“Ketika santri sedang ‘menghadap’ kiai, pada dasarnya santri tersebut sedang melakukan atau melatih tiga hal sekaligus dalam dirinya. Pertama, menaati perintah Tuhan. Kedua, menghormati orang lain, terlebih orang tersebut adalah seorang guru, lebih tua dan dinilai memiliki kapasitas keilmuan yang dalam dan mumpuni. Dan yang ketiga, pada saat yang sama, yakni saat santri ‘menghadap’ kiai/ guru, sejatinya santri tersebut juga sedang menghadapi dirinya sendiri.”
Hanya Sebuah Gambar, Tidak ada hubungan dengan tulisan source img |
Dari kalangan mereka, banyak saudagar besar yang sekaligus bertindak sebagai penguasa (“wali”) pemerintahan bandar-bandar tersebut. Suasana otonom pemerintahan kota pantai itu diperkuat dengan berdirinya gilda-gilda perdagangan berbentuk lingkungan bangunan dengan tempat-tempat penginapan para saudagar dari luar wilayah. Tempat penginapan itu disebut “pondok”, dari perkataan Arab “funduq” yang berasal dari perkataan Yunani “pandokheyon” atau “pandokeyon” yang berarti penginapan dalam terminologi Arab modern, “funduq” berarti hotel. Para saudagar itu, dengan kearifan kosmopolitan mereka, juga berperan sebagai tempat meminta nasihat bagi masyarakat luas, gilda-gilda dagang mereka menjadi tujuan para penuntut kearifan, dan pondok-pondok mereka menjadi tempat menginap para penuntut yang datang dari jauh. Berangsur-angsur “pondok” yang semula merupakan penginapan para saudagar berkembang menjadi “pondok” penginapan para penuntut ilmu dan kearifan, sama dengan gejala yang umum didapatkan di seluruh dunia Islam saat itu, dengan nama-nama yang berbeda seperti zawiyah, ribath, khaniqah, dan tekke.
Semua itu sekaligus merupakan tempat pertemuan kaum sufi, yang dalam banyak hal mereka itu juga kaum pedagang.
Konsep “pondok” kemudian terpadukan dengan konsep “padepokan”, dan terbentuklah “pondok” sebagai institusi pendidikan dan kajian yang khas Indonesia seperti yang kita saksikan sekarang. Para pencari kearifan itu, sebagaimana kelaziman mereka yang menuntut ilmu, adalah orang-orang yang mengembangkan kecakapan tulis-baca, karena itu mereka disebut kaum shastri. Dengan kedudukan mereka sebagai murid seorang guru arif-bijaksana yang disebut kiyahi, mereka disebut juga kaum cantrik, orang yang berguru atau magang.
Konon, salah satu dari dua pengertian itu menjadi asal sebutan “santri”, dan tempat mereka belajar atau berkumpul disebut secara lengkap “pondok pesantren”, yaitu penginapan dan tempat kaum santri berguru kepada seorang kiyahi.
Pesantren, untuk saat sekarang, tentu saja orang berbeda-beda cara melihat dan menilainya. Jamak yang masih menghormati dan berusaha untuk tetap ‘nguri-nguri’ atau melestarikannya sebagai “sebuah warisan yang sangat berharga” yang memang ditujukan untuk mewadahi para pencari ilmu pengetahuan, kearifan, juga pengalaman-pengalaman keagamaan (religious experience). Namun, disisi lain, tak jarang pula yang kurang senang terhadap pesantren, bisa dikatakan kurang ramah dalam menilainya. Barangkali disebabkan oleh sistemnya yang seolah-olah sentralistik-feodalistik.
Kehidupan kiai di pesantren yang seakan-akan “keep distance” atau “keep aloof” terhadap santri-santrinya, ucapan atau dhawuh-nya yang kerapkali tak bisa dipertanyakan lagi, perintahnya yang wajib dilaksanakan. Tak boleh ada keraguan atasnya, haram dibantah, apalagi menentangnya. Sebagai seorang santri, penulis merasa geli terhadap penilaian-penilaian seperti ini.
Meski penulis merasa belum lama tinggal di pesantren (masih sekitar 12 tahun sampai saat ini), tetapi penulis masih ingin terus mencoba memahami dan mendalami apa itu “hidup” di pesantren, semisal apa yang penulis rasakan pada tiap harinya di pesantren dan apa yang perlu penulis ketahui tentang makna dari setiap tingkah laku dan peristiwa di pesantren.
Ya, salah satunya mengenai relasi antara santri dengan kiainya. Setidaknya ada tiga poin penting yang perlu disampaikan disini berdasar yang penulis rasakan dan pahami. Seperti yang sudah disinggung di atas, relasi antara santri dengan seorang kiai merupakan relasi yang tidak biasa, begitu dalam dan sangat intens. Artinya, ada makna-makna yang tidak gampang diterjemah oleh mata. Pertama, peristiwa menghadap kiai adalah juga peristiwa menaati Tuhan.
Penting untuk dicatat bahwa kata “menghadap” disini dimaksudkan bukan semata-mata atau sekadar menghadap dalam arti fisik/ jasadi, tetapi lebih dari itu. Maksud penulis adalah pada saat kita mengenang kiai/ guru kita, mendo’akan beliau, membayangkan wajah sejuknya, mengingat-ingat setiap ucapan dan meneladani laku-lampah beliau, itu semua juga termasuk peristiwa “menghadap” atau sowan kepada kiai. Yakni, selalu ada “kebersamaan” disini, dan tidak selalu bersifat fisik.
Kehidupan adalah juga sebuah pencarian. Mencari dan terus mencari. Sadar atau tidak. Baik yang dicari adalah hal-hal yang bermanfaat atau tidak. Contoh paling sederhana adalah saat orang lapar, tentu ia akan mencari makanan, ketika haus langsung mencari minuman, tatkala suntuk spontan mencari hiburan, dan seterusnya. Nah, di dunia ini kita tentu saja tidak melulu mencari kesenangan dan kebutuhan-kebutuhan jasmani saja, tetapi juga ada kebutuhan intelektual dan spiritual yang mesti dicari dan dicukupi.
Mencari ilmu (thalab al ‘ilmi/ ngangsu kaweruh) dan mengaplikasikannya, selain hal tersebut berguna sebagai penawar dahaga intelektualitas dan spiritualitas seseorang, juga merupakan perintah Tuhan karena Dia care atas umat manusia. Itu semua diperintahkan guna memperbaiki dan meng-upgrade kualitas seseorang sebagai hamba-Nya yang kemudian bisa mengantarkan seseorang tersebut kepada-Nya. Percuma banyak ilmu jika itu tak memiliki dampak (atsar) positif yang signifikan terhadap kualitas seseorang.
Man yazdad ‘ilman wa lam yazdad hudan, lam yazdad minallahi illa bu’dan (barangsiapa bertambah ilmunya namun tidak bertambah petunjuknya, maka dia tidak bertambah apa-apa kecuali bertambah jauh dari Allah). Salah satu metode yang ditawarkan Tuhan untuk mendekati-Nya adalah dengan cara mendekati para kekasih-Nya, yakni para ‘ulama, kiai atau seorang guru.
Mereka memang diberi amanah berupa ilmu oleh Tuhan. Jika kita sedang mendekati kiai/ guru, itu artinya kita juga dalam rangka mendekati-Nya. Jadi, kiai bukan sekadar orang lain bagi kita, tetapi lebih sebagai wakil-Nya. Mendekati manusia dengan misi ketuhanan, itulah yang dilakukan seorang santri terhadap kiainya.
Kedua, menghadap kiai dalam rangka melatih diri kita untuk tetap menghormati orang lain, apalagi orang tersebut lebih tua (baik secara kuantitas maupun kualitas, secara usia maupun kematangan ilmu dan kearifan) dan sangat berjasa terhadap diri kita.
Kualitas kita dimata manusia ditentukan oleh seberapa pandai kita menghormati orang lain, baik itu terhadap yang dibawah umur kita, sepantaran atau terhadap yang lebih tua. Makanya, agama sangat mengaksentuasi dan concern terhadap akhlak, bukan hanya akhlak kepada Tuhan, namun juga kepada manusia dan lingkungan.
Ditempat tertentu barangkali ada sebuah sistem sosial di mana seorang guru diperlakukan atau dihormati seperlunya (formalitas), tidak jauh berbeda dengan yang lain. Artinya, saat ia mengajar, ia adalah gurunya, begitu selesai, ia kembali menjadi orang lain. Berbeda dengan pesantren, seorang kiai/ guru sangat dijunjung tinggi dan begitu dihormati, sampai kapanpun, sebab kiai/ guru bukanlah sosok yang remeh-temeh. Dia termasuk orang-orang yang “ choosen” atau pinilih.
Tidak hanya dikalangan santri, tetapi juga masyarakat. Tradisi cium tangan dan menundukkan kepala yang dilakukan seorang santri terhadap kiainya adalah salah satu wujud dari cara mereka mencintai dan menghormati. Jadi sama sekali bukan adegan pengultusan.
Dan inilah yang mungkin kerap dituduh sebagai pemandangan atau gambaran atas feodalisme yang hidup subur di pesantren. Orang-orang pesantren sendiri semisal penulis mungkin tak peduli terhadap anggapan-anggapan semacam ini, sebab yang mereka perlukan adalah selalu menjaga nilai-nilai tersebut tetap berada dalam dirinya, lagipula hal tersebut sangat erat kaitannya dengan kualitas diri, baik dari segi moral maupun spiritual.
Yang terakhir adalah menghadap kiai sejatinya juga menghadapi diri sendiri. Maksudnya seberapa kuat kita mengendalikan diri, mengalahkan diri kita sendiri, sebuah upaya untuk melatih tidak menonjolkan “aku” dihadapan orang lain.
Kita dipaksa untuk tunduk sedalam-dalamnya. Kita dipaksa “kalah” untuk “menang”. Rela “dijajah” demi “kemerdekaan sejati”. Secara rasioal perilaku seperti ini bisa jadi aneh atau non-sense, namun kita punya dimensi spiritual (bathiniyah) yang memang harus dilatih dengan cara-cara tertentu, bahkan cara-cara tersebut seringkali tak sejalan dengan akal kita. Akal mungkin akan memerintahkan kita untuk memberontak saat melihat manusia “tunduk” terhadap sesama manusia. Memang benar, kita tidak boleh tunduk kepada makhluk, tetapi ketundukan seperti ini tidak bisa semata-mata diartikan atau diinterpretasi sebagai ketundukan makhluk terhadap makhluk, namun lebih kepada “latihan (riyadlah) mengalahkan diri sendiri dan menundukkan ego”.
Sebab, tidak semua orang sanggup melakukan hal demikian, yakni managemen egoisme/ ananiyah. Latihan menundukkan diri sendiri tersebut yang kemudian diarahkan kepada titik kesadaran (consciousness) “mengenal diri sendiri” atau dalam bahasa Yunani disebut gnothi seauton. Nabi sendiri memberitakan bahwa barangsiapa yang mampu mengenali dirinya sendiri dengan baik, dia akan mampu mengenal Tuhannya.
Dan ini semua bukan hanya peristiwa antara seseorang dengan orang lain, seseorang dengan dirinya sendiri, tetapi juga seseorang dengan Tuhannya. Terlalu naif rasanya jika kita hanya memiliki tolok ukur penilaian berdasar yang kasat mata saja dan mengabaikan makna-makna serta tujuan yang ada dibaliknya.
- Sebuah cerita yang ditulis oleh sahabat yang sedang gila mencari kesadaran -
Labels:
Hikmah
Thanks for reading Peristiwa Santri dan Kyai. Please share...!