TEORI HUKUM DALAM ISLAM
Oleh : May Shinta R
Pasca Sarjana IAIN Ponorogo
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Ketetapan yang melekat pada manusia guna mengatur, mengikat, dan
memberikan sanksi kepada pelaku pelanggarnya merupakan suatu bentuk hukum, Hukum
Islam dalam pengertian syariah atau Islamic law pada bahasa Inggris
adalah hukum Islam yang tidak mengalami perubahan sepanjang zaman, dan mengikat
pada setiap umat Islam. [1]
syariah memuat ketetapan-ketetapan Allah dan ketentuan Rasulullah, baik berupa
larangan, sunnah, kebolehan, serta kewajiban. Hal ini meliputi keseluruhan
aspek manusia baik hubungan manusia dengan Tuhan, manusia dengan manusia,
bahkan manusia dengan lingkungan.[2]
Islam adalah agama yang sempurna dan ajarannya menckup seluruh aspek
kehidupan manusia, mengatur dari hal yang kecil sampai pada hal-hal yang besar
dan luas, karena Islam memiliki sumber hukum yang berasal dari Dzat Yang Maha
Mengetahui berupa al-Qur’an. Hukum dari al-Qur’an selalu teraplikasi pada sikap
dan perbuatan RasulNya yang disebut Hadis. [3]
Meskipun hukum-hukum yang secara luas telah ada dalam al-Qur’an dan
Hadis, tetapi perkembangan masalah yang ada pada masyarakat tetaplah semakin
rumit, serta tidak ada hukum yang menjelaskan pada masalah tersebut. Hal ini
yang memaksa manusia yang bijak dalam menentukan hukum., hal ini lah yang
memunculkan adanya kegiatan berfikir untuk menggali suatu hukum baru berdasarkan
pedoman dalil-dalil syara’ yang disebut dengan ijtihad, dengan pelakunya
mujtahid.
B. Rumusan Masalah
1.
Hakikat hukum dalam Islam?
2.
Bagaimana Epistimologi Mu’tazilah, Asy’ariyah, dan Maturidiyah?
3.
Apa yang dimaksud ijtihad?
4.
Apa yang dimaksud mujtajid?
C. Metodologi
Makalah ini disusun dengan menggunkana metode penelitian kualitatif
sebagai prosedur penelitian yang memaparkan data deskriptif dalam bentuk kata-kata
dan bahasa. Bersifat penelitian kepustakaan yakni penelitina
yang menggunakan literatur buku, catatan, maupun hasil laporan penelitian dari
penelitian terdahulu.[4]
Metode deskriptif bertujuan untuk memaparkan gambaran secara sistematis,
tentang teori hukum Islam, baik cara menentukan
hukum dan menetapkan hukum.
PEMBAHASAN
A. HAKIKAT HUKUM DALAM ISLAM
Hukum pada kajian ushul fiqh sangatlah berkaitan, karena hukum merupakan
produk yang dihasilkan oleh para pemikir hukum (mujtahid) dalam kegiatan Ushul Fiqh.
Hukum yang dihasilkan ini disebut dengan hukum syara’. Secara etimologi kata
hukum atau al hukm berarti mencegah atau memutuskan. Sedangkan menurut
terminologi Ushul Fiqh, hukum adalah[5]:
“Khitab
(kalam) Allah yang mengatur amal perbuatan orang mukallaf, baik berupa iqtidla
(perintah, larangan, anjuran untuk melakukan, anjuran untuk meninggalkan),
Takhyir (kebolehan bagi mukallaf untuk memilih anatara melakukan dan tidak
melakukan), wadl (ketentuan yang menetapkan sesuatu menjadi sebab, syarat, atau
mani’ (penghalang)”.
Sedangkan menurut Prof.Muhammad Daud Ali pada bukunya yang berjudul
“Hukum Islam” menerangkan hukum Islam adalah
hukum yang bersumber dari bagian agama Islam, yang bedasarkan dari
ketetapan Allah, yang tidak mengatur hubungan manusia dengan manusia lain, dan
benda dalam masyarakat, dan hubungan-hubungan lainnya. [6]
Dari beberapa pengertian dari hukum syara’ atau hukum Islam diambil
kesimpulan, bahwa hukum syara’ merupakan dibebankan oleh mukallaf untuk
mengatur setiap hubungan dengannya, baik hubungan manusia kepada Tuhan,
hubungan manusia dengan manusia, dan
hubungan manusia terhadap benda sekitarnya. Adanya hukum akan membuat manusia
mendapatkan batasan-batasan diri sehingga tidak dikuasai hawa nafsu dalam
dirinnya, karena jika seseorang dikuasai hawa nafsu dalam dirinya maka rusaklah
ia, seperti dalam QS: al Mu’minun ayat 71.[7]
Dalam sistem hukum Islam ada lima kaidah yang dijadikan suatu tolak ukur
hukum yakni jaiz atau mubah, atau ibahah, sunah, makruh, wajib, dan haram.
Kelima patokan hukum ini disebut dengan istilah al ahkam al khamsah.[8]
Hukum taklifi:[9]
1.
Wajib
Menurut Abd Karim Zaidan, ahli hukum Islam
wajib adalah “sesuatu yang diperintahkan (diharuskan) oleh Allah dan Rasul
Nya untuk dilaksanakan oleh mukallaf, dan apabila dilaksanakannya akan mendapat
pahala dari Allah, sebaliknua apabila tidak dilaksanakan diancam dengan dosa.”[10]
Sehingga wajib ini adalah bentuk daripada
perintah untuk melakukan kegiatan, dan apabila tidak ia akan mendapat balasan
dari Tuhan. Seperti perintah mendirikan shalat lima waktu dalam QS.al Baqarah
ayat 2.
Bentuk hukum wajib dibagi menjadi beberapa
ketentuan, dilihat dari segi orang yang dibebani:
a. Wajib aini
Kewajiban yang dibebankan kepada mukallaf
tanpa terkecuali, seperti mendirikan shalat lima waktu sehari semalam, puasa
Ramadhan.
b. Wajib kifayah
Kewajiban yang dibebankan kepada mukallaf,
tetapi jika sudah dilaksanakan oleh sebagian mukallaf maka telah gugur
kewajiban mukallaf lainnya, seperti mengurus jenazah.
Dilihat dari
segi kandungan perintah terbagi menjadi:
a. Wajib mu’ayyan
Kewajiban dimana yang menjadi obyeknya
tertentu tanpa ada pilihan lain. Seperti, shalat lima waktu sehari semalam.
b. Wajib mukhayyar
Kewajiban dimana yang menjadi obyeknya dpat
dipilih beberapa pilihan alternatif. Seperti kewajiban membayar kaffarat.
Dilihat dari
waktu pelaksanaan, hukum wajib terbagi menjadi:
a. Wajib mutlaq
Kewajiban yang pelaksanaannya tidak
dibatasi dengan waktu tertentu. Seperti kewajiban mengganti diwaktu lain saat
membayar puasa Ramadhan yang tertinggal.
b. Wajib muaqqat
Kewajiban yang pelaksanaannya dibatasi
dengan waktu tertentu. Seperti kewajiban melaksanakan ibadah haji di waktu
bulan Dzulhijjah.
2.
Mandub atau sunah
Dari
pengertian kata adalah sesuatu yang dianjurkan. Menurut istilah menurut
Abdul Karim Zaidan, adalah suatu perbuatan yang dianjurkan oleh Allah dan
Rasul-Nya, akan diberi pahala orang yang melakukannya dan tidak berdosa orang
yang tidak melaksanakannya.[11]
Pembagian mandub atau sunah yang dikemukakan oleh Abdul Karim Zaidan terbagi
menjadi beberapa tingkatan:[12]
a. Sunah muakadah
Adalah sunah yang dianjurkan, atau sunah
atas perbuatan Rasul yang dibiasakan dan yang ditinggalkan. Misalnya shalat
sunah Fajar dua rakaat.
b. Sunah ghair al Muakkadah
Adalah sesuatu yang dilakukan oleh Rasul,
namun tidak menjadi kebiasaannya. Misalnya melakukan dua rakaat shalat Qabliah
sebelum shalat dhuhur.
c. Sunah al-Zawaid
Adalah melaksanakan kebiasaan sehari-hari
yang dilakukan Rasulullah sebagai manusia. Misalnya adab keseharian, makan
minum dan sebagainya.
Sehingga dalam pelaksanaan sunnah atau
segala sesuatu yang dianjurkan oleh umat manusia kepada praktek keseharianya
tidak lepas dari segala perilaku nabi Muhammad saw. hal ini dapat menjadi
kesimpulan dalam salah satu sumber hukum yang dilakukan oleh para mujtahid
adalah as-Sunnah.
3.
Haram
Haram secara etimologi adalah sesuatu yang
dilarang. Secara istilah Ushul Fiqh kata haram berarti sesuatu yang dilarang
oleh Allah dan Rasul-Nya. Apabila ada orang yang melanggarnya dianggap durhaka
dan diancam dengan dosa, dan orang yang meninggalkannya dianggap mentaati Allah
dan diberi pahala. Seperti larangan zina, seperti dalam QS.al-Isra’ 23.[13]
Dalam pembagian haram menurut Abdul Karim
Zaidan, antara lain:[14]
a. al Muharram li Dzatihi
segala sesuatu yang diharamkan oleh syara’
karena mengandung kemudharatan bagi kehidupan manusia, dan kemudharatan ini
tidak terpisah dari zatnya. Seperti QS.al-Isra’ 23 tentang larangan zina,
QS.an-Nisa’ 23, tentang larangan mengawini saudara sendiri.
b. al Muharram li Gairihi
sessuatu yang dilarang bukan karena
esensinya karena secara esensial tidak mengandung kemudharatan, namun dalam
kondisi tertentu, sesuatu itu dilarang karena ada pertimbangan eksternal yang
akan membawa kepada sesuatu yang dilarang secara esensial. Seperti QS.al-Jumuah
9 larangan tentang melakukan transaksi jual beli saat masuk waktu shalat
jum’at.
4.
Makruh
Dalam bahasa makruh adalah sesuatu yang
dibenci, sedangkan menurut istilah ulama Ushul Fiqh berarti sesuatu yang
dianjurkan syariat untuk meninggalkannya, dimana apabila ditinggalkan maka akan
mendapatkan pujian dan apabila dilakukan tidak berdosa. Misalnya berkumur-kumur
disiang hari saat bulan Ramadhan. [15]
menurut kalangan Hanafiyah makruh dibagi menjadi dua, antara lain:
a.
Makruh Tahrim
Sesuatu yang dilarang oleh syariat tetapi
dalil yang melarangnya bersifat dzanni al-Wurud (kebenaran datangnya
dari Rasul hanya sampai ke dugaan keras), tidak bersifat pasti. Misalnya
larangan meminang wanita yang sedang dipinang lelaki lain.[16]
Seperti dalam Hadist Rasulullah s.a.w: “dari Ibn
Umar ra. Dia berkata bahwa nabi SAW. Melarang untuk membeli sesuatu barang yang
masih dalam tawaran orang lain dan melarang seseorang untuk meminang seorang
wanita yang ada dalam pinangan orang lain sampai mendapatkan izin atau telah
ditinggalkannya. (HR.al-Bukhari)
Dari kalangan Hanafiyah ini dapat
memberikan pendapat bahwa makruh Tahrim ini sama halnya dengan sesuatu
yang diharamkan atau hukum haram dalam mayoritas ulama dari segi sama-sama
diancam dengan siksaan atas pelanggarnya.
b.
Makruh Tanzih
Sesuatu yang dianjurkan oleh syariat untuk
meninggalkannya. Misalnya memakan daging kuda dan susunya dalam keadaan waktu
perang. Menurut ulama Hanafiyah memakan daging kuda adalah haram berdasarkan
hadist riwayat Daraquthni, namun ketika sangat butuh diwaktu perang dibenarkan
memakannya meskipun dianggap makruh.[17]
5.
Mubah atau jaiz
Kelima kategori hukum ini dalam kepustakaan hukum Islam disebut dengan
hukum Taklifi, yakni kaidah hukum yang mengandung kewenangan terbuka.atau
memberi kebebasan kepada manusia untuk memilih tindakan yang akan dilakukannya
atau tidak.
Selain hukum taklifi dalam ketentuan hukum syara’ hukum wadh’I juga
masuk pada ketentuannya. Hukum wadh’I adalah hukum yang mengandung sebab,
syarat, dan mani’ halangan terjadinya suatu hukum yang akan membebankan
mukallaf.[18]
Semisal dari sebab pada hukum wadh’I, yakni sebab munculnya suatu hukum warisan
ada, sebab adanya kematian. Selain sebab dalam hukum wadh’I adalah syarat,
yakni sesuatu kepadanya tergantung pada suatu hukum.[19]
Maksud dari pengertian tersebut bahwa hukum akan muncul dengan adanya syarak
ketentuan yang cukup ada pada dirinya, apabila tidak ada syarat yang ada
padanya maka hukum tersebut tidak membebaninya, seperti dalam pengeluaran zakat
harta akan membebaninya apabila harta yang dimiliki mencapai batas nisab. Sedangkan
mani’ atau halangan adalah sesuatyu yang menghalangai hubungan hukum.[20]
Misalnya pembunuhan menghalangi seseorang untuk menerima warisan, atau orang
dalam keadaan gila merupakan halangan bagi seseorang untuk terbebani hukum.
B. EPISTIMOLOGI MU’TAZILAH, ASH’ARIYAH,
MATURIDIYAH
1.
Mu’tazilah
Sejarah munculnya aliran Mu’tazilah dilatar
belakangi oleh tokoh utama Mu’tazilah yakni, Washil bin Atha’. Saat Wasil menjadi salah seorang peserta
dalam kajian ilmiah Hasan al-Basri, dalam kajian tersebut yang terjadi
perbincangan hangat adalah pelaku dosa besar. Menurut Washil pelaku dosa besar
adalah mereka yang bukan mukmin dan bukan kafir, tetapi dia berada diantara dua
posisi itu. Mu’tazilah mensifati Tuhan dengan Esa (Qadim) dan berbeda
dari makhluk sifat ini adalah sifat salaby (negatif). Artinya Tuhan itu
berbeda dari makhlukNya dan tidak ada yang menyamainya.[21] Washil bin Atha’ tidak mengakui adanya sifat
Allah yang ilmu, qudrat, iradat, karena sama dengan orang-orang masehi, yang
mengakyui tiga sifat tersebut sebagai sifat tuhan dan masing-masing dari sifat
ini berdiri sendiri, dan diberi nama “oknum” (bapa, ibu anak, roh-kudus).[22]
Mereka berpendapat Allah menciptakan segala
sesuatu pastilah baik, Allah berkewajiban untuk kepentingan hambanya, menurutnya apabila orang yang meninggal dunia
dalam keadaan baik (bertobat) maka ia diakherat mendapatkan pahala, tetapi
apabila meninggal dalam keadaan tidak baik atau tidak bertobat maka akan
mendapatkan siksa neraka yang ringan, kecuali kafir. Mu’tazilah telah mengidentifikasi
lima doktrin dasar, yaitu: [23]
a. At-Tauhid (pengesaan Tuhan), mereka
menetapkan bahwa Allah mustahil dilihat di hari kiamat. Menurut mereka al-Quran
adalah makhluk.
b. Keadilan Tuhan (Teodisi atau al-Adl),
Allah tidak menyukai kerusakan dan tidak menciptakan hambaNya. Setiap perbuatan
yang dilakukan hamba adalah kehendak
dari hambanya sendiri.
c. Janji dan Ancaman (al-Wa’du wal Waid),
janji pahala yang Allah berikan kepada hambanya yang berbuat kebaikan, yakni
hambanya yang patuh atas perintahNya, serta ancaman adalah dosa dan penyiksaan
neraka yang Allah berikan untuk hambanya yang berbuat kerusakan.
d. Posisi tengah-tengah (al manzila bayn al
Manzilatayni), menurutnya posisi ini diberikan kepada orang yang beriman
atau orang mukmin yang percaya dengan adanya Tuhan (Allah), tetapi mereka tidak
melaksanakan kewajiban-kewajibannya atau mereka disebut dengan fasik (tidak
sempurna kebaikannya) tetapi mereka bukan kafir, karena telah bersyahadat. Di
akherat hanya ada kelompok orang ahl surge dan neraka, tetapi untuk orang fasik
ia akan kekal di neraka, tetapi ia tetap mukmin tetapi disebut dengan dzimmi
untuk membedakan dengan orang kafir.
e. Memerintahkan yang baik dan melarang yang
buruk. (al ‘amru bil ma’ruf wa l nahyu an al munkar). Setiap muslim
wajib untuk bersyiar keIslaman guna menyerang orang-orang zindiq yang
bertujuan untuk menghancurkan sendi-sendi keislaman.
Menurut
Mu’tazilah dalam menentukan segala pengetahuan dapat diperoleh dengan perantara
akal, kewajiban-kewajiban dapat diketahui dengan pemikiran yang mendalam. Baik
dan jahat diketahui melalui akal, sedangkan wahyu sebagai penjelas dari akal.[24]
Aliran
Mu’tazilah biasa disebut sebagai ahli ra’yu,
yakni aliran dalam ushul fiqh
yang teori-teorinya disusun setelah fiqh terbentuk, artinya mujtahid mengamati
perilaku orang mukallaf kemudian
menyusun fiqh induktif. Setelah itu disusunlah ushl fiqh untuk dasar-dasar
pengembangannya disamping kaidah fiqhnya juga. Biasanya urf, maslahah mursalah, istihsan diambil sebagai dasar hukum fiqh.[25]
2.
Ash’ariyah
Tokoh dari asy’ari adalah Abu Hasan al
Asy’ari, awal mulanya ia berguru pada al Juba’I , yakni salah seorang ulama
Mu’tazilah. Tetapi lambat laun Asy’ari berubah haluan dari Mu’tazilah karena
beberapa motif teologis, yang pertama ketidak puasan Asy’ari atas jawaban
al-juba’I terhadap keadilan Tuhan yang diukur dengan menggunakan batas-batas
akal manusia. Dan ia pernah mendapatkan petunjuk dari nabi lewat mimpinya.
Pemikiran teologi Ash’ariyah adalah sunnisme. Pokok-pokok pandangan Asy’ari
secara rinci, sebagai berikut:[26]
a. Al-Qur’an sebagai kalam Allah. bagi Asy’ari
al-Qur’an adalah sumber otoritas yang harus dipedomani, al-Qur’an adalah kalam
Allah yang bersifat qadim, karena sumber-sumber al-Qur’an adalah langsung dari
Allah.
b. Tuhan memiliki sifat. Menurut Asy’ari tuhan
dapat dilihat di akhirat. Pendiriannya didukung QS. al Qiyamah 22, “
wajah-wajah ketika itu berseri-seri memandang kepada Tuhannya”.
c. Perbuatan Tuhan dan teori Kasb. Berbeda
dengan pendapat mu’tazilah bahwa tuhan harus berbuat baik kepada makhluknya,
tetapi pendapat Asy’ari bahwa tuhan tidak memiliki kewajiban apa-apa untuk
makhluknya. Dengan kekuasaanNya yang mutlak tuhan dapat memberikan petunjuk
kepada siapa saja yang dikehendaki.
d. Konsep tentang Iman. Menurut Asy’ari kadar
iman bisa bertambah atau berkurang, karena iman itu menyangkut ucapan dan
perbuatan. Ketika Asy’aridihadapkan oleh
orang pendosa besar (mencuri, zina, dan peminum arak) ia mengatakan mereka
bukan orang kafir, selama apa yang mereka lakukan sadar bahwa itu perbuatan
haram., jadi selama didalam diri masih ada kepercayaan maka masih disebut
sebagai mukmin, tetapi fasik atas perbuatannya. Aliran Asy’ariyah ini
mengkultur dalam masyarakat yang disebut ahlus sunnah wal jama’ah.
Aliran
Mutakallimin adalah yang digunakan sebagai paham yang diikuti oleh aliran Asy’ariyah.
Aliran ini berfikir deduktif, dengan menyesuaikan perilaku umat terhadap
teori-teori ushl fiqh. Aliran ini
tidak menggunakan urf, maslahah mursalah,
istihsan, karena dalil ini bias bertentangan dengan qiyas am. Aliran ini
menggunakan istishab yaitu dalil yang
memandang persoalan hukum, selama tidak ada dalil yang mengubah maka tetap
berlaku sampai sekarang dan masa depan.[27]
3.
Maturidiyah
Tokohnya adalah imam Abu Mansur Muhammad
bin Muhammad bin Mahmud al-Maturidi, dalam pemikiran al-Maturidi dipengaruhi
pola pikir Imam Abu Hanifah, yang banyak menggunakan rasio dalam pemikirannya.
Diantara pemikiran-pemikirannya dalam masalah Teologi adalah:[28]
a. Mengenai al-Qur’an, menurut al-Maturidi
tentang al-Qur’an sama dengan Imamnya dan Asy’ari yakni kalam Allah adalah
Qadim, yang tidak dapat dirubah, tidak diciptakan, tidak baru dan tidak ada
permulaannya.
b. Mengenai sifat Allah, al-Maturidi sama
dengan asy’ari, baginya tuhan juga mempunyai sifat-sifat, seperti adanya nash
yang menunjukkan bahwa Allah mensifati diriNya dengan sifat mendengar dan
melihat. Menurutnya Tuhan mengetahui bukan dengan dzatNya tetapi dengan
sifatNya.
c. Masalah Iman dan Islam, menurut al-Maturidi
iman harus dengan akal, ia berpendapat: “sekiranya Allah tidak mengutus
seorang Rasul kepada manusia, maka wajib atas mereka mengetahui adanya Allah
dengan melalui akalnya, baik berhubungan dengan sifat al-Hayat , al-ilm,
al-Qudrat dan lain sebagainya”.
d. Masalah Melihat Allah, menurut al-Maturidi
dalam melihat tuhan sama halnya dengan asy’ari
yakni tuhan dapat dilihat kelak. Bagi al-Maturidi melihat Allah adalah
sesuatu yang terjadi tanpa adanya interpretasi, yakni kita dituntut untuk
beriman adanya Rukyatullah, karena ada adanya penjelasan dalil syara’
sementara akal tidak bisa untuk mencari alasan ditetapkannya.
e. Masalah dosa besar, dalam pengelompokan
dosa besar al-Maturidi cenderung pada pendapat murjiah, demikian juga dengan
guru besarnya. Menurutnya orang yang berdosa besar adalah mukmin, adapun
nasibnya diakherat kelak terserah kepada Tuhan.
Sebagaiman Abu Hanifah berpendapat
bahwa seorang muslim tidak bisa menjadi kafir dengan berbuat dosa,
meskipun dosa besar.
f. Masalah baik buruk, dalam hal ini
al-Maturidi lebih dekat dengan mu’tazilah, ia mengatakan bahwa akal dapat
mengidentifikasikan yang baik dan yang buruk.
Pada paham
ketuhanan yang digunakan pada aliran Muaturidiyah lebih kepada paham Asy’ari,
karena keduanya juga merupakan aliran sebagai pembelaan terhadap Sunnah. Dalam
pemikirannya tentang akal dan wahyu untuk mengetahui Tuhan dan kewajiban
mengetahui Tuhan dapat diketahui dengan akal. Kemampuan akal dalam mengetahui
dua hal tersebut sesuai dengan nash al-Qur’an
yang memerintahkan manusia agar menggunakan akal dalam usaha memperoleh
pengetahuan dan keimanannya terhadap Allah melalui pengamatan dan pemikiran
yang mendalam tentang makhluk ciptaanNya.[29]
C. IJTIHAD
1.
Pengertian
Secara etimologi kata ijtihad
berarti bersungguh-sungguh menggunakan tenaga atau fisik dan fikiran. Secara
istilah menurut ulama’ Syafi’iyah al-Baidawi menerangkan ijtihad sebagai
“pengerahan seluruh kemampuan dalam upaya menemukan hukum-hukum syara’.
Sedangkan Abu Zahra mendefinisikan ijtihad
sebagai “pengerahan seorang ahli fikih akan kemampuannya dalam upaya menemukan
hukum yang berhubungan dengan amal perbuatan dari satu per satu dalilnya.”[30]
Sedangkan menurut ulama’ umum seperti yang dicantumkan pada buku Ahmad
Kusairi yang berjudul, “Kerangka
Pengembangan Hukum” menjelaskan ijtihad:[31]
بَدْلُ وُسْعَةِ الرَّجُلِ وَطَاقَتِهِ فىِ طَلَبِهِ
لِيَبْلُغَ مَجْهُوْدَهُ وَ يَصِلُ اِلىَ نِهَايَتِهِ
yang artinya “pengerahan kesanggupan dan
kekuatan dalam melakukan pencarian sesuatu untuk bisa sampai pada puncak yang
diharapkan.
Sehingga
dapat disimpulkan oleh beberapa pendapat ulama tentang pengertian ijtihad
adalah suatu kegiatan orang alim yang paham akan ilmu dalil-dalil syara’ serta
ahli fikih yang melakukan kegiatan berfikir keras atas suatu dalil syara yang
kemudian melahirkan suatu hukum amaliyah yang membebankan pada mukallaf
sehingga dapat terjadi kedamaian dan kebaikan pada umat manusia.
Dasar hukum ijtihad, yakni
membolehkan seseorang untuk melakukan ijtihad, seperti dalam QS.
an-Nisa’ ayat 59, yang berbunyi:[32]
Yang artinya: “hai orang-orang yang beriman
taatilah Allah dan taatilah Rasul-Nya, dan ulil amri diantara kamu. Kemudian
jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada
Allah (al-Qur’an) dan Rasul (Hadist), jika kamu benar-benar beriman kepada
Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama bagimu dan lebih baik
akibatnya”.(QS.an-Nisa’ 59)[33]
2.
Alasan melakukannya
Munculnya pembahasan ijtihad dalam
masyarakat adalah membentuk atau memunculkan suatu hukum yang belum ada pada awalnya serta pada suatu
keadaan tertentu, sehingga membuat mujtahid (orang yang berijtihad)
berfikir keras dengan istinbathnya sehingga mendapatkan hukum yang
diinginkan. Fungsi ijtihad
menurut Imam Syafi’I dalam buku besarnya
ar-Risalah menjelaskan bahwa, “maka tidak terjadi suatu peristiwa pun
pada seorang pemeluk agama Allah, kecuali dalam kitab Allah terdapat petunjuk
tentang hukumnya”.[34]
Dalam kata lain menurut pendapat Imam Syafii telah menjelaskan bahwa pedoman
hidup manusia adalah al-Qur’an. Apabila manusia tidak mendapatkan bentuk hukum
yang terjadi pada kegiatan amaliyah-nya maka manusia dituntut untuk dapat
berfikir keras mengeluarkan segala kemampuan pikirannya untuk dapat menemukan
suatu hukum pada suatu peristiwa tersebut.
Seperti dalam QS.al-Baqarah 219.[35]
Artinya: demikianlah Allah menerangkan
ayat-ayat-Nya kepadamu supaya kamu
berfikir. [36]
Menurut imam Syafi’I dalam menggambarkan ijtihad
disamping al-Qur’an dan Sunah Rasul, ijtihad berfungsi baik untuk
menguji kebenaran riwayat hadis yang tidak sampai ketingkat hadist Mutawattir.
Sehingga dalam memahami hadist yang tidak tegas pengertiannya sehingga tidak
langsung dapat dipahami kecuali dengan ijtihad dan berfungsi untuk mengembangkan
prinsip-prinsip hukum yang terdapat pada al-Qur’an dan sunah seperti qiyas,
istihsan, dan maslahah mursalah. Sehingga dengan metode ijtihad
tersebut dalil-dalil yang ada pada al-Qur’an dan as Sunnah yang terbatas
daripada peristiwa yang selalu berkembang disetiap waktu, dapat terjawab dengan
ijtihad.
3.
Garis besar prosedurnya
Serta ada beberapa hukum ijtihad
dalam permasalahan ini sedikitnya ada tiga bagian yang terperinci, yakni:[37]
a. Wajib dan mengharamkan adanya taklid.
Adapun pemuka yang memotori golongan ini dikategorikan dalam golongan dzahiriyah,
mu’tazilah, dan sebagian dari golongan syiah.
b. Ijtihad dan taklid tidak boleh setelah masa empat mujtahid
mutlak (Imam Syafi’I, Imam Hanafi, Imam Hanbali, Imam Ahmad), yang mengeluarkan
doktrin ini adalah kelompok al-Hasyawiyah dan al-Ta’limiyah
c. Ijtihad wajib bagi orang yang sudah memenuhi kriteria untuk
melakukan ijitihad dan taklid itu diperbolehkan bagi orang yang
tidak tahu.
Selain hal tersebut ada beberapa ulama yang berpendapat hukum ijtihad
terbagi dalam beberapa, pertama.
wajib’ain, bagi orang yang sudah memenuhi syarat untuk ber-ijtihad. Kedua,
wajib kifayah, jika dipandang dari sekelompok dari komunitas mujtahid. Ketiga,
sunah jika ijtihad dilakukan untuk berbagai hal yang tidak atau
belum terjadi. Keempat, haram apabila dilakukan terhadap hal-hal yang
memang sudah ada atau sudah ditegaskan dalam dalil-dalil yang qat’i.
Serta dari lapangan ijtihad para
ulama fikih bersepakat bahwa ayat-ayar hadist sudah tidak diragukan lagi
kepastiannya (qat’i) yang datang dari Allah dan Rasul-Nya, serta para
ulama fikih juga bersepakat tidak dilaksanakan ijtihad apabila telah
dengan jelas adanya ayat-ayat atau hadis yang dengan tegas menerangkannya,
tetapi adapun hal-hal yang menjadi lapangan ijtihad, seperti yang
dikemukakan Abdul Wahhab Khalaf, adalah masalah-masalah yang tidak pasti atau zanni baik dari segi datangnya dari Rasulullah atau
dari segi pengertiannya dapat dikategorikan menjadi tiga hal:[38]
a.
Hadist Ahad, yakni hadis yang diriwayatkan oleh seorang atau beberapa
orang yang tidak sampai ketingkat hadist mutawatir. Hadist Ahad dari segi
kepastian datangnya dari Rasulullah hanya sampai ke tingkat dugaan kuat , dalam
arti tidak tertutup kemungkinan adanya pemalsuan meskipun sedikit. Dalam hal
ini seorang mujtahid perlu melakukan ijtihad dengan cara meneliti
kebenaran periwayatannya.
b.
Lafal-lafal atau redaksi al-Qur’an atau hadis yang menunujuk
pengertiannya yang zanni . fungsi ijtihad disini adalah
mengetahui makna yang sebenarnya yang dimaksud oleh suatu teks. Dan hal ini
sering membawa kepada perbedaan pendapat ulama dalam menetapkan hukum.
c.
Masalah-masalah yang tidak ada dalam teks ayat hadist dan tidak ada pula
dalam ijma’ yang menjelaskan
hukumnya. Fungsi ijtihad disini untuk meneliti dan menemukan hukumnya
lewat tujuan hukum seperti qiyas, istihsan, maslahah mursalah, ‘urf, istihsab.
Disini terdapat kemungkinan besar dalam perpedaan pendapat antar mujtahid.
D. MUJTAHID
Pengertian mujtahid secara umum adalah
orang yang paham dengan dalil-dalil qath’I dan mengeluarkan seluruh
pikirannya untuk berfikir dalam menemukan sebuah ketetapan hukum yang tidak ada
dalam dalil-dalil qath’i.
Adapun kriteria-kriteria seseorang yang
diisyaratkan sebagai mujtahid menurut Wahbah al-Zuhaili:[39]
1.
Mengetahui makna ayat-ayat hukum yang terdapat dalam al-Qur’an baik
dalam bahasa atau istilah. Seorang mujtahid selain dapat memahami harus
menghafalkannya, sehingga dengan mudah ia dapat menggunakan ayat-ayat hukum
tersebut yang jumlahnya kurang lebih 500 ayat.
2.
Mengetahui makna hadist, seperti halnya dengan al-Qur’an. Dalam hadist,
mujtahid tidak dituntutuntuk menghafalnya tetapi hanya cukup mengetahui
kedudukan hadist tersebut. Untuk jumlahnya terjadi perbedaan antar kalangan
ulama’, ada yang mengatakan 3000 hadis (Ibn Arabi), dan 1200 hadist menurut
Ahmad Ibn Hanbal.
3.
Mengetahui nasihkh dan mansukh baik dari al-Qur’an atau hadis seperti
dalam memahami berbagai literatur yang memang khusus membahas tentang hal
tersebut. Contoh karya ibn Khuzaimah, ibn al Jauzi.
4.
Mengetahui ijma’ sehingga dalam berfatwa tidak menyalahi ijma’.
Seperti dalam memahami karya Ibn Hazm yang berjudul maratib al-Ijma’.
5.
Mengetahui permasalahan-permasalahan dalam qiyas yang memang
mendapat legitimasi dalam ajaran Islam.
6.
Mengetahui tata cara dalam menggunakan bahasa Arab. (nahwu, sharaf,
balaghah, dan cabang ilmu lain tentang kebahasaan).
7.
Mengetahui metode pencetusan hukum yang benar atau yang kita kenal
dengan ushul fiqh .
8.
Mengetahui maqasidus syariah dalam menetapkan hukum.
Selain syarat-syarat mujtahid, adapun
tingkatan-tingkatan mujtahid. Sebagaimana Abu Zahra membagi mujtahid kepada
beberapa tingkatan, yaitu mujtahid mustaqil, mujtahid muntasib, mujtahid fi
al-Mahzab, mujtahid fi at-Tarjih.[40]
1.
Mujtahid mustaqil, merupakan tingkatan tertinggi mujtahid mustaqil biasanya juga
disebut dengan mujtahid Mutlak. Disebut dengan mujtahid mustaqil yang
berarti independen, karena mereka terbebas dari taklid kepada mujtahid lain,
baik dalam metode ataupun dalam furu’ (fikih hasil ijtihad) dan
menggunakan metode istinbath nya sendiri. Contohnya adalah empat imam
Mujtahid (Imam Abu Hanifa, Imam Malik, Imam Syafi’I, dan Imam Ahmad Ibn Hanbal).
2.
Mujtahid muntasib, yakni mujtahid yang dalam masalah ushul fiqh, meskipun kemampuannya ia
mampu merumuskannya, namun tetap berpegang pada ushul fiqh salah seorang Imam mujtahid
muntasib. Mujtahid seperti ini dinisbahkan kepada salah seorang mujtahid
muntasib karena menggunakan metode istinbathnya. Contohnya adalah
murid-murid Abu Hanifah seperti Qadhi Abu Yusuf
3.
Mujtahid fi al-Mahzab,
yaitu tingkat mujtahid yang dalam ushul fikih dan furu’bertaklid kepada
imam mujtahid tertentu. Mereka melakukan ijtihad dalam meng-istinbath-kan
apabila permasalahan-permasalahan yang tidak ada dalam kitab-kitab imam mahzab
mujtahid yang menjadi panutannya. Dan tidak berijtihad pada
masalah-masalah yang sudah ditegaskan hukumnya dalam buku fikih mahzabnya.
Missal Abu al-Hasan al-Karkhi.
4.
mujtahid fi at-Tarjih adalah mujtahid
yang mengistinbathkan hukum tetapi sebatas memperbandingkan berbagai mahzab
atau pendapat, dan mempunyai kemampuan untuk mentarjih yang telah dirumuskan
oleh ulama-ulama mujtahid sebelumnya.
PENUTUP
A.
KESIMPULAN
Hukum Secara etimologi kata hukum atau al
hukm berarti mencegah atau memutuskan. Dalam sistem hukum Islam ada lima
kaidah yang dijadikan suatu tolak ukur hukum yakni jaiz atau mubah, atau
ibahah, sunah, makruh, wajib, dan haram.
Dalam pemikiran epistimologi keislaman terdapat beberapa aliran atau
kelompok keyakinan, antara lain mu’tazilah, asy’ariyah, dan maturidiyah. Dalam
paham Mu’tazilah mengidentifikasi lima doktrin dasar, yaitu: [41]At-Tauhid
(pengesaan Tuhan), Keadilan Tuhan (Teodisi atau al-Adl), Allah tidak
Janji dan Ancaman (al-Wa’du wal Waid), Posisi tengah-tengah (al manzila bayn
al Manzilatayni, Memerintahkan yang baik dan melarang yang buruk. (al
‘amru bil ma’ruf wa l nahyu an al munkar). Sedangkan dalam Pokok-pokok
pandangan Asy’ari secara epistimologi sebagai berikut:[42]Al-Qur’an
sebagai kalam Allah, Tuhan memiliki sifat, Perbuatan Tuhan dan teori Kasb. Dan
konsep tentang Iman. Pendapat golongan Maturidiyah Diantara
pemikiran-pemikirannya dalam masalah Teologi adalah:[43]Mengenai
al-Qur’an, Mengenai sifat Allah, masalah Iman dan Islam, Masalah Melihat Allah,
Masalah dosa besar, dan Masalah baik buruk. ijtihad berarti
bersungguh-sungguh menggunakan tenaga atau fisik dan fikiran. Secara istilah menurut
ulama’ Syafi’iyah al-Baidawi menerangkan ijtihad sebagai “pengerahan
seluruh kemampuan dalam upaya menemukan hukum-hukum syara’. Pengertian mujtahid
secara umum adalah orang yang paham dengan dalil-dalil qath’I dan
mengeluarkan seluruh pikirannya untuk berfikir dalam menemukan sebuah ketetapan
hukum yang tidak ada dalam dalil-dalil qath’i.
DAFTAR PUSTAKA
Ali, Muhammad Daud. Hukum Islam dan Tata Hukum
Islam di Indonesia. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2013.
Basri.Hasan, Murif Yahya, dan Tedi
Priatna, Ilmu kalam:Sejarah Pokok Pikiran
Aliran-Aliran. Bandung:Sega Arsy, 2009.
Departemen Agama RI, al-Qur’an dan tafsirnya (Edisi
Yang Disempurnakan) vol.1. Jakarta:Departemen RI, 2009.
Effendi,
Satria.Ushul Fiqh. Jakarta: Prenada Media Group, 2005.
Etta Mamang Sangadji dan Sopiah, Metodologi
Penelitian Pendekatan Praktis dalam Penelitian. Yogyakarta:CV.Andi Offset, 2010.
Falah, Riza Zahriyal. Filsafat Islam dalam Ilmu Ushul
Fiqh. Jurnal Yudisia Vol.
6, No.2.2015
Ghazali,Adeng Muchtar..Pluralisme Dan Fenomena
Aliran Keagamaan Dalam Islam. Jurnal, 2008.
H.Zainuddin Ali.Hukum Perdata Islam di
Indonesia. Jakarta: PT Sinar Grafika, 2014.
Hamidi, Ridwan. Epistimologi Islam:Telaah
Bidang Fiqh dan Ushul Fiqh. Jurnal Prosiding Seminar Nasional:Pengembangan Epistimologi Ilmu Hukum.
Hasbiyallah. Fiqh dan Ushul FiqhMetode Istinbath dan Istidlal. Bandung:PT Remaja Rosadakarya, 2014.
Kusairi.Ahmad, Evolusi Ushul Fiqih (Konsep dan Metodologi Hukum
Islam). Yogyakarta: Pustaka Ilmu Grup, 2014.
Mufid,Fathul. Menimbang Pokok-Pokok Teologi Imam
A-Asy’ari Dan Al Maturidi. Jurnal Ilmu Aqidah dan studi, 2013.
Muhaimin, Abdu Mujib, Jusuf Muzakir. Studi
Islam Dalam Ragam Dimensi dan Pendekatan. Jakarta:Prenada Media, 2012.
Muhammad Ba’abduh,Luqman. Menebar Dusta, Membela
Teroris Kharij.Malang:Pustaka Qaulan Sadida, 2007.
Nasution, Harun Teologi
Islam:Aliran-Aliran sejarah Analisa Perbandingan. Jakarta:UI Press, 1986.
Natta, H.Abuddin, Studi Islam
Komprehensif. Jakarta:Kencana, 2011.
Rusli,H.Ris’an. Pembaharuan Pemikiran Modern Islam.
Jakarta: Rajawali Press, 2013.
Yazid,Abu. Penelitian Hukum (Hukum Islam-Hukum Barat). Yogyakarta: Pustaka Pelajar,t.th.
Zulhelmi..Epistimologi Pemikiran Mu’tazilah
Pengaruhnya Terhadap Perkembangan Pemikiran Islam Di Indonesia. Jurnal
JIA.XIV.2. t.t, 2013.
[1]H.Zainuddin
Ali.Hukum Perdata islam di Indonesia (Jakarta: PT Sinar Grafika.
2014).4.
[2] Ibid.
[3] Hasbiyallah. Fiqh dan Ushul FiqhMetode
Istinbath dan Istidlal (Bandung:PT Remaja Rosadakarya .2014).9.
[4] Etta
Mamang Sangadji dan Sopiah, Metodologi Penelitian Pendekatan Praktis dalam
Penelitian (Yogyakarta:CV.Andi Offset.2010). 28.
[5] Satria
Effendi. Ushul Fiqh (Jakarta: Prenada Media Group. 2005). 36.
[6] Muhammad
Daud Ali. Hukum Islam (Jakarta: PT.Raja Grafindo Persada. 1990). 42-43.
[7] Al-Isra’
ayat 7-10 yang artinya: “andaikata kebenaran itu menuruti hawa nafsu mereka
pasti binasalah langit dan bumi ini, dan semua yang ada didalamnya. Dan
sebenarnya kami telah mendatangkan kepada mereka kebanggaan (al Qur’an)mereka
tetapi mereka berpaling dari kebanggaan itu. (QS. al Mu’minun ayat 71)
[8] Muhammad
Daud Ali. Hukum Islam …., 44.
[9] Satria Effendi, Ushul …., 43-44.
[10] Ibid.,
45.
[11] Ibid.,52.
[12] Ibid.,53.
[13] Ibid.,53.
[14] Ibid.,55-57.
[15] Ibid.,58.
[16] Ibid 58
[17] Ibid 59
[18] Muhammad
Daud Ali, Hukum …, 45.
[19] Ibid 46
[20] Ibid 46
[21]Zulhelmi, “Epistimologi
Pemikiran Mu’tazilah Pengaruhnya Terhadap Perkembangan Pemikiran Islam di
Indonesia. Jurnal JIA Vol. 14, No.2.2013 hal 128-129
[22] Ibid,
130.
[23] Ibid.,130-133.
[24] Hasan
Basri, Murif Yahya, dan Tedi Priatna, “Ilmu kalam:Sejarah Pokok Pikiran
Aliran-Aliran” (Bandung:Sega Arsy, 2009),75-76.
[25] A.Chozin
Nasuha, Epistimologi Ushul Fiqh (Jakarta:dikti kemenag tt), 7.
[26] Fathul
Mufid, “Menimbang
Pokok-Pokok Pemikiran Teologi Imam Al-Asy’ari dan Al-Maturidi ”, (Jurnal FikrahVol.
1,
No.2.2013).
211-220.
[27] A.Chozin
Nasuha, Epistimologi,.7.
[28] Fathul
Mufid, Menimbang…,
221-225.
[29] Harun
Nasution, Teologi Islam:Aliran-Aliran
sejarah Analisa Perbandingan, (Jakarta:UI Press, 1986), 69.
[30] Satria
Effendi, Ushul …, 245-246
[31] Ahmad
Kusairi, Evolusi Ushul Fiqh (Konsep dan Pengembangan Metodologi Hukum Islam)
( Yogyakarta: Pustaka Ilmu.2014). 112.
[32] al-
Qur’an. 4:59
[33] Departemen Agama RI.
Al-Qur’an dan Tafsirnya (Edisi Yang Disempurnakan). Vol.1 (Jakarta:Departemen
Agama RI.2009). 61.
[34] Satria
Effendi, Ushul …, 249.
[35] al-
Qur’an. 2:219
[36] Departemen Agama RI.
Al-Qur’an dan....,221.
[37] Ahmad
Kusairi, Evolusi …, 114.
[38]Satria
Effendi, Ushul …, 251.
[39] Ahmad
Kusairi, Evolusi ...,115-116.
[40] Satria Effendi, Ushul ..., 257-258.
[41] Ibid,130-133.
[42] Fathul
Mufid, Menimbang
Pokok-Pokok Pemikiran Teologi Imam Al-Asy’ari dan Al-Maturidi, (Jurnal FikrahVol.
1,
No.2.2013),
211-220
[43] Ibid
221-225
Labels:
Makalah
Thanks for reading Teori Hukum Dalam Islam (Ushul Fiqh). Please share...!
0 Komentar untuk "Teori Hukum Dalam Islam (Ushul Fiqh)"