BAB II
PEMBAHASAN
A. Asal Usul Anak Menurut Perspektif
Fiqih
Penetapan asal-usul anak dalam perspektif hukum Islam
memiliki arti yang sangat penting, karena dengan penetapan itulah dapat di
ketahui hubungan nasab antara anak dengan ayahnya. Walaupun pada hakikatnya
setiap anak yang lahir berasal dari sperma seorang laki-laki dan
sejatinya harus manjadi ayahnya, namun hukum Islam memberikan ketentuan
lain untuk permasalahan ini.[1]
Seorang anak dapat dikatakan sah memiliki hubungan nasab
dengan ayahnya jika terlahir dari perkawinan yang sah. Sebaliknya anak yang
lahir di luar perkawinan yang sah, tidak dapat disebut dengan anak sah, dan
biasanya disebut dengan anak zina atau anak di luar perkawinan yang sah dan ia
hanya memiliki hubungan nasab dengan ibunya. Dengan demikian membicarakan
asal-usul anak sebenarnya membicarakan anak yang sah.[2]
Dalam Pasal 250 Kitab Undang-undang Hukum Perdata dijelaskan
bahwa anak sah adalah anak yang dilahirkan dan dibuat selama perkawinan. Jadi,
selama dilahirkan dalam suatu ikatan perkawinan yang sah mempunyai status
sebagai anak kandung dengan hak-hak keperdataan melekat padannya serta berhak untuk
memakai nama belakang untuk menunjukan keturunan dan asal usulnya.[3]
Adapun fiqih Islam menganut pemahaman yang cukup tegas
berkenaan dengan anak sah. Walaupun tidak ditemukan definisi yang jelas
dan tegas berkenaan dengan anak yang sah, namun berangkat dari definisi
ayat-ayat Al-Qur‟an dan Hadis, dapat diberikan batasan. Anak sah adalah
anak yang lahir oleh sebab dan di dalam perkawinan yang sah.[4]
Seluruh madzhab fiqih sepakat bahwa batas minimal usia
kehamilan adalah 6 bulan, di hitung dari saat akad nikah dilangsungkan.
Ketentuan ini di ambil dari firman Allah surat Al -Ahqaf ayat 15 :
و حمله و فصله ثلثون شهرا
“Masa mengandung sampai menyapihnya
selama tiga puluh bulan.”
Dan surat Al-Luqman ayat : 14
حملته أمه وهنا على وهن و فصله في عامين
“Ibunya telah mengandungnya dalam
keadaan lemah yang bertambah-tambah, dan menyapihnya dalam usia dua tahun
(selambat-lambat waktu menyapih ialah anak berumur 2 tahun).”
Kedua ayat tersebut, oleh Ibnu Abbas dan disepakti oleh para
ulama, di tafsirkan oleh Ibnu Abbas bahwa ayat pertama menunjukan tenggang
waktu mengandung dan menyapih adalah 30 bulan. Ayat kedua menerangkan bahwa
menyapihnya setelah bayi di susukan secara sempurna membutuhkan waktu 2 tahun
atau 24 bulan. Berarti bayi membutuhkan waktu 30 - 24 bulan = 6 bulan di dalam
kandungan.
Dalam tafsir Ibnu Katsir kedua ayat ini dijadikan dalil oleh
Ali bin Abi Thalib RA, batas minimal waktu hamil adalah 6 bulan, dan
itu merupakan cara pengambilan hukum (istinbath)
yang kuat dan valid. Pendapat tersebut di setujui oleh Usman bin Affan RA, dan
beberapa sahabat lainya.[5]
Dari pernyataan tersebut di atas munculah beberapa pendapat
hukum Ulama:
1. Apabila seorang Wanita dan Laki-laki
kawin, lalu melahirkan seorang anak dalam keadaan hidup dan sempurna bentuknya
sebelum 6 bulan, maka anak tersebut tidak bisa dikaitkan (nasabnya) dengan suaminya. Syaikh Al-mufid dan Syaikh Al-Thusi
dari madzhab Imamiyah, dan Syaikh Muhyidin Abd Al-Hamid dari Hanafi
mengatakan bahwa, nasib anak tersebut tergantung pada suami (wanita
tersebut). Kalau dia mau, dia bisa menolaknya, dan bisa pula mengakuinya
sebaagai anaknya dan mengaitkan nasabnya dengan dirinya.
2. Kalau kedua suami istri bersengketa
tentang lamanya waktu bergaul mereka, misalnya si isteri mengatakan (kepada
suaminya), “Engkau telah bergaul denganku sejak 6 bulan atau lebih,
karena itu anak ini adalah anak mu,” lalu suaminya menjawab,
“Tidak, akau baru menggaulimu kurang dari 6 bulan, karena itu anak ini bukan
anakku.”[6]
Menurut Imam Hanafi: Isterinya itu yang benar, dan yang
diberlakukan adalah ucapanya tanpa harus disumpah lebih dulu.
Menurut Imamiyah: Kalau ada fakta dan petunjuk-petunjuk yang
mendukung ucapan isteri atau suami maka yang diberlakukan adalah pendapat pihak
yang mempunyai bukti atau petunjuk tersebut. Tetapi apabila tidak ada
petunjuk-petunjuk yang ditemukan sehingga persoalannya menjadi tidak jelas,
maka hakim memenangkan ucapan si isteri sesudah disumpah dulu bahwa
suaminya telah mencampurinya sejak 6 bulan yang lalu, lalu
anak tersebut dinyatakan sebagai anak sah suaminya itu.
Sedangkan batas maksimal usia kandungan menurut pendapat
Ulama:
1. Abu Hanifah berpendapat: Batas
maksimal kehamilan adalah 2 tahun, berdasar hadis A’isyah yang menyatakan bahwa
kehamilan seorang wanita tidak melebihi 2 tahun.
2. Imam Malik, Syafi’i dan Hambali:
Masa kehamilan maksimal seorang wanita adalah empat tahun. Para Ulama Madzhab
ini menyandarkan pendapatnya pada riwayat bahwa isteri ‘Ajlan hamil selama
empat tahun. Anehnya isteri anaknya, Muhammad, juga hamil selama empat tahun.
Bahkan semua wanita suku ‘Ajlan hamil selama empat tahun pula.[7]
3. Ibad bin ‘Awan mengatakan: batas
maksimal kehamilan adalah lima tahun, sedangkan Al-Zuhri mengatakan tujuh
tahun, dan Abu Ubaid menyatakan bahwa, kehamilan itu tidak mempunyai batas
maksimal.
Para Ulama Madzhab Imamiyah berbeda
pendapat tentang batas maksimal usia kehamilan. Mayoritas mereka berpendapat
bahwa, batas maksimal kehamilan adalah sembilan bulan. Yang lain mengatakan
sepuluh bulan, dan yang lain mengatakan satu tahun penuh. Tetapi mereka
seluruhnya sepakat, bahwa batas maksimal usia kehamilan itu tidak boleh lebih
dari satu jam dari satu tahun.
Oleh
karena itu apabila bayi lahir kurang dari 6 (enam) bulan
menurut fiqih dengan berpedoman pada Al-Qur’an, maka
tidak bisa di hubungkan kekerabatanya kepada bapaknya, walaupun
dalam ikatan perkawinan yang sah. Ia hanya memiliki hubungan nasab kepada
ibu dan keluarga ibunya saja.
Jika di analisis pandangan fiqih berkenaan dengan anak sah
ini dapatlah di pahami bahwa anak sah di mulai sejak terjadinya konsepsi atau
pembuahan sel telur (ovum) oleh sperma yang terjadi pada rahim wanita calon ibu
dan konsepsi ini harus lah terjadi dalam perkawinan yang sah, dari sininlah
penetapan anak sah tersebut dilakukan.[8]
Dengan dimikian hukum Islam menegaskan bahwa seorang anak
supaya dapat dianggap sebagai anak yang sah dari suami ibunya, anak itu harus
lahir sekurang-kurangnya enam bulan sesudah pernikahan atau di dalam tenggang
‘iddah selama empat bulan sepuluh hari sesudah perkawinan terputus.
Dengan demikian, apabila bayi lahir kurang dari 6 bulan
sejak masa perkawinan, maka anak tersebut tidak dapat di hubungkan
kekerabatanya dengan bapaknya walaupun lahir dari perkawinan yang sah. Ia hanya
memiliki hubungan nasab dengan ibunya.[9]
B. Asal Usul Anak Menurut Perspektif
Kompilasi Hukum Islam (KHI)
Dalam Kompilasi Hukum Islam ditegaskan dan dirinci, apa yang
diatur dalam Undang-undang perkawinan.
Pasal 99 :
Anak yang sah adalah “Anak yang dilahirkan dalam atau akibat
perkawinan yang sah”.
Pasal 100:
Anak yang lahir di luar perkawinan
hanya mempunyai hubungan nasab dengan ibunya dan keluarga ibunya.
Dalam kompilasi Hukum Islam, anak sah yang dimaksud dalam
pasal 99 (a) adalah. Anak sah dari kedua orang tuanya, seperti yang
dijelaskan dalam pasal 53 dalam BAB VIII tentang Kawin Hamil,
selengkapnya akan dikutip dibawah ini:
Pasal 53:
1. Seorang wanita hamil di luar nikah,
dapat dikawinkan dengan pria yang yang menghamilinya.
2. Perkawinan dengan wanita hamil yang
disebut pada ayat (1) dapat dilangsungkan tanpa menunggu lebih dahulu kelahiran
anaknya.
3. Dengan dilangsungkannya perkawinan
pada saat wanita hamil, tidak diperlukan perkawinan ulang setelah anak yang
dikandung lahir.
Jadi, anak sah dan pernikahan yang sah, yang dimaksud dalam
KHI pasal 99 (a) apabila dikaitkan dengan pasal 53 adalah anak sah dari
pernikahan kedua oramg tuanya dan apabila pernikahanya pada saat hamil, maka
anak tersebut anak sah dari pria yang menghamilinya.
Pasal 101:
Seseorang suami yang mengingkari
sahnya anak, sedang istri tidak menyangkalnya, dapat meneguhkan pengingkaranya
dengan li’an.[10]
Pasal 102
KHI juga tidak merinci batas minimal
dan maksimal usia bayi dalam kandungan sebagai dasar suami untuk menyangkal
sahnya anak yang di lahirkan istrinya.
1. Suami yang akan mengingkari seorang
anak yang lahir dari istrinya, mengajukan gugatan ke pengadilan Agama
dalam jangka waktu 180 hari sesudah putusnya perkawinan atau setelah suami
itu mengetahui bahwa istrinya melahirkan anak dan berada di tempat yang
memungkinkan dia mengajukan perkaranya kepada Pengadilan Agama.”
2. Pengingkaran yang di ajukan sesudah
lampau waktu tidak dapat di terima.
Batasan 180 hari atau 6 bulan di atas ternyata tidak
menjelaskan batas mininmal usia kandungan, demikian juga 360 hari
bukan menunjuk batas maksimal usia bayi dalam
kandungan. Akan tetapi menjelaskan batas waktu untuk mengajukan
persoalannya ke Pengadilan Agama.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Jika
kita pahami anatara Fiqih dan KHI mempunyai perbedaan yang sangat kontras,
dalam fiqih pernikahan saat hamil tidak diperbolehkan atau tidak sah sedangkan
dalam KHI pernikahan saat hamil boleh dilaksanakan tanpa mengulang pernikahan (Ijab Qabul) setelah anaknya lahir dan
status anak nya pun sah oleh pria yang menghamilinya. Dalam fiqih status anak
dalam pernikahan yang seperti itu hanya ada hubungan kekerabatan dengan ibunya
dan sama sekali tidak ada hubungan kekerabatan dengan ayahnya (pria yang menghamili), untuk menjadi
wali nikahpun tidak sah dalam perspektif fiqih.
Menurut
hemat kami, kita sebagai umat Islam sebaiknya berhati-hati dalam masalah yang
seperti ini, walaupun secara hukum anak di luar pernikahan itu sah, tapi
sebaiknya kita menghindarinya karena menurut kami masalah seperti ini berada
dalam lingkungan privat bukan lingkup publik, lingkungan anatara kita dengan
Alloh dan tanggung jawab kita terhadap Alloh.
REFRENSI
Amiur Nuruddin dan Azhari Akmal Tarigan, Hukum Perdata Islam
di Indonesia, Jakarta: Kencana Prenada Media Grup, 2006 hlm 276
Abdul Manan, Aneka Masalah Hukum Perdata Islam di
Indonesia, Jakarta: Prenada Media Grup, 2008, hlm 78-79
Aminudin Nuruddin dan Azhari Akmal Tarigan Op
cit hlm277
Shafiyurihman Al-Mabaruk Furi,
Shahih Tafsir Ibun Katsir, Bogor :
Pustaka Ibnu Kasir, 2006, hlm. 317-318
Muhammad Jawad Mugniyah, Fiqih Lima Madzhab, Jakarta: Basrie
Press, 199, hlm 100-101
Abdurahman Al Jaziri, Al- Fiqh ‘Al Madzahi Al
‘arbaah, Juz VII, Maktabah At Tajirriyah Al Kubro, Mesir, t,th, hlm 523
Mustafa Rahman, Anak Luar Nikah, Status dan Implikasi
Hukumnya, Jakarta: Atmaja, 2003 hlm 45
Aminudin Nuruddin dan Azhari Akmal Tarigan Op cit . hlm 280
Departemen Agama RI, Op cit. hlm 38.[i]
[1]
Amiur Nuruddin dan Azhari Akmal
Tarigan, Hukum Perdata Islam di Indonesia, Jakarta: Kencana Prenada Media
Grup, 2006 hlm 276
[3]
Abdul Manan, Aneka Masalah Hukum
Perdata Islam di Indonesia, Jakarta: Prenada Media Grup, 2008, hlm
78-79
[5]
Shafiyurihman Al-Mabaruk
Furi, Shahih Tafsir Ibun Katsir, Bogor
: Pustaka Ibnu Kasir, 2006, hlm. 317-318
[7]
Abdurahman Al Jaziri,
Al- Fiqh ‘Al Madzahi Al ‘arbaah, Juz VII, Maktabah At Tajirriyah Al Kubro,
Mesir, t,th, hlm 523
Labels:
Makalah
Thanks for reading Asal Usul Anak Menurut Perspektif Kompilasi Hukum Islam (KHI). Please share...!