanya. Allah tidak memikulkan beban kepada seseorang
melainkan (sekadar) apa yang Allah berikan kepadanya. Allah kelak akan
memberikan kelapangan sesudah kesempitan. (QS. Ath-Thalaq (65) : 7)
.
إِنَّ لِنِسَائِكُمْ عَلَيْكُمْ حَقًّا.
إِنَّ لِنِسَائِكُمْ عَلَيْكُمْ حَقًّا.
isteri dengan cara yang ma’ruf, karena Allah Ta’ala telah berfirman
:
“Sesungguhnyaisteri-isteri kalian memiliki hak atas kalian”
Di antara hak isteri adalah:
1. Suami harus memperlakukan
“Sesungguhnyaisteri-isteri kalian memiliki hak atas kalian”
Di antara hak isteri adalah:
1. Suami harus memperlakukan
وَعَاشِرُوهُنَّ بِالْمَعْرُوفِ
"Dan bergaullah dengan mereka secara patut." [An-Nisaa’: 19]
Yaitu, dengan memberinya makan apabila ia juga makan dan memberinya pakaian apabila ia berpakaian. Mendidiknya jika takut ia akan durhaka dengan cara yang telah diperin-tahkan oleh Allah Subhanahu wa Ta'ala dalam mendidik isteri, yaitu dengan cara menasihatinya dengan nasihat yang baik tanpa mencela dan menghina maupun menjelek-jelekannya. Apabila ia (isteri) telah kembali taat, maka berhentilah, namun jika tidak, maka pisahlah ia di tempat tidur. Apabila ia masih tetap pada kedurhakaannya, maka pukullah ia pada selain muka dengan pukulan yang tidak melukai, sebagaimana firman AllahSWT
:
وَاللَّاتِي تَخَافُونَ نُشُوزَهُنَّ فَعِظُوهُنَّ وَاهْجُرُوهُنَّ فِي الْمَضَاجِعِ وَاضْرِبُوهُنَّ ۖ فَإِنْ أَطَعْنَكُمْ فَلَا تَبْغُوا عَلَيْهِنَّ سَبِيلًا ۗ إِنَّ اللَّهَ كَانَ ع كَبِيرً
"Wanita-wanita yang kamu khawatirkan nusyuznya, maka
nasihatilah mereka dan pukullah mereka. Kemudian jika mereka mentaatimu, maka
janganlah kamu mencari-cari jalan untuk menyusahkannya. Sesungguhnya Allah
Mahatinggi lagi Mahabesar."
[An-nisa:340]
Suami wajib menjaga
dan memelihara istri dari segala hal yang menghilangkan kehormatannya, atau
mengotori kehormatannya, atau merendahkan derajatnya, dan atau yang memalingkan
pendengarannya karena dicela. Selain itu suami juga harus bias memuaskan istri dengan hubungan
seksualnya. Ibnu Qadhamah berkata: “ berhubungan seks wajib bagi suami jika
tidak ada udzur.” Pendapat itu juga dikemukakan imam Malik. Alasannya, nikah
disyariatkan untuk kemaslahatan suami istri dan menolak bencana dari mereka. Ia
melakukan hubungan untuk menolak gejolak syahwat istri, sebagaimana juga untuk
menolak syahwat suami.
4)
Adil dalam Pergaulan
Suami wajib menjaga dan memelihara istri dari segala
hal yang menghilangkan kehormatannya, atau mengotori kehormatannya, atau
merendahkan derajatnya, dan atau yang memalingkan pendengarannya karena dicela.
Selain itu suami
juga harus bias memuaskan istri dengan hubungan seksualnya. Ibnu Qadhamah
berkata: “ berhubungan seks wajib bagi suami jika tidak ada udzur.” Pendapat
itu juga dikemukakan imam Malik. Alasannya, nikah disyariatkan untuk
kemaslahatan suami istri dan menolak bencana dari mereka. Ia melakukan hubungan
untuk menolak gejolak syahwat istri, sebagaimana juga untuk menolak syahwat suami.
Alasan tersebut menjadi suatu keharusan dan nikah inilah hak solusi mereka
bersama.
B.
Hak-Hak Suami
1)
Mematuhi Suami
a) Taat Kepada Suami
Rasulullah SAW telah menganjurkan kaum
wanita agar patuh kepada suami mereka, karena hal tersebut dapat membawa
kemslahatan dan kebaikan. Rasulullah SAW telah menjadikan ridha suami
sebagai penyebab masuk surge. Sebagaimana yang diriwayatkan dari Umi Salamah
ra. Bahwa Nabi bersabda : “dimana wanita yang mati sedang suaminya ridha dari
padanya, maka ia masuk surge.” (HR. Ibnu Majah dan at-Tirmidzi)
b) Tidak Durhaka Terhadap Suami
Rasulullah menjelaskan bahwa mayoritas
sesuatu yang memasukkan wanita ke dalam neraka adalah kedurhakaannya kepada
suami dan kekufurannya (tidak syukur) kepada kebaikan suami.
2)
Memelihara Kehormatan dan Harta Suami
Diantara hak suami atas istri adalah tidak
memasukkan seseorang ke dalam rumahnya melainkan dengan izinnya, kesenangannya
mengikuti kesenangan suami, jika suami membenci seseorang karena kebenaran atau
karena perintah syara’, maka sang istri wajib tidak menginjakkan diri ke tempat
tidurnya. Dalam hadits dijelaskan: “dan jika suami tidak ada di rumah, wanita itu
memelihara pada dirinya dan harta benda suami”. Artinya wanita itu tidak berani
membelanjakan sedikit dari hartanya walaupun dalam kebaikan kecuali dengan
izinnya.
3)
Berhias untuk Suami
Diantara hak suami atas
istri adalah berdandan karenanya dengan berbagai perhiasan yang menarik. Setiap
perhiasannya yang terlihat semakin indah akan membuat suami senang dan merasa
cukup, tidak perlu melakukan hal yang haram. Sesuatu yang tidak diragukan lagi
bahwa kecantikan bentuk wanita akan menambah kecintaan suami, sedangkan melihat
sesuatu apapun yang menimbulkan kebencian akan mengurangi rasa cintanya. Oleh
karena itu, selalu dianjurkan agar suami tidak melihat istrinya dalam bentuk
yang membencikannya sekiranya suami meminta izin istrinya sebelum berhubungan.
Hak suami apabila istri
lebih dari satu
Suami
harus dapat berlaku adil terhadap para isterinya jika ia mempunyai lebih dari
satu isteri. Yaitu berbuat adil dalam hal makan, minum, pakaian, tempat tinggal
dan dalam hal tidur seranjang. Ia tidak boleh sewenang-wenang atau berbuat
zhalim karena sesungguhnya Allah Subhanahu wa Ta'ala melarang yang demikian. Rasulullah
SAW bersabda :.
“Barangsiapa yang memiliki dua isteri, kemudian ia lebih condong kepada salah satu di antara keduanya, maka ia akan datang pada hari Kiamat dalam keadaan miring sebelah.”
“Barangsiapa yang memiliki dua isteri, kemudian ia lebih condong kepada salah satu di antara keduanya, maka ia akan datang pada hari Kiamat dalam keadaan miring sebelah.”
C.
Hak Istri, suami memiliki
istri lebih dari satu
Poligami dalam wikipedia bahasa Indonesia
adalah sistem perkawinan yang salah atu pihak memiliki atau mengawini
beberapa lawan jenisnya dalam waktu yang bersamaan.[1]
Poligami terdapat beberapa
jenis, yakni poligini(memiliki lebih dari seorang istri), Poliandri ( memiliki
lebih dari seorang suami), dan pernikahan kelompok atau group marriage
(kombinasi pologami dan poliandri).
Dalam Mahkamah Konstitusi
menyatakan bahwa ketentuan-ketentuan yang tercantum dalam undang-undang no 1
Tahun 1974 tentang perkawinan, yang menyatakan azaz perkawinan adalah monogami,
dan poligami dibolehkan dengan alasan, syarat, dan prosedur tertentu tidak
bertentangan dengan ajaran Islam dan hak untuk membentuk keluarga bahagia.
Didalam islam pada dasarnya berkonsep monogami tetapi memperbolehkan seorang
pria memiliki beberapa istri. Bila seorang suami memiliki lebih dari satu
istri atau melakukan poligini, maka wajib baginya
untuk berlaku adil di antara para istri, dengan
memberikan nafkah yang sama, memberi pakaian, tempat tinggal, dan waktu
bermalam. Keharusan berlaku adil ini ditunjukkan dalam firman Allah :
“…maka nikahilah wanita-wanita yang kalian
senangi: dua, tiga, atau empat. Namun jika kalian khawatir tidak dapat berbuat
adil di antara para istri nantinya maka nikahilah seorang wanita saja atau
dengan budak-budak perempuan yang kalian miliki. Yang demikian itu lebih dekat
bagi kalian untuk tidak berbuat aniaya.” (An-Nisa`: 3)
Dalil dari As-Sunnah didapatkan antara lain
dari hadits Abu Hurairah z, ia menyampaikan sabda Rasulullah n:
“Siapa yang memiliki dua istri10 lalu ia
condong (melebihkan secara lahiriah) kepada salah satunya maka ia akan datang
pada hari kiamat nanti dalam keadaan satu sisi tubuhnya miring/lumpuh.” (HR.
Ahmad 2/347, Abu Dawud no. 2133, dll, dishahihkan Asy-Syaikh Al-Albani t dalam
Shahih Sunan Abi Dawud)
Hadits di atas menunjukkan keharaman sikap
tidak adil dari seorang suami, di mana ia melebihkan salah satu istrinya dari
yang lain. Sekaligus hadits ini merupakan dalil wajibnya suami menyamakan di
antara istri-istrinya dalam perkara yang dia mampu untuk berlaku adil, seperti
dalam masalah mabit (bermalam), makanan, pakaian, dan pembagian giliran.
(‘Aunul Ma’bud, Kitab An-Nikah, bab Fil Qismi Bainan Nisa`)
Diantara hak istri yang dipoligami antara lain:
1.
Menyamakan para istri dalam masa giliran
Setiap istri harus mendapat jatah giliran yang sama. Imam Muslim
meriwayatkan, Anas bin Malik menyatakan bahwa Nabi -shollallohu ‘alaihi wa
sallam- memiliki 9 istri. Kebiasaan beliau -shollallohu ‘alaihi wa sallam- bila
menggilir istri-istrinya, beliau mengunjungi semua istrinya dan baru berhenti
(berakhir) di rumah istri yang mendapat giliran saat itu
2.
Wajib berlaku adil dalam memberi nafkah
Ibnu Taimiyah -rohimahulloh- menyatakan bahwa bersikap
adil dalam nafkah dan pakaian menurut pendapat yang kuat, merupakan suatu
kewajiban bagi seorang suami. Namun keadilan dalam hal nafkah tentu sangat
relatif. Misalnya jika istri pertama telah memiliki lima orang anak, sedangkan
istri kedua baru punya satu anak, tentu istri pertama berhak mendapatkan nafkah
lebih banyak untuk menghidupinya dan anak-anaknya.
Bahkan terdapat keterangan yang
dibawakan oleh Jarir bahwa ada seseorang yang berpoligami yang menyamakan
nafkah untuk istri-istrinya sampai-sampai makanan atau gandum yang tidak bisa
ditakar atau ditimbang karena terlalu sedikit, beliau tetap membaginya tangan
pertangan.
3.
Mempunyai rumah sendiri
Seriap istri
mempunyai hak untuk memiliki rumah sendiri. Dalam QS Al Ahzab 33:
“menetaplah
kalian (istri-istri nabi) dirumah-rumah kalian”.
Ibn Qudamah
menjelaskan dalam kitab al mughni bahwa tidak pantas seorang suami mengumpulkan
dua orang istri dalam satu rumah tanpa ridha dari keduanya.
4.
Batasan malam pertama sesudah pernikahan
Imam Bukhori
meriwayatkan dari Anas RA bahwa termasuk
sunah bila seseorang menikah dengan gadis, suami menginap selama tujuh hari,
apabila menikah dengan janda, ia menginap selama tiga hari. Setelah itu barulah
ia menggilir istri-istrinya yang lain.
5.
Tidak wajib menyamakan jima’ dan cinta diantara
para istri
Seorang suami
tidak dibebani kewajiban untuk menyamakan jima dan cinta diantara para
istrinya. Yang wajib bagi dia adalah memberikan giliran atau bermalam kepada
istri-istrinya secara adil. Ibn Qoyim RA menyatakan bahwa tidak wajib bagi
suami untuk menyamakan cinta kepada para istril, karena cinta merupakan perkara
yang tidak bisa dikuasai
BAB III
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Hak-hak istri yang wajib dilaksanakan oleh
suami diantaranya adalah memberinya mahar, mut’ah atau pemberian suami kepada
istri karena berpisah, mencukupi nafkah, pakaian, dan tempat tinggal, serta
adil dalam pergaulan.Adapun hak-hak suami yang wajib dilaksanakan oleh istri
adalah mematuhi suami, memelihara kehormatan dan harta suami, berhias untuk
suami.
B. SARAN
Demikianlah sejumlah hak para isteri dan suami
yang harus mereka
tunaikan. Oleh karena
itu, bersungguh-sungguhlah dalam usaha memenuhi hak-hak tersebut. Sesungguhnya
dalam memenuhi hak-hak tersebut adalah salah satu di antara sebab kebahagian
dalam kehidupan berumah tangga dan termasuk salah satu sebab ketenangan dan
keselamatan keluarga serta sebab menjauhnya segala permasalahan yang dapat
mengusik dan menghilangkan rasa aman, tenteram, damai, serta rasa cinta dan
kasih sayang.
Kami juga memperingatkan kepada para pasangan suami sitri agar mau melupakan kekurangan di antara keduanya dalam hal memenuhi hak-hak mereka. Kemudian hendaklah ia menutupi
kekurangan tersebut dengan bersungguh-sungguh dalam mengabdikan diri untuk
suami maupun istri, karena dengan demikian kehidupan rumah tangga yang harmonis
akan dapat kekal dan abadi.
DAFTAR PUSTAKA
1)
Emha,Isnaini.hak-hak
Istri dalam Poligami.petunjuk memilih istri.blogspot.com diposting pada hari
selasa,23 maret 2014
2)
Aziz
Muhammad Azam.abdul,dkk. Fiqih Munakahat(Khitbah,nikah,talak)2011. jakarta:
Amzah
3)
Zuhally
Muhammad, Fiqih Munakahat(kajian fiqh Munakahat menurut mahzab Syafi’i)2012.Surabaya:imtiyaz
4)
Wikipedia.com
Labels:
Makalah
Thanks for reading Hak Dan Kewajiban Suami Istri Dalam Kompilasi Hukum Islam. Please share...!